Blog Ki Slamet 42: Guru SMPIT Annur Cimande Menulis
Sabtu, 25 Januari 2020 - 14.40 WIB
Sabtu, 25 Januari 2020 - 14.40 WIB
III.
ESTETIK
ILMIAH
A.
Ilmu
Seni dan Estetik Perbandingan
Dalam abad 19
pembahasan secara filsafati terhadap keindahan semata-mata dianggap tidak lagi
memuaskan. Hal ini disebabkan karena pengertian keindahan dirasakan terlampau
terbatas (misalnya tidak dapat mencakup seni primitif) atau terlampau kabur
kalau hanya berupa pengertian abstrak yang tidak mempunyai landasan sesuatu
yang kongkrit. Oleh karena itu sebagian
sarjana lebih menyukai sesuatu gejala yang nyata dan melembaga dalam masyarakat
sebagai sasaran estetik yang dapat dipelajari secara empiris dan ilmiah. Seni
sebagai hasil kebudayaan adalah sasaran termaksud yang dapat dihampiri dari
sudut sejarah, antropologi, sosiologi dan studi empiris lainnya.
Pendekatan secara
obyektif terhadap karya seni itu sendiri untuk memperoleh pengetahuan atau
jawaban terhadap persoalan-persoalan tentang susunan seni, anatomi bentuk dan
pertumbuhan gaya dari zaman ke zaman mendapat perhatian besar di Jerman.
Penelaahan dengan metode perbandingan dan analisa teoritis serta menyatukan
paduan secara kritis menghasilkan kelompok pengetahuan ilmiah yang dianggap
tidak dapat tertampung oleh nama estetik sebagai filsafat tentang keindahan.
Menjelang akhir abad ke 19 bidang pengetahuan baru itu oleh orang Jerman
disebut Kunstwissenscchaft (ilmu seni). Ilmu ini dibedakan lebih lanjut dalam
yang umum dan yang khusus. Ilmu umum tentang seni (allgemeine
Kunstwissenschaftt) mempelajari semua karya seni seumumnya, sedang yang khusus
memusatkan perhatiannya kepada salah satu jenis saja seperti misalnya seni
lukis atau seni pahat. Salah seorang tokoh ilmu tersebut ialah gurubesar
Universitas Berlin bernama Max Dessoir (1867-1947) yang menulis buku Aestetik und allgemeine Kunstwisseschaft (1906)
dan menjadi editor dari majalah dengan nama seperti judul bukunya itu. Dalam
bahasa Inggris istilah Jerman itu diterjemahkan dengan ‘general science of
art’.
Dengan bahan-bahan
yang semakin banyak terkumpul pada pelbagai musum seni di seluruh dunia yang
dijadikan pusat-pusat penelitian, ilmu seni berkembang terus sehingga mempunyai
perincian yang bermakna kaya, di antaranya :
-
Theories
of art history (Teori-teori sejarah seni).
Bidang ini
mengemukakan patokanduga atau kesimpulan pelbagai sarjana mengenai aliran, pola
dan pengaruh timbal balik dalam pertumbuhan gaya-gaya seni serta hubungan seni
dengan sejarah pada umumnya.
-
Aesthetic
morphology (Ilmu untuk seni)
Ini merupakan
penelaahan secara deskriptif mengenai bentuk dan gaya dalam macam-macam seni.
-
Sosiology
of art (Sosiologi seni)
Bidang ini
mempelajari pelbagai segi dari seni dan seniman dalam hubungannya dengan
pengaruh mereka terhadap masyarakat secara timbal-balik.
-
Logic
semantic and semiology of art
Kelompok pengetahuan
ini yang masih sangat baru mencoba menelaah hubungan logika, ilmu artikata dan
ilmu tanda (semiology) dengan ilmu seni. Pokok-soal yang khususnya dipelajari
ialah mengenai bahasa, lambang, tanda, artikata dan penyimpulan yang
dipergunakan dalam membicarakan seni.
