Blog Ki Slamet 42: Guru SMPIT Annur Cimande Menulis
Jumat, 24 Januari 2020 - 08.53 WIB
Jumat, 24 Januari 2020 - 08.53 WIB
I. ESTETIK
FILSAFATI
A.
Peristilahan
Estetik sebagai
salah satu cabang filsafat sejak zaman Yunani Kuno sampai sekitar abad ke-18
disebut dengan pelbagai nama, yaitu :
-
Filsafat keindahan (philosophy of
beauty)
-
Filsafat citarasa (philosophy of
taste)
-
Filsafat seni (philosophy of art)
-
Filsafat Kritik (philosophy of
criticism)
Dalam bahasa Inggris
istilah ‘philosophy’ kadang-kadang diganti dengan ‘theory’, sehingga dengan
demikian dikenal pula sebutan-sebutan yang berikut bagi estetik :
-
Teori Keindahan (theory of beauty)
-
Teori citarasa (theory of taste)
-
Teori seni indah (theory of fine
arts)
-
Teori lima seni (thery of the five
arts)
Teori Lima Seni
adalah salah satu istilah yang dipergunakan di Negara Inggris. Yang dimaksud
dengan kelima jenis seni itu ialah :
1) Seni
Lukis
2) Seni
Pahat
3) Arsitektur
4) Sajak
5) Musik
Selain sebagai
filsafat atau teori, estetik kadang-kadang juga dianggap sebagai suatu ilmu.
Dan terdapatlah penyebutan :
-
Ilmu tentang hal yang indah (the
science of the beautiful)
-
Ilmu tentang keindahan yang dapat
dicerapkan (the science of perceptible beauty)
Konsepsi tentang
keindahan sebagai sasaran pokok dari perenungan filsafat adalah setua sejarah filsafat
sendiri. Pada zaman Yunani Kuno sampai masa-masa kemudian filsafat keindahan
menjadi bagian dari metafisika (yakni cabang filsafat yang membahas
persoalan-persoalan tentang keberadaan dan seluruh realita). Banyak metode dan
peristilahan metafisika dipergunakan dalam filsafat keindahan. Filsuf yang
mulai banyak membahasnya adalah Sokrates (469-399 sebelum Masehi) dan Plato
(427-347 s.M)
Dalam tahun 1735
seorang filsuf Jerman yang belum begitu terkenal bernama Alexander Gottlieb
Baumgarten (1714-1762) dengan mengikuti pendapat filsuf ternama Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716)
membedakan antara pengetahuan intelektuil (intelektual knowledge) dan
pengetahuan inderawi (sensuous knowledge). Pengetahuan intelektil itu disebut
pengetahuan tegas, sedang pengetahuan inderawi dianggap sebagai pengetahuan
kabur. Baumgarten merumuskan bahwa tujuan dari segenap pengetahuan inderawi
adalah keindahan. Dan bagi ilmu tentang pengetahuan inderawi itu
dipergunakannya satu istilah yakni ‘aesthetica’. Jadi aesthetica adalah the
science of sensuous knowledge, whose aim is beauty (ilmu tentang pengetahuan
inderawi, yang tujuannya adalah keindahan). Dalam tahun 1750-1758 terbitlah
buku Baumgarten yang belum selesai berjudul aesthetica,
dua jilid. Jaa beliau selain memperkenalkan istilah
‘aesthetica’ itu
ialah mengangkat pengetahuan tersebut sehingga menjadi cabang tersendiri dari
filsafat.
Istilah “aesthetica”
berasal dari kata Yunani :
-
Aisthetika : hal-hal yang dapat
dicerap dengan pancaindera
-
Aisthesis :
pencerapan indera (sense perception).
Istilah dari
Baumgarten itu dalam Bahasa Inggris ditulis “aesthetics” atau juga “esthetics”
dan kemudian berangsur-angsur menggantikan semua sebutan, filsafat, teori atau
ilmu tentang keindahan/seni tersebut di muka. Pada permulaannya memang istilah
aesthetica tidak seketika disambut baik oleh para cendekiawan, bahkan ada yang
mengecamnya sebagai istilah yang tolol dan tak berguna. Tapi tampaknya kini
telah mempunyai kedudukan kokoh yang tak tergoyahkan lagi.
