Kamis, 23 Januari 2020

"FILSAFAT KEINDAHAN 2" The Liang Gie

Blog Ki Slamet 42: Guru SMPIT Annur Cimande Menulis
Jumat, 24 Januari 2020 - 08.53 WIB
Imge "Indahnya Lingkungan Alam SMPIT Annur Cimande" (Foto:SP)
Indahnya Lingkungan SMPIT Annur Cimande

I.      ESTETIK FILSAFATI

A.     Peristilahan
Estetik sebagai salah satu cabang filsafat sejak zaman Yunani Kuno sampai sekitar abad ke-18 disebut dengan pelbagai nama, yaitu :
-         Filsafat keindahan (philosophy of beauty)
-         Filsafat citarasa (philosophy of taste)
-         Filsafat seni (philosophy of art)
-         Filsafat Kritik (philosophy of criticism)

Dalam bahasa Inggris istilah ‘philosophy’ kadang-kadang diganti dengan ‘theory’, sehingga dengan demikian dikenal pula sebutan-sebutan yang berikut bagi estetik :
-         Teori Keindahan (theory of beauty)
-         Teori citarasa (theory of taste)
-         Teori seni indah (theory of fine arts)
-         Teori lima seni (thery of the five arts)

Teori Lima Seni adalah salah satu istilah yang dipergunakan di Negara Inggris. Yang dimaksud dengan kelima jenis seni itu ialah :
1)     Seni Lukis
2)     Seni Pahat
3)     Arsitektur
4)     Sajak
5)     Musik

Selain sebagai filsafat atau teori, estetik kadang-kadang juga dianggap sebagai suatu ilmu. Dan terdapatlah penyebutan :
-         Ilmu tentang hal yang indah (the science of the beautiful)
-         Ilmu tentang keindahan yang dapat dicerapkan (the science of perceptible beauty)

Konsepsi tentang keindahan sebagai sasaran pokok dari perenungan filsafat adalah setua sejarah filsafat sendiri. Pada zaman Yunani Kuno sampai masa-masa kemudian filsafat keindahan menjadi bagian dari metafisika (yakni cabang filsafat yang membahas persoalan-persoalan tentang keberadaan dan seluruh realita). Banyak metode dan peristilahan metafisika dipergunakan dalam filsafat keindahan. Filsuf yang mulai banyak membahasnya adalah Sokrates (469-399 sebelum Masehi) dan Plato (427-347 s.M)

Dalam tahun 1735 seorang filsuf Jerman yang belum begitu terkenal bernama Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762) dengan mengikuti pendapat filsuf ternama  Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) membedakan antara pengetahuan intelektuil (intelektual knowledge) dan pengetahuan inderawi (sensuous knowledge). Pengetahuan intelektil itu disebut pengetahuan tegas, sedang pengetahuan inderawi dianggap sebagai pengetahuan kabur. Baumgarten merumuskan bahwa tujuan dari segenap pengetahuan inderawi adalah keindahan. Dan bagi ilmu tentang pengetahuan inderawi itu dipergunakannya satu istilah yakni ‘aesthetica’. Jadi aesthetica adalah the science of sensuous knowledge, whose aim is beauty (ilmu tentang pengetahuan inderawi, yang tujuannya adalah keindahan). Dalam tahun 1750-1758 terbitlah buku Baumgarten yang belum selesai berjudul aesthetica, dua jilid. Jaa beliau selain memperkenalkan istilah
‘aesthetica’ itu ialah mengangkat pengetahuan tersebut sehingga menjadi cabang tersendiri dari filsafat.

Istilah “aesthetica” berasal dari kata Yunani :
-         Aisthetika : hal-hal yang dapat dicerap dengan pancaindera
-         Aisthesis  :  pencerapan indera (sense perception).