Ilmu seni kini telah
mencakup semua jenis seni (lukisan, pahatan, musik, tarian, teater,
kesusasteran, arsitektur sampai perancangan alam indah maupun perencanaan kota)
dari seluruh zaman dan segenap wilayah atau setiap bangsa. Oleh karena meliputi
bidang yang demikian lua, ilmu itu kadang-kadang dinamakan juga estetik umum
(general aesthetics) atau estetik perbandingan (comparative aestethetics). Nama
‘ilmu seni’ tidak begitu laku di luar Negara Jerman. Akhirnya orang kembali
pada istilah estetik.
B.
Estetik
Psikologis, Estetik Eksperimentil dan Estetik Matematis
Dari sudut lain
orang mempelajari pula persoalan-persoalan tentang pengalaman estetik secara
empiris. Yang mempelajari terutama adalah ahli-ahli psikologi dengan
mempergunakan metode-metode ilmu tersebut. dengan demikian berkembanglah
pengetahuan ilmiah dalam bidang estetik yang memakai metode psikologis dan
karenanya lalu dikenal sebagai estetik psikologis (psychological aesthetics).
Salah satu pelopor
dari ilmu ini adalah seorang Jerman pula bernama Gustav Theodor Fechner
(1801-1887). Beliau ahli fisika, psikologi, antropologi dan juga serang filsuf
Fechner dalam bukunya Vorchule der
aesthetik (1876) menyebut estetik yang dikembangkan oleh para filsuf
sebagai estetik ‘dari atas’ karena membuat kesimpulan-kesimpulan dengan deduksi
dari patokanpikir-patokanpikir metafisika. Beliau menyatakan bahwa estetiknya
sebaliknya dihampiri ‘dari bawah’ karena mempergunakan pengamatan secara
empiris dan percobaan seperti laboratorium terhadap sesuatu hal yang nyata.
Dengan menerapkan
metode eksperimentil seperti dalam psikologi, Fechner berusaha menemukan
kaidah-kaidah atau dalil-dalil mengapa orang lebih menghargai sesuatu hal indah
yang tertentu dan tidak atau kurang menyukai yang lainnya. sasaran yang
diselidikinya bukanlah sesuatu keseluruhan karya seni, melainkan
komponen-komponennya yang palin dasar. Ini terutama adalah bentuk-bentuk dan
sifat-sifat dasar yang dapat dicerap dengan pancaindera orang seperti misalnya
bangun-bangun geometri (garis, empatpersegi, lingkaran), warna, nada dan
pelbagai kombinasi dari unsur-unsur seni itu. Tatacaranya antara lain ialah
dengan memperlihatkan pelbagai corak dan ukuran sesuatu unsur seni itu kepada
sejumlah orang dan mempersilahkan masing-masing memilih mana yang dianggapnya
paling menarik, yang kurang disukai dan seterusnya sampai yang paling tidak
menyenangkan dilihat. Pendapat-pendapat perseorangan itu dicatat dan kemudian
diolah dengan perhitungan statistik sehingga diperoleh gambaran tentang :
-
Unsur-unsur bagaimana umumnya disukai
kebanyakan orang dalam pencerapan berikut urut-urutan pilihannya.
-
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi
pilihan kebanyakan orang itu.
Estetik
yang dikembangkan oleh Fechner dan pengikut-pengikutnya itu kemudian terkenal
dengan nama estetik eksperimentil (experimental aesthetics). Kadang-kadang ada
juga yang menyebutnya sebagai laboratory aesthetics (estetik laboratorium) atau
biometric aesthetics, yakni estetik berdasarkan penelitian gejala-gejala hayati
dengan metode pengukuran. (Biometry ialah penerapan metode-metode yang bersifat
kwantitatif pada penelitian dalam biologi atau terhadap gejala-gejala
biologis). Estetik eksperimentil telah berhasil menemukan
kecenderungan-kecenderungan manusia dalam pencerapan seperti misalnya bangun
geometri empat persegi panjang yang umumnya disukai ialah yang perbandingan
sisi-sisi lebar dan panjangnya 3:5 atau warna-warna yang paling disenngi
kebanyakan orang ialah merah dan biru.