Dalam Bahasa
Indonesia sebaiknya dipergunakan istilah
‘estetik’ dan jangan ‘filsafat
keindahan’, karena aesthetics kini sudah tidak lagi semata-mata bercorak
filsafati melainkan juga sudah sangat ilmiah. Selain itu aestetics dewasa ini
juga tidak hanya membicarakan keindahan saja, melainkan sudah meluas meliputi
hal-hal lainnya seperti msalnya seni dan pengalaman estetis.
B.
Lingkupan
Batasan estetik yang
diberikan oleh para filsuf dan sarjana banyak ragamnya. Tapi pada umumnya
diterima estetik adalah cabang filsafat, dan filsafat termaksud membcarakan
tentang keindahan. Kadang-kadang ditegaskan bahwa keindahan itu adalah
keindahan yang terdapat dalam alam dan pada seni. Pendapat yang demikian ini
tercantum dalam The Encyclopedia
Americana terbitan 1973 yang mencatat bahwa aesthetics :
“has traditionally
been concived of as the branch of philosophy concerned with beauty and the beautiful in nature and
art”.
(secara tradisional
telah dipahami sebagai cabang filsafat yang bertalian dengan keindahan dan hal yang indah dalam alam dan seni).
Kalau suatu
pemandangan matahari terbit di tepi pantai dikatakan indah, sekuntum bunga
disebut indah dan sebuah lukisan dikatakan juga indah, sifat atau ciri umum
apakah yang dimiliki oleh ketiga hal itu sehingga dianggap sebagai sesuatu yang
indah? Dari sifat indah yang terdapat pada benda-benda yang berlainan kemudian
dicari jawaban umum yang benar terhadap
persoalan “apakah keindahan itu?” jawabannya adalah suatu definisi tentang
keindahan. Tetapi selanjutnya para filsuf mempersoalkan bagaimana keindahan itu
harus dijelaskan. Penjelasan itu merupakan suatu teori tentang keindahan. Lebih
lanjut dipersoalkan apakah keindahan itu sesuatu yang obyektif yang memang
terdapat pada suatu benda ataukah bersifat subyektif yang hanya merupakan
perasaan dalam diri seseorang yang melihat suatu benda tertentu? Akhirnya orang
bertanya pula apakah sesungguhnya peranan keindahan dalam hidup ini?
Dengan demikian
berkembangnya seni, keindahan dari alam tidak lagi menjadi pusat perhatian
orang. Persoalan tentang keindahan terutama terutama lalu dihubungkan dengan
seni saja. kecenderungan ini tercermin dalam batasan estetik yang diberikan
oleh Louis Kattsoff (elements of
Philosophy) berikut :
“The branch of
philosophy which concerns itself with the definition, structure, and of beauty
, espesially in the arts, is called aestetics”. (Cabang filsafat
yang bertalian dengan batasan, rakitan dan peranan dari keindahan, khususnya
dalam seni, disebut estetik).
Keindahan
dalam seni mempunyai hubungan erat dengan kemampuan manusia menilai karya seni
yang bersangkutan untuk menghargai keindahannya. Kemampuan ini dalam filsafat
terkenal dengan istilah ‘citarasa’ (taste).
Citarasa menurut
perumusan Kant diartikan sebagai kemampuan mental untuk menilai sesuatu benda
atau suatu macam gagasan dalam hubungannya dengan kepuasan atau ketidakpuasan
tanpa adanya sesuatu kepentingan apapun. Benda yang mengakibatkan kepuasan yang
demikian itu disebut indah. Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa dulu
estetik juga dikenal sebagai philosophy atau theory of taste. Pengertian
tentang citarasa kemudian juga masuk dalam ruang lingkup estetik. Definisi
estetik yang mencakup citarasa penilaian itu dapat dibaca dalam Dictionary of Phylosophy edisi 1962 yang
berbunyi :
“I raditionally, the
branch of phylosophy dealing with beauty or the beautiful, espesially in
art, and with taste and standards of value in judging art.”(secara
tradisional, cabang filsafat yang berhubungan dengan keindahan atau hal yang
indah, khususnya dalam seni, serta dengan citarasa dan ukuran-ukuran nilai baku
dalam menilai seni.)
