Ki Slamet Blog - Guru SMPIT Annur Cimande Menulis
Minggu, 01 Juli 2018 - 16:45 WIB
Minggu, 01 Juli 2018 - 16:45 WIB
Buku Kritik Sastra |
K R I T I K S A S T R A
A.
Batasan Kritik Sastra.
Istilah kritik sastra punya sejarah panjang . istilah itu
telah dikenal tahun 500 sebelum Masehi. Kata kritik berasal dari krinein, bahasa
Yunani, yang berarti menghakimi,
membanding, atau menimbang. Kata krinein menjadi pangkal atau asal kata kreterion yang berarti dasar, pertimbangan, penghakiman. Orang
yang melakukan pertimbangan dan penghakiman itu disebut krites yang berarti hakim. Bentuk
krites inilah yang menjadi dasar kata
kritik yang kita gunakan di sini.
Kegiatan kritik sastra pertama dilakukan bangsa Yunani
bernama Xenophanes dan Heraclitus, ketika mereka mengecam pujangga Homerus yang
gemar mengisahkan cerita tentang dewa-dewi yang mereka anggap tidak senonoh
serta bohong. Peristiwa kritik sastra yang pertama itu kemudian diikuti oleh
tokoh-tokoh lain seperti Aristphanes (450 — 385 S.M.). setelah itu, muncullah
tokoh Plato (427 — 347 S.M.) dan disusul pula oleh Aristoteles (384 — 322
S.M.).
Buku tentang kritik sastra dan lengkap, yang dapat
dipandang sebagai sumber pengertian kritik modern merupakan buah tangan Julius
Caesar Scaliger (1484 — 1585). Buku itu berjudul Criticus, di isinya menerangkan tentang tentang perbandingan antara
pujangga-pujangga Yunani dan latin dengan titik berat pada pertimbangan,
penyejajaran, dan penghakiman terhadap Homerus guna mengagungkan Vergilius.
Dalam sastra Inggris abad ketujuh belas istilah critic dipakai baik untuk menunjukkan
orang yang melakukan kritik (kritikus) maupun untuk melakukan kritik itu
sendiri. Kemudian muncul pula istilah
criticism yang dipakai pertama kali oleh penyair John Dryden (1677).
Istilah itu kemudian menjadi lebih kokoh setelah terbitnya buku John Dennis, The Grounds of Criticism in Poetry (711).
Semenjak itu istilah criticism dipandang
lebih tepat dari cakup pengertian yang lebih luwes. Tidak hanya itu, malahan
berkembang menjadi sutu kegiatan kesastraan yang mendapat tempat yang tak terpisahkan
dari pendidikan dan pengajaran sastra.
Di Indonesia istilah maupun pengertian kritik sastra baru
dikenal setelah para sastrawan meperoleh atau mendapat pendidikan dari atau di
negara Barat sekitar awal aba kedua puluh. Sungguhpun demikian, bukan tidak
terjadi sebelumnya penilaian penilaian atau penghukuman terhadap sastrawan dan
karyanya di dalam sejarah kehidupan kesastraan ini. Kita tentu tahu, bahwa
syair-syair Nuruddin ar-Raniri yang dibakar karena ajaran mistik yang
terkandung di dalamnya dianggap bertentangan dengan ajaran penyair Hamzah Fansuri, bahkan dinilai sangat
membahayakan ajaran agama pada umumnya. Dengan demikian pula sastra suluk dan
sastra Jawa seperti Kitab Darmogandul dan
kitab Suluk Gatoloco, karena dianggap
menyampaikan ajaran mistik yang bertentangan dengan ajaran agama. Malahan kita
masih ingat beberapa karya sastra yang dilarang peredarannya oleh pemerintah
karena dianggap mengandung pikiran-pikiran yang bertentangan dengan kepentingan
umum dan kepentingan kehidupan kenegaraan. Perlakuan terhadap karya sastra
seperti itu tentu tidak dapat digolongkan ke dalam penertian kritik sastra
dalam artian yang sesungguhnya.
Jadi, sesunguhnya kritik sastra sudah ada dalam kehidupan
sastra Nusantara dalam arti yang seluas-luasnya. Hanya saja kritik tersebut
tidak berbentuk tulisan dan tidak mempunyai aturan yang sistematik. Kritik
berlangsung secara lisan oleh masyarakat yang baru saja menyaksikan suatu
pertunjukan atau pergelaran kesenian, atau memberi komentar tentang suatu karya
sastra yang dibaca kepada teman sejawat. Dalam wayang kulit mendapat sorotan
masyarakat masyarakat, diperbincangkan tentang caranya memainkan wayangnya atau
mengenai teknik ucapan pelaku-pelakunya. Situkang kaba di Minangkabau akan
diperbincangkan mengenai kebolehannya menyusun alur cerita dan membangun kontak
dengan pendengarnya. Begitulah, bahwa hampir setiap penonton atau hadirin dalam
suatu pergelaran kesenian merupakan pengertik-pengeritik dalam arti yang luas.
Sehingga hal itu dapat menjadi sumbangan yang positif bagi peningkatan mutu
karya para seniman.
Meskipun sudah ada semacam kritik sastra tapi belum ada
teori atau kerangka acuan yang digunakan. Kritik berlangsung dalam kerangka
selera personal dan pengalaman masing-masing. Baru setelah adanya pengaruh
Barat sebagaimana yang telah disebutkan di atas timbullah kritik sastra dalam
sastra Indonesia, dalam arti sudah mempunyai teori kritik walau berdasarkan
pada pola kritik yang dikembangkan di Barat.