Penggunaan
metode kwantitatif dalam estetik berupa pengukuran dan perhitungan yang cermat
dilakukan pula untuk menentukan ukuran estetis yang dapat menyatakan besarnya
nilai keindahan atau kadar perasaan estetik. Hasil perumusan ukuran estetik itu
diusahakan penuangannya dalam rumus-rumus berupa sesuatu persamaan matematik. Penelaahan
yang demikian ini (biasanya oleh seorang ahli matematik) menumbuhkan cabang
pengetahuan yang mulai disebut estetik matematis (mathematical aesthetics). Estetik
ini misalnya mencoba menghitung ukuran estetis dari pelbagai bangun segi banyak
untuk menentukan bentuk-bentuk bagaimana yang menimbulkan perasaan puas yang
terbesar sebagaimana dilakukan oleh George Birkhoff (“Polygonal Fors”, 1931).
Dalm
perkembangan terakhir sejak tahun 1960 konsep-konsep matematik yang dilahirkan
oleh teori informasi telah dipergunakan oleh sebagian sarjana untuk membahas
secara kwantitatif pengertian ‘kebaikan’ dari sesuatu bentuk atau susunan seni
serta untuk mengembangkan suatu teori kwantitatif dari nilai estetis (quantitative
theory of aesthetic value). Hal ini misalnya dilakukan oleh A. Moles yang dalam
1966 mengeluarkan karyatulisnya berjudul information
Theory and Esthetic Perception percobaan-percobaan yang semakin banyak dilakukan
menunjukkan bahwa proses-proses dalam otak manusia dipengaruhi oleh sifat-sifat
strukturil dari pola-pola perangsang seperti misalnya sesuatu yang baru, yang
rumit dan mengagetkan. Sifat-sifat yang merangsang itu dapat dipandang sebagai
unsur-unsur penyusun dari bentuk atau struktur seni.
Berlyne
dalam artikelnya “Experimental Esthetics” (Encyclopedia
of Psychology) berkesimpulan bahwa pada akhir-akhir ini minat terhadap
estetik eksperimentil telah hidup kembali dan tampaknya ilmu ini menyatupadukan
diri semakin erat dengan bidang-bidang psikologi lainnya.
C. Psikologi Estetis dan Psikologi Seni
Kalau
Fechner mengembangkan estetik dengan memakai metode psikologis, dari arah
sebaliknya ada sebagian sarjana psikologi menerapkan hasil-hasil penyelidikan
psikologi sehingga bersangkupaut denga problem-problem estetis. Ini menumbuhkan
bidang pengetahuan yang disebut psikologi estetis (aesthetic psychology). Ilmu
ini merupakan suatu cabang psikologi. Psikologi estetis nerbeda dengan ilmu
jiwa umum (general psychology) dalam hal memusatkan perhatiannya pada suatu
kegiatan psiko-fisis tertentu dari manusia dan penerapannya dalam jenis benda
dan keadaan tertentu, yakni yang bertalian dengan seni. Jadi psikologi estetis
mempelajari misalnya proses kegiatan mencipta yang dilakukan oleh seniman untuk
menghasilkan sesuatu karya seni yang indah serta bentuk dan ciri-ciri karya
yang demikian itu. Juga dipelajari faktor-faktor sosial psikologis yang
bersangkut-paut dengan proses apresiasi seni dan dorongan batin dalam seni.
Seni dapat memberikan pelbagai penafsiran yang nyata terhadap macam-macam
gejala kejiwaan dalam diri manusia seperti misalnya gairahnya, harapannya,
khayalannya atau kekurangan pribadinya. Apabila pemusatannya terutama pada seni
( bukan pada pengalaman estetis ),
psikologi estetis dikenal juga sebagai psikologi seni ( psychology of art ).
