Kita Semua Wayang Jumat, 02 April 2021
Arti musik sebagai salah satu nilai kebudayaan manusia sudah bukan barang baru lagi. Sudah sejak dahulu diakui orang, yang kurang atau sangat tidak sempurna adalah pengertiannya. Kadang-kadang malahan sekali tidak ada.
Memang gagah mengatakannya, “saya merasa”, lagi pula istilah seperti itu dapat dipahami. Tetapi yang merupakan syarat pengertian ialah kepahaman yang membuat jelas sifat ikut “merasa” itu, sehingga sesuatunya terang oleh pengertian tersebut.
Kurangnya pengertian itu jangan dianggap hanya terdapat pada si Tati dan Burhan saja! Di kalangan yang tergolong intelek pun ada, karena para cerdik pandai tidak mempunyai kesempatan untuk memperdalam pengertian musiknya, hingga mahir menyelami makna dan watak musikal. Bukan rahasia lagi, bahwa banyak yang mendengarkan musik dengan perhatian seperti membaca sebuah novel, cerita pendek atau sajak. Tidak jarang pula yang mendekati musik seperti mendekati ilmu pengetahuan. Bagi kebanyakan orang, musik itu tak lebih dari suatu hiburan. Karena kurangnya pengetahuan itu, sering juga terjadi sebab timbulnya prasangka yang bukan musikal, aneka prasangka yang bukan-bukan. Satu sebab lagi ialah karena tidak adanya tuntunan memahami sendi dasar pengetahuan musik.
Hingga kini orang terlalu menitikberatkan pendiriannya pada serba perasaan. Perasaan dianggapnya sebagai satu-satunya pedoman untuk menghampiri ucapan musik. Tapi dalam kenyataan, perasaan demikian itu tidak lain dari diri yang terapung-apung, antara sadar dan terkena bius, hanyut mengapung di muka perairan irama dan melodi. Yang aktif bukankah si pendengar ini, ia hanya laksana barisan di bawah pancuran atau douche. Selain ikut merasakan dan menikmati sentuhannya kita harus pula mampu mengerti akan sumber dan tenaga yang terpendam. Mengerti akan alat bangunan dalam pengucapan seperti harmoni, irama, melodi yang biarpun dalam ilmu dipisah-pisah pengertiannya, tetapi keliru bilamana dalam hubungan ciptaan seni, bahan-bahan itu secara estetis dianggap bukan satu keseluruhan yang bulat dan lengkap.
Dengan pendengaran yang teliti dan perhatian yang serba terbuka, akan sampailah kita ke dalam alam ciptaan seorang pencipta, alam kenyataan nada musikal percikan daya cipta seorang manusia kreatif. Dengan demikian si pendengar akan melintasi kenyataan ucapannya yang mulanya merupakan rahasia pengarangnya. Yang terjadi dalam diri si pendengar oleh nada-nada tangkapan rohani tidak kurang anehnya, serta ra keindahan dalam diri si pendengar itu terjadi rahasianya pun seperti ucapan ciptaan itu mula-mula. Keindahan dalam diri si pendengar itu terjadi karena ia memiliki intuisi artistik. Intuisi itulah penunjuk jalan yang benar. Akan tetapi seindah-indahnya intuisi, toh ia hanya mengapung-apungkan si pendengar di atas arus irama, melodi, harmoni kolorit dan dinamik. Dengan demikian, ia perlu diberi beban untuk mampu mengerti, kenikmatan sadar. Dan kenikmatan yang sadar itu ialah merasakan dan mengerti.