Dengan munculnya kritik sastra di In donesia maka kita
sudah memiliki tiga wilayah ilmu atau studi sastra, yaitu teori sastra, sejarah
sastra, dan kritik sastra. Teori sastra menyangkut bidang yang membicarakan
masalah definisi sastra, hakekat sastra, teori penelitian sastra, jenis sastra,
teori gaya penulisan, dan teori penikmatan sastra. Sejarah sastra merupakan
studi sastra yang berhubungan dengan penyusunan sejarah sastra seperti masalah
periodesasi dan perkembangan sastra. Kritik sastra merupakan bidang studi
sastra yang berhubungan dengan pertimbangan karya sastra, mengenai bernilai
atau tidaknya sebuah karya sastra. Ketiga wilayah studi sastra ini saling
berhubungan erat, saling menunjang, dan saling isi mengisi.
Di Indonesia memang pernah istilah kritik ini pernah dihindari karena dianggap perkataan itu membawa
makna yang cukup tajam, dan perbuatan mengeritik itu dianggap destruktif, sehingga sering dimunculkan
sinonimnya seperti penyelidikan, atau
pengkajian, atau telah, atau ulasan, atau bahasan. Sungguh pun banyak kemungkinan
pilihan kata yang dapat digunakan, dan memang pernah digunakan, namun akhirnya
katakritik itu sendiri tetap
digunakan secara luas. Dengan munculnya beberapa buku kritik sastra H.B. Jassin
dan penulis-penulis lainnya, menyebabkan pengertian kritik sastra itu menjadi
semakin tumbuh dan berkembang dengan baik.
Tentang kritik sastra itu sendiri, berbagai batasan kita
jumpai. HB Jassin mengemukakan bahwa kritik sastra adalah pertimbangan baik
buruknya suatu hasil karya sastra. Rumusan semacam ini tentu ada benarnya bila yang dimaksudkan adalah semacam
penilaian, tanggapan, dan komentar terhadap suatu karya sastra. Masalahnya
tidak hanya masalah baik dan buruk semata melainkan diperlukan adanya
alternatif-alternatif lain.
William Flint Thrall dan Addison Hibbard dalam bukunya A Handbook ti Literature (1960)
mengemukakan sebagai berikut: Kritik adalah merupakan keterangan, kebenaran
analisis atau judgment suatu karya
sastra. Selanjutnya dikatakan, bahwa ada beberapa cara mengklasifikasikan
kritik, yang lazim di antaranyaa adalah mimetic, pragmatik, ekspresif, dan
obyektif. Salah satu dikhotomi umum
kritik ialah aliran Aristetotelian versus Platonic.
Aristolian menganggap kritik bersifat formal,
logis dan yudisial yang cenderung mengemukakan nilai-nilai karya pada diri
suatu karya sastra atau hal-hal yang berhubungan dengan karya itu sendiri.
Platonic mengarah kepada pada pandangan moral dan kegunaan (manfaat) suatu
karya seni, dimana nilai suatu karya seni diperoleh pada kegunaan untuk yang
lain dan tujuan-tujuan non seni. Jadi, pada pokoknya apa yang dimaksud dengan
dikhotomi Aristoliant Platonic ialah
pemisahan intrinsik dengan ekstrinsik.
Andre Harjana, dalam bukunya Kritik Sastra: Sebuah
Pengantar (1981) mendifinisikan kritik sastra sebagai hasil usaha pembaca
dalam mencari dan menentukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan
penafsiran sistematik, yang dinyatakan dalam bentuk tertulis. Selanjutnya
dijelaskan Harjana: kata pembaca
dalam difinisi singkat itu digunakan dengan sengaja untuk menunjukkan bahwa
kritik sastra dapat membuat kritik sastra yang baik, apabila ia betul-betul
berminat pada sastra, terlatih kepekaancitanya, dan mendalami serta menilai tinggi pengalaman manusiawi dalam
menunjukkan kerelaan jika untuk menyelami dunia karya sastra.
Menurut Gayley dan Scott (Drs. Liaw Yock Fang, 1970)
krrtik sastra adalah :
1.
Mencari kesalahan (fault-Finding),
2.
Memuji (to praise),
3.
Menilai (to judge)
4.
Membanding (tocompare), dan
5.
Menikmati (to appreciate).
Menurut L.L. Duroche (1967) dengan mengutip pendapat
Stanley Edgard Huyman, mendifenisikan kritik seni sebagai “interpreting the
work, relating it to literary tradition, evaluating it, and so on.” Kemudian
dia menarik suatu kesimpulan bahwa terdapat tiga pendapat tentang kritik sastra
:
1.
Kritik sastra adalah penilaian (evaluation)
2. Kritik sastra adalah interpretasi (interpretation), sebab (a)
belum adanya ukuran yang baku, (b) ukuran itu sendiri tidak dapat disusun.
3.
Kritik sastra itu adalh penilaian dan interpretasi.
Batasan kritik sastra yang disebut di atas pada dasarnya memiliki jalan pikiran yang hampir sama,
perbedaannya hanyalah terletak pada graduasi belaka. Dari uraian di atas dapat
kita tarik kesimpulan bahwa kritik sastra adalah upaya menentukan nilai hakiki
karya sastra dalam bentuk memberi pujian, mengatakan kesalahan, memberi
pertimbangan ewat pemahaman dan penafsiran yang sistematik. (Posted By Drs. Slamet Priyadi)
PUSTAKA :
Drs. Atar Semi, “Kritik Satra”
Penerbit ANGKASA Bandung 1984
Tidak ada komentar:
Posting Komentar