Dalam lingkupannya yang lebih terbatas psychology of art kadang-kadang
diartikan sebagai psikologi seni penglihatan ( psychology of visual arts )
seperti seni lukis dan seni pahat yang diajarkan dengan psikologi kesusasteraan
(psychology of literature ) dan psikologi musik ( psychology of music ).
Psikolog
estetis selain dapat diperinci menurut jenis-jenis seni tersebut di atas, dapat
pula dibedakan sesuai dengan cabang-cabang atau teori psikologi yang dipakai
untuk menerangkan sesuatu persoalan estetis yang bersangkutan. Misalnya dengan
menerapkan psikologi introspeksi dan teori sikap. Edward Bullough melakukan
penyelidikan terhadap apa yang dinamakannya kesadaran estetis ( aesthtic
consciousness ). Psikoanalisa dengan teori-teorinya memberikan penjelasan bahwa
karya-karya seni sebagaimana halnya dengan impian dan mitologi merupakan
perwujudan dari keinginan manusia yang dalam yang memperoleh kepuasan lebih besar dalam bentuk itu daripada dalam
penghidupan biasa. Penggunaan hasil-hasil dari ilmu jiwa anak (child psychology
) dianggap dapat memberikan keterangan-keterangan yang memadai mengenai
pertumbuhan dorongan batin dalam mencipta seni ( art impulse ). Dorongan batin
ini mencakup semua dinamika kejiwaan yang tidak bersifat intelektualistis,
misalnya hasrat untuk meniru, kecenderungan untuk memamerkan, kesediaan untuk
menyenangkan pihak lain, keinginan bermain-main, pemanfaatan energi yang
berlebihan dan peluapan perasaan yang ada dalam diri setiap orang.
Oleh
karena itu beranekaragamnya cabang dan teori psikologi yang diterapkan pada
sesuatu persoalan estetis, maka penelaahan yang saling liput dan hasil-hasil
yang campur baur tak dapat dihindarkan. Tapi semuanya dapat dicakup dalam
istilah psikologi estetis.
D. Estetik dan Kritik Seni
Dari
uraian di muka ternyata bahwa estetik yang semula merupakan bagian dari
metafisika telah berkembang-biak menjadi serumpun ilmu yang berdiri sendiri dan
sangat luas lingkupannya. Ilmu ini tidak begitu rapih karena isinya beraneka
ragam dan merupakan himpunan dari unsur-unsur yang cukup berlain-lainan. Rumpun
estetik ini oleh sebagian ahli di antaranya George Dickie (The Encyclopedia Americana) dan Monroe Beardsley (The Encyclopedia of Philoshopy) dinamakan
estetik ilmiah (scientiific aesthetics), sedang tokoh estetik dewasa ini Thomas
Munro (Encyclopedia Britanica) lebih
banyak menyebutnya ‘modern aesthetics’. Pelbagai persoalan dan sasaran dari
estetik ilmiah/modern kini dibahas dalam hampir setiap buku pengantar filsafat,
dapat dibaca dalam kitab-kitab sejarah (terutama sejarah kebudayaan),
ensiklopedi-ensiklopedi psikologi psikologi, karyatulis-karyatulis sosiologi,
buku-buku pegangan mengenai pendidikan, buku-buku standar antropologi dan juga
sebagian buku pelajaran matematik. Persoalan dan sasaran estetik itu bahkan
ditulis pula orang dalam hubungannya dengan bidang ilmu-ilmu antar disiplin
seperti misalnya psikobiologi dan teori informasi.