Istilah dari Baumgarten itu dalam Bahasa Inggris ditulis “aesthetics” atau juga “esthetics” dan kemudian berangsur-angsur menggantikan semua sebutan, filsafat, teori atau ilmu tentang keindahan/seni tersebut di muka. Pada permulaannya memang istilah aesthetica tidak seketika disambut baik oleh para cendekiawan, bahkan ada yang mengecamnya sebagai istilah yang tolol dan tak berguna. Tapi tampaknya kini telah mempunyai kedudukan kokoh yang tak tergoyahkan lagi.

Dalam Bahasa Indonesia  sebaiknya dipergunakan istilah ‘estetik’  dan jangan ‘filsafat keindahan’, karena aesthetics kini sudah tidak lagi semata-mata bercorak filsafati melainkan juga sudah sangat ilmiah. Selain itu aestetics dewasa ini juga tidak hanya membicarakan keindahan saja, melainkan sudah meluas meliputi hal-hal lainnya seperti msalnya seni dan pengalaman estetis.

B.     Lingkupan
Batasan estetik yang diberikan oleh para filsuf dan sarjana banyak ragamnya. Tapi pada umumnya diterima estetik adalah cabang filsafat, dan filsafat termaksud membcarakan tentang keindahan. Kadang-kadang ditegaskan bahwa keindahan itu adalah keindahan yang terdapat dalam alam dan pada seni. Pendapat yang demikian ini tercantum dalam The Encyclopedia Americana terbitan 1973 yang mencatat bahwa aesthetics :
“has traditionally been concived of as the branch of philosophy concerned  with beauty and the beautiful in nature and art”.
(secara tradisional telah dipahami sebagai cabang filsafat yang bertalian dengan keindahan dan  hal yang indah dalam alam dan seni).

Kalau suatu pemandangan matahari terbit di tepi pantai dikatakan indah, sekuntum bunga disebut indah dan sebuah lukisan dikatakan juga indah, sifat atau ciri umum apakah yang dimiliki oleh ketiga hal itu sehingga dianggap sebagai sesuatu yang indah? Dari sifat indah yang terdapat pada benda-benda yang berlainan kemudian dicari jawaban umum  yang benar terhadap persoalan “apakah keindahan itu?” jawabannya adalah suatu definisi tentang keindahan. Tetapi selanjutnya para filsuf mempersoalkan bagaimana keindahan itu harus dijelaskan. Penjelasan itu merupakan suatu teori tentang keindahan. Lebih lanjut dipersoalkan apakah keindahan itu sesuatu yang obyektif yang memang terdapat pada suatu benda ataukah bersifat subyektif yang hanya merupakan perasaan dalam diri seseorang yang melihat suatu benda tertentu? Akhirnya orang bertanya pula apakah sesungguhnya peranan keindahan dalam hidup ini?

Dengan demikian berkembangnya seni, keindahan dari alam tidak lagi menjadi pusat perhatian orang. Persoalan tentang keindahan terutama terutama lalu dihubungkan dengan seni saja. kecenderungan ini tercermin dalam batasan estetik yang diberikan oleh Louis Kattsoff (elements of Philosophy) berikut :
“The branch of philosophy which concerns itself with the definition, structure, and of beauty , espesially in the arts, is called aestetics”. (Cabang filsafat yang bertalian dengan batasan, rakitan dan peranan dari keindahan, khususnya dalam seni, disebut estetik).
Keindahan dalam seni mempunyai hubungan erat dengan kemampuan manusia menilai karya seni yang bersangkutan untuk menghargai keindahannya. Kemampuan ini dalam filsafat terkenal dengan istilah ‘citarasa’ (taste).

Citarasa menurut perumusan Kant diartikan sebagai kemampuan mental untuk menilai sesuatu benda atau suatu macam gagasan dalam hubungannya dengan kepuasan atau ketidakpuasan tanpa adanya sesuatu kepentingan apapun. Benda yang mengakibatkan kepuasan yang demikian itu disebut indah. Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa dulu estetik juga dikenal sebagai philosophy atau theory of taste. Pengertian tentang citarasa kemudian juga masuk dalam ruang lingkup estetik. Definisi estetik yang mencakup citarasa penilaian itu dapat dibaca dalam Dictionary of Phylosophy edisi 1962 yang berbunyi :
“I raditionally, the branch of phylosophy dealing with beauty or the beautiful, espesially in art, and with taste and standards of value in judging art.”(secara tradisional, cabang filsafat yang berhubungan dengan keindahan atau hal yang indah, khususnya dalam seni, serta dengan citarasa dan ukuran-ukuran nilai baku dalam menilai seni.)