Oleh
karena hubungan yang dianggap demikian erat antara keindahan dengan seni, ada
penulis-penulis yang merumuskan estetik sebagai filsafat, teori atau ilmu yang
berhubungan dengan keindahan dan seni. Bahkan kemudian dengan hanya dilihat
dari segi benda seni yang merupakan realisasi atau ungkapan dari keindahan itu,
istilah yang ditonjolkan adalah “filsafat seni”. Philosophy of art lalu
dianggap searti dengan estetik. Batasan estetik yang dianggap sepadan dengan
filsafat seni itu dikemukakan oleh Van Meter Ames (dalam Collier’s Encyclopedia) demikian:
“the
study of what is involved in the creation, appresiation, and criticism of art;
in the relation of art to other human activities and interests; and in the
changing role of art in a changing world”. ( peneaahan tentang apa yang
bersangkut dalam penciptaan, penghargaan dan kritik dari seni; dalam hubungan
seni dengan kegiatan dan kepentingan manusia lainnya; dan dalam perasaan yang
berubah dari seni dalam suatu dunia pancaroba.)
Tapi dari sudut lain
orang juga bisa berpendapat bahwa hubungan antara keindahan dengan seni bukanlah
suatu kemestian. Setiap karya seni tidak selalu mesti indah, misalnya seni pada
suku-suku primitif, dan sebaliknya keindahan tidak senantiasa hanya terdapat
seni, umpamanya keindahan alam. dengan demikian sasaran estetik bukanlah seni
atau keindahan semata-mata dan juga bukan keindahan seni, melainkan keindahan
sebagai nilai positif serta lawannya berupa kejelekan sebagai nilai negatif.
Dua pengertian nilai dalam estetik itu merupakan dua kutub sejalan dengan
filsafat moral yang mengenal pengertian baik dan buruk. Filsuf yang menganut
pendapat ini antara lain ialah, Jerome Stolnitz yang dalam The Encyclopedia of Philosophy mencata bahwa:
“Aesthetics has
often been described as the philosophycal study of beauty and uglness.” ( Estetik sering dilukiskan sebagai penelaahan
filsafati tentang keindahan dan kejelekan. )
Nilai-nilai dalam
estetik itu termasuk dalam pengertian non moral values (nilai-nilai yang tak
bersifat moral) untuk membedakannya dengan nilai-nilai kesusilaan. Dalam
estetik telah lazim bahwa nilai-nilai
seperti misalnya keindahan itu disebut nilai-nilai estetis ( aestetic values).
Dalam perkembangan filsafat ada sebagian filsuf yang memikirkan tentang
pelbagai nilai dan menuangkan pemikirannya dalam theory of value (teori nilai).
Istilah lama untuk teori nilai sebagai salah satu penelaahan filsafati
ialah axilogy. Dalam hubungan ini estetik juga kadang-kadang dianggap
sebagai cabang dari axiology. Dari sudut inilah ada penulis buku filsafat yang
berpendapat bahwa estetik mempelajari nilai-nilai estetik. Ini misalnya ialah
William Halverson yang menulis baahwa :
“That branch of
axiology that is principally concerned with the nature of non- moral values
(particularly beauty, and whatever other values are of spesial relevance for the arts) is called
aesthetics.” ( Cabang axiology itu yang terutama bertalian dengan sifat
dasar dari nilai-nilai non-moral – khususnya
keindahan dan nilai-nilai lainnya apapun yang mempunyai sangkutan istimewa
dengan seni –
disebut estetik.)