Dalam
karya-karya ilmiah yang beranekaragam itu dapatlah dijumpai nama-nama atau
sebutan-sebutan bagi estetik yang berlain-lainan seperti ilmu seni, allgemeine
Kunstwissenschaft, estetik perbandingan, estetik psikologis, estetik
eksperimentil, estetik matematis, psikologi estetis, psikologi seni, psikologi
tentang penciptaan seni, sosiologi seni, estetik sosiologis, sejarah seni, dan
terakhir bahkan sudah muncul istilah ‘informations aesthetik’. Segenap estetik
ini dapatlah dianggap sebagai cabang-cabang dari estetik ilmiah. Sesuatu cabang
itu ada yang sudah cukup besar sehingga dapat dibagi dalam ranting-ranting
seperti misalnya sejarah seni terang dapat diperinci lebih lanjut menurut
pembagian zaman-zaman dan pembedaan wilayah/bangsa. Sesuatu ranting ada pula
yang dapat dipecah menjadi beberapa tangkai, misalnya apabila sejarah seni
India merupakan salah satu ranting dari art history, ranting ini telah lazim
dibagi dalam antara lain sejarah seni Budhis, seni Hindu dan seni Jain sebagai
pelbagai tangkainya.
Estetik
ilmiah atau modern walaupun mempunyai ruang lingkup demikian luas dan perincian
isi yang begitu kaya, tapi ternyata
memiliki kesatuan ciri-ciri umum yang berikut :
1)
Estetik ilmiah merupakan ilmu empiris
yang bercorak deskriptif, yakni berusaha menemukan fakta-fakta tentang seni
serta kegiatan, citarasa dan pengalaman manusia mengenai seni, menjelaskan
proses-proses psikologis yang berhubungan dengan semua itu dan menguraikan
pelbagai seginya yang tetap dan yang berubah-ubah.
2)
Memanfaatkan macam-macam ilmu lain untuk memperoleh pemahaman yang lebih
lengkap terhadap semua segi dari seni dan segala proses pengalaman estetis.
3)
Memakai metode-metode ilmiah seperti
yang telah lazim dipergunakan dalam bidang ilmu lainnya seperti misalnya
penghimpunan data yang selengkap mungkin, penyusunan patokan duga, pengamatan
sistimatis yang terkontrol, penyimpulan yang logis, pembandingan hasil-hasil
dan pengujian terhadap kesimpulan-kesimpulan akhir.
4)
Estetik modern tidak bermaksud
mencari kaidah-kaidah semesta tentang nilai estetis dan batasan-batasan cermat
tentang keindahan atau konsep-konsep abstrak lainnya, melainkan berusaha
menemukan dan menerangkan tipe-tipe, kecenderungan atau arah hubungan
sebab-akibat dan faktor-faktor saling mempengaruhi yang bertalian dengan
sasaran penelaahannya.
5)
Terakhir estetik modern berusaha
menyusun hasil-hasil penelaahannya dalam kerangka teori-teori,
generalisasi-generalisasi yang dapat dibenarkan atau asas-asas umum yang
berlaku.
Di
samping estetik ilmiah itu tetap ada juga perhatian terhadap estetik
tradisionil oleh sebagian filsuf, walaupun pengertian-pengertian abstrak
mengenai keindahan, kejelekan atau keagungan (submity) kini dipandang lebih
banyak merupakan persoalan semantik dan dihampiri dengan analisa kebahasaan.
Jadi sampai sekarang tetap ada rumpun estetik modern yang bersifat ilmiah. Dan
sejak akhir Perang Dunia II tampaknya para ahli dapat menerima istilah tunggal
‘aesthetics’ untuk merangkum kedua rumpun estetik itu dengan segenap cabangnya
masing-masing. Kecenderungan tersebut didukung sepenuhnya oleh American Soiety
for Aesthetics (Perhimpunan Amerika untuk Estetik) yang dalam pertanyaannya
memberikan suatu perumusan bahwa aesthetics meliputi :
“all studies of the arts and related types of experience
from a philosophic, scientific, or other the oretical standpoint, including
those of psychology, sociology, anthropology, cultural history, art criticism,
anf education.” (
semua penelaahan mengenai seni dan macam-macam pengalaman yang berhubungan
dengan itu dari suatu sudut pandangan filsafati, ilmiah dan teoritis lainnya,
termasuk dari psikologi, sosiologi, antropologi, sejarah kebudayaan, kritik
seni danpendidikan.)