Oleh karena hubungan yang dianggap demikian erat antara keindahan dengan seni, ada penulis-penulis yang merumuskan estetik sebagai filsafat, teori atau ilmu yang berhubungan dengan keindahan dan seni. Bahkan kemudian dengan hanya dilihat dari segi benda seni yang merupakan realisasi atau ungkapan dari keindahan itu, istilah yang ditonjolkan adalah “filsafat seni”. Philosophy of art lalu dianggap searti dengan estetik. Batasan estetik yang dianggap sepadan dengan filsafat seni itu dikemukakan oleh Van Meter Ames (dalam Collier’s Encyclopedia) demikian:
“the study of what is involved in the creation, appresiation, and criticism of art; in the relation of art to other human activities and interests; and in the changing role of art in a changing world”. ( peneaahan tentang apa yang bersangkut dalam penciptaan, penghargaan dan kritik dari seni; dalam hubungan seni dengan kegiatan dan kepentingan manusia lainnya; dan dalam perasaan yang berubah dari seni dalam suatu dunia pancaroba.)

Tapi dari sudut lain orang juga bisa berpendapat bahwa hubungan antara keindahan dengan seni bukanlah suatu kemestian. Setiap karya seni tidak selalu mesti indah, misalnya seni pada suku-suku primitif, dan sebaliknya keindahan tidak senantiasa hanya terdapat seni, umpamanya keindahan alam. dengan demikian sasaran estetik bukanlah seni atau keindahan semata-mata dan juga bukan keindahan seni, melainkan keindahan sebagai nilai positif serta lawannya berupa kejelekan sebagai nilai negatif. Dua pengertian nilai dalam estetik itu merupakan dua kutub sejalan dengan filsafat moral yang mengenal pengertian baik dan buruk. Filsuf yang menganut pendapat ini antara lain ialah, Jerome Stolnitz yang dalam The Encyclopedia of Philosophy mencata bahwa:
“Aesthetics has often been described as the philosophycal study of beauty and uglness.”  ( Estetik sering dilukiskan sebagai penelaahan filsafati tentang keindahan dan kejelekan. )

Nilai-nilai dalam estetik itu termasuk dalam pengertian non moral values (nilai-nilai yang tak bersifat moral) untuk membedakannya dengan nilai-nilai kesusilaan. Dalam estetik  telah lazim bahwa nilai-nilai seperti misalnya keindahan itu disebut nilai-nilai estetis ( aestetic values). Dalam perkembangan filsafat ada sebagian filsuf yang memikirkan tentang pelbagai nilai dan menuangkan pemikirannya dalam theory of value (teori nilai). Istilah lama untuk teori nilai sebagai salah satu penelaahan  filsafati  ialah axilogy. Dalam hubungan ini estetik juga kadang-kadang dianggap sebagai cabang dari axiology. Dari sudut inilah ada penulis buku filsafat yang berpendapat bahwa estetik mempelajari nilai-nilai estetik. Ini misalnya ialah William Halverson yang menulis baahwa :
“That branch of axiology that is principally concerned with the nature of non- moral  values (particularly beauty, and whatever other values are  of spesial relevance for the arts) is called aesthetics.” ( Cabang axiology itu yang terutama bertalian dengan sifat dasar dari nilai-nilai non-moral – khususnya keindahan dan nilai-nilai lainnya apapun yang mempunyai sangkutan istimewa dengan seni –
disebut estetik.)  