dalam perkembangan
filsafat dewasa ini timbul antara lain filsafat analisis (analytic
philoshophy). Pada pokoknya filsafat ini mencoba memecahkan persoalan-persoalan
filsafati dengan mengurai atau menganalisa pengertian-pengertian yang dipergunakan
orang. Dua corak pertanyaan yang secara khas diajukan untuk penguraian
filsafati itu ialah “Bagaimanakah anda mengetahui? (How do you know?”). dari
pangkal ini diberikanlah definisi estetik yang berikut oleh John Hosper (dalam The Encyclopedia of Philosgphy) :
“Aestthetic is the
branch of philosophy is that concerned with the analysis of concepts and
solution of problem that arise when one contemplates aesthetic objects of
aesthetic experience; has been thus , it
is only after aesthetic experience has been sufficienly charactrized that one
is able to delimit the class of aesthetic objects”. ( Estetik adalah
cabang filsafat yang bertalian dengan penguraian pengertian-pengertian dan
pemecahan persoalan-persoalan yang timbul bilamana seseorang merenungkan
tentang benda-benda estetis. Pda gilirannya benda-benda estetis terdiri dari
semua benda yang terkena oleh pengalaman estetis; dengan demikian hanyalah
setelah pengalaman estetis dapat
secukupnya dinyatakan ciri-cirinya bisalah seseorang menentukan batasnya
golongan benda-benda estetis itu)
C.
Estetik
Fisafati sebagai Estetik Tradisional
Dari kutipan dan di
muka terbuktilah bahwa batasan estetik cukup beranekaragam. Tampaknya definisi
itu sendiri merupakan suatu persoalan filsafati yang sejak dulu sampai sekarang
cukup diperbincangkan para filsuf dan diberikan jawaban yang berbeda-beda.
Perbedaan itu terlihat dari berlainannya sasaran-sasaran yang dikemukakan.
Bilamana diperinci selengkapnya sasaran
itu meliputi :
1) Keindahan
2) Keindahan
dalam alam dan seni
3) Keindahan
khusus pada seni
4) Keindahan
plus seni
5) Seni
(segi penciptaan dan kritik seni serta hubungan dan peranan seni)
6) Citarasa
7) Ukuran
nilai baku
8) Keindahan
dan kejelekan
9) Nilai
non-moral (nilai estetis)
10) Benda
estetis
11) Pengalaman
estetis.
Jadi dari keindahan
yang bersifat metafisi orang sampai kepada pengalaman estetis yang bercorak
psikologis dengan melalui konseppsi-konsepsi tentang seni, citarasa dan nilai.
Namun semua pendapat tentang estetik itu tidak mengingkarinya sebagai cabang filsafat.
Tapi dengan adanya perkembangan terakhir yang mempelajari estetik secara
ilmiah, estetik seperti dikemukakan di atas lalu tergolong sebagai estetik
filsafati (philosophical aestetics). Estetik yang menelaah sasaran-sasarannya
secara filsafati itu sering disebut juga estetik tradisionil. Hal ini juga
ditegaskan dalam batasan-batasan dengan kata tambahan ‘traditionally’.
Selanjutnya estetik filsafati ada juga yang menyebutnya esteti analitis, karena
tugasnya hanya hanyalah mengurai untuk dibedakan dengan estetik yang empiris
atau dipelajari secara ilmiah.
Dalam abad 19
estetis mengalami perkembangan yang sangat berlainan. Para sarjana mulai
menelaahnnya dengan metode-metode ilmiah sehingga orang lalu menganggapnya
sebaga estetik ilmiah ( sciencetific aestetics ) yang tidak lagi merupakan
cabang filsafat. Sampai abad 20 ini estetik ilmiah sering disebut juga estetik
modern untuk membedakannya dengan estetik tradisionil yang bersifat filsafati.
— Ki Slamet 42 —
Kamis, 23 Januari 2020 – 15.46 WIB
R e f e r e n s i :
The Liang Gie, GARIS BESAR ETETIK (Filsafat Keindahan)
Fakultas Fisafat Universitas Gajah Mada, Jogyakarta 1976
Tidak ada komentar:
Posting Komentar