Perhimpunan Amerika
untuk estetik itu menerbitkan majalah bulanan berjudul Journal of Aesthetics and Art Criticism yang redaksinya dipimpin
oleh Thomas Munro (lahir dalam 1897). Perumusan estetik yang luas dari
perhimpunan itu sehingga dapat menampung semua perkembangan estetik selama ini
telah diterima oleh pelbagai
perhimpunan di beberapa negara lain dan juga dalam sidang-sidang International
Congress on Aestethics. Jadi kini estetik merupakan suatu gugus pengetahuan
yang yang sangat luas ruang lingkupnya dan beranekaragam perincian isinya
sebagai induk yang membawahkan seluruh rumpun, cabang, ranting dan tangkai
estetik yang tumbuh sejak zaman kuno sampai sekarang.
Dari perumusan
perhimpunan dan judul majalahnya tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa
pengertian estetik yang sangat luas dan kayaraya itu tidak dimaksudkan meliputi
kritik seni (art criticism). Dalam estetik filsafati dulu kritik seni termasuk dalam filsafat
seni. Sifatnya memang dapat mendua, yakni sebagai bidang pengetahuan dan
sebagai proes kegiatan. Tapi dalam arti umum sesungguhnya kritik adalah suatu
penafsiran yang beralasan dan penghargaan terhadap sesuatu hal berdasarkan
pengetahuan, ukuran baku dan cita rasa yang bertalian dengan hal itu dari orang
yang melakukannya. Jadi kritik lebih merupakan suatu perbuatan yang bersifat
pribadi, berdasarkan keyakinan subyektif dan citarasa perseorangan.
Kritik seni adalah
suatu kegiatan demikian itu yang ditujukan kepada satu karya seni tertentu
(atau paling banyak kepada sekumpulan karya seni yang tergolong dalam styl yang
sama, misalnya sejumlah patung yang dibuat oleh seorang seniman saat itu). Jadi
hasil kritik itu tidak bisa berlaku umum untuk karya-karya seni lainnya. kini
para ahli estetik umumnya sepaham bahwa peranan kritik seni bukanlah untuk
memberi nilai A, B, C dan D atau angka 1 sampai 10 terhadap sesuatu karya seni
seperti halnya memeriksa kertas ujian, melainkan memperbesar pemahaman
meningkatkan apresiasi atau membuka mata dari publik terhadap sesuatu yang
bermutu yang mungkin terluput dari pengamatan mereka. Dalam hubungan ini maka
kritik seni dapatlah dipandang sebagai penerapan dari estetik terhadap karya
seni satu per satu. Dan memang seorang ahli kritik seni yang baik dapat
memberikan tafsiran yang tepat dan penilaian yang beralasan kuat berdasarkan
literasi pengetahuan filsafat seni dan
juga cabang-cabang estetik lainnya.
Sebagai rangkuman
dari uraian sebelumnya dapatlah penulis buat bagan pembagian estetik menurut
sebagai berikut :
E S T
E T I K
( Sebagai Gugus Pengetahuan )
A.
Estetik
Filsafati B.
Estetik Ilmiah
(Rumpun Tradisionil) (Rumpun
Modern)
Meliputi
Cabang-Cabang :
1.Filsafat Keindahan 1.Ilmu
Seni
(Teori Keindahan) (Estetik
Perbandingan)
2.Sejarah Seni
3.Sosiologi Seni
2.Filsafat
Citarasa 4.Estetik
Psikologi
(Estetik
Eksperimentil)
5.Psikologi Estetis
3.Filsafat Seni (Psikologi
Seni)
(Teori Seni Indah) 6.Estetik Matematis
Kritik Seni
(
sebagai Kegiatan Penerapan )
— Ki Slamet 42 —
Sabtu, 25 Januari 2020 – 10.37 WIB
R e f e r e n s i :
The Liang Gie, GARIS BESAR ETETIK (Filsafat Keindahan)
Fakultas Fisafat Universitas Gajah Mada, Jogyakarta 1976
Tidak ada komentar:
Posting Komentar