dalam perkembangan filsafat dewasa ini timbul antara lain filsafat analisis (analytic philoshophy). Pada pokoknya filsafat ini mencoba memecahkan persoalan-persoalan filsafati dengan mengurai atau menganalisa pengertian-pengertian yang dipergunakan orang. Dua corak pertanyaan yang secara khas diajukan untuk penguraian filsafati itu ialah “Bagaimanakah anda mengetahui? (How do you know?”). dari pangkal ini diberikanlah definisi estetik yang berikut oleh John Hosper (dalam The Encyclopedia of Philosgphy) :
“Aestthetic is the branch of philosophy is that concerned with the analysis of concepts and solution of problem that arise when one contemplates aesthetic objects of aesthetic experience; has been thus ,  it is only after aesthetic experience has been sufficienly charactrized that one is able to delimit the class of aesthetic objects”. ( Estetik adalah cabang filsafat yang bertalian dengan penguraian pengertian-pengertian dan pemecahan persoalan-persoalan yang timbul bilamana seseorang merenungkan tentang benda-benda estetis. Pda gilirannya benda-benda estetis terdiri dari semua benda yang terkena oleh pengalaman estetis; dengan demikian hanyalah setelah  pengalaman estetis dapat secukupnya dinyatakan ciri-cirinya bisalah seseorang menentukan batasnya golongan benda-benda estetis itu)

C.     Estetik Fisafati sebagai Estetik Tradisional
Dari kutipan dan di muka terbuktilah bahwa batasan estetik cukup beranekaragam. Tampaknya definisi itu sendiri merupakan suatu persoalan filsafati yang sejak dulu sampai sekarang cukup diperbincangkan para filsuf dan diberikan jawaban yang berbeda-beda. Perbedaan itu terlihat dari berlainannya sasaran-sasaran yang dikemukakan. Bilamana diperinci selengkapnya sasaran  itu meliputi :
1)     Keindahan
2)     Keindahan dalam alam dan seni
3)     Keindahan khusus pada seni
4)     Keindahan plus seni
5)     Seni (segi penciptaan dan kritik seni serta hubungan dan peranan seni)
6)     Citarasa
7)     Ukuran nilai baku
8)     Keindahan dan kejelekan
9)     Nilai non-moral (nilai estetis)
10) Benda estetis
11) Pengalaman estetis.

Jadi dari keindahan yang bersifat metafisi orang sampai kepada pengalaman estetis yang bercorak psikologis dengan melalui konseppsi-konsepsi tentang seni, citarasa dan nilai. Namun semua pendapat tentang estetik itu tidak mengingkarinya sebagai cabang filsafat. Tapi dengan adanya perkembangan terakhir yang mempelajari estetik secara ilmiah, estetik seperti dikemukakan di atas lalu tergolong sebagai estetik filsafati (philosophical aestetics). Estetik yang menelaah sasaran-sasarannya secara filsafati itu sering disebut juga estetik tradisionil. Hal ini juga ditegaskan dalam batasan-batasan dengan kata tambahan ‘traditionally’. Selanjutnya estetik filsafati ada juga yang menyebutnya esteti analitis, karena tugasnya hanya hanyalah mengurai untuk dibedakan dengan estetik yang empiris atau dipelajari secara ilmiah.
Dalam abad 19 estetis mengalami perkembangan yang sangat berlainan. Para sarjana mulai menelaahnnya dengan metode-metode ilmiah sehingga orang lalu menganggapnya sebaga estetik ilmiah ( sciencetific aestetics ) yang tidak lagi merupakan cabang filsafat. Sampai abad 20 ini estetik ilmiah sering disebut juga estetik modern untuk membedakannya dengan estetik tradisionil yang bersifat filsafati.

    Ki Slamet 42  
Kamis, 23 Januari 2020 – 15.46 WIB
R e f e r e n s i :
The Liang Gie, GARIS BESAR ETETIK (Filsafat Keindahan)
Fakultas Fisafat Universitas Gajah Mada, Jogyakarta 1976

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"P U A S A" By Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayyid

http://kertasinga.blogspot.com-Senin, 05 April 2021-13:02 WIB Definisi Shiyam) 1 Shiyam dan shaum secara bahasa adalah menahan diri dari...

"KONTEN ENTRY BLOG"