Pendengar...yang ahli mempunyai kemampuan menyerah...pada...kekuasaan musik yang didengarnya. Kita tahu bahwa musik berkuasa dan mampu membuat sanubari terharu. Kemampuan itu dalam kesenian adalah satu unsur yang istimewa sekali; pada musik tidak kurang dibanfing dengan cabang seni lain seperti sastra, lukis, pahat dan lain-lain. Penyerahan tadi seolah-olah membiarkan diri menjadi resonans, papan gaung penerima permainan nada musik. Kita menyerah dan tidak memberikan perlawanan sedikitpun. Yang ada hanyalah minat kita yang penuh dengan harapan terhadap apa yang akan terdengar. Minat tadi seolah-olah sebagai sikap siap untuk mengerti, timbullah lagi keinginan kita menanyakan yang dipahaminya itu. Apa? Tentu apanya ini bukanlah sesuatu di luar wilayah nada musikal, tidak perlu mencari terjemahannya di dalam kamus (sebab memang tidak ada). Jika dimisalkan musik itu bahasa, maka ia adalah bahasa simbolik, perlambang nilai jiwa dan ucapan. Selai simbolisan itu, sebetulnya tidak ada apa-apa yang dapat dibilang dengan tepat sekali. Malahan ketidatepatan itulah yang memberi sayap fantasi kita. Tidaklah tepat kita tanyakan apa artinya, seperti sesuatu perkataan dalam bahasa. Lagi pula suatu tafsiran itu tidak menjamin akan lebih benar pada tafsiran lain. Yang kita cari dalam semua bahasa musik adalah kenikmatan. Kenikmatan yang memberi ketegangan dan yang tidak, yang dalam reaksi kita itu ibarat pasang surutnya ombak, mengembung dan mengempis kembali, berbisik sesudah mengguruhnya ombak, mengembung dan mengempis kembali, berbisik sesudah mengguruh dan menggeledek! Masalah analis dan psikologis yang lain, biarpun serba menarik, semuanya harus mengalah pada kenikmatan emosi kita.
Kenikmatan emosi sebagai pokok yang dicari pendengar musik seringkali dilupakan, bahkan juga oleh para pemusik ahli. Seolah-olah horisonnya sudah dikaburkan oleh ilmu dan pengetahuannya. Walaupun para pemusik ahli itu sudah serba halus, tetapi pengertian musiknya itu lebih diperhalus. Hal itu tidak akan disangkal atau pun dicemooh, apalagi jika bentuk musikal besar yang menjadi sasarannya. Semakin utuh latihan dan pendengaran, akan lebih bernilai kenikmatan yang diperoleh; sehingga akan semakin sempurna pula nuansa kudus dalam ucapan musiknya. Misalnya jika sukacita yang diucapkan, maka siapa saja akan mengatakan, “Ah, itu sukacita!” tapi sukacita itu tidak hanya satu coraknya, bahkan macam-macam. Begitu pula yang mencampurinya, misalnya kelincahan, ketakutan, kegembiraan, mengalami tekanan, seolah-olah terbahak-bahak lupa daratan atau masih ingat batas-batasnya. Dan begitulah seterusnya selama bahasa berfungsi sebagai alat untuk mengungkapkan berbagai macam emosi.
Walaupun demikian, sudah sewajarnya bila sikap si pendengar mengandung diferensiasi, misalnya dia bisa mendengar musik Debussy dengan sikap yang sama seperti terhadap musik Bach. Hal semacam itu sebenarnya tidak boleh terjadi karena kedudukan musiknya lain dalam penempatan gayanya. Maka pengetahuan sejarah musik merupakan salah satu persiapan utama, karena dengan pengetahuan itu akan mampu menggunakan diferensiasi untuk pengertian apresiasi. Suatu kegembiraan hidup di zaman Mozart dalam musik, janganlah dicari di zaman romantik Jerman, sekitar tahun 1870, karena di Jerman pada saat itu orang sibuk dalam romantik individualistis. Malahan adalah satu kesalahan besar menyongsong musik ultra modern sekarang ini dengan ukuran nilai romantik Eropa abad lalu. Apalagi jika keharmonisan sekarang hendak diukur dengan keharmonisan abad itu. Tentu hasilnya akan dikatakan bukan musik, tapi berisik kakofoni. Padahal keharmonisan ultra modern itu hanya akibat dan konsekuensi dari yang ada pada abad ke- 19, tidak menyalahi suatu logika, dan merupakan kelanjutan perkembangan sebelumnya belaka.
Dan jika tadi ditanyakan tentang, apa yang dimengerti si pendengar, maka tidak lain adalah sesuatu yang dikemukakan dan dimaksud oleh penciptanya.
Walaupun ada yang dimengerti, tetapi cukuplah jika minat terpikat itu tertambat atau terbelenggu. Yang penting ialah bulatnya minat terpikat. Yang terdengar itu tidak lain adalah isi lubuk hati penciptanya, seperti tercermin dalam ciptaan itu.
Sumber:
Amir Pasaribu:
“Analisis Musik Indonesia” hal. 13-16
Penerbit:
PT. Pantja Simpati Jakarta 1986
Tidak ada komentar:
Posting Komentar