Blog Ki Slamet 42: Guru SMPIT Annur Menulis
Kamis, 02 Mei 2020 - 05.45 WIB
Kamis, 02 Mei 2020 - 05.45 WIB
Ki Hajar Dewantara (1889-1959) |
Setiap tahun
pada tanggal 02 Mei di setiap instansi, khususnya Institusi
Pendidikan, secara nasional memperingati “Hari
Pendidikan Nasional”. Pertanyaannya adalah mengapa peringatan Hari
Pendidikan Nasional itu diperingati pada setiap tanggal 02 Mei? Jawabannya tentu kita tahu. Akan tetapi
mungkin saja di antara kita banyak yang sudah lupa atau bahkan mungkin tidak
tahu dan tidak mengenal siapa sosok Ki Hajar Dewantara itu.
Nah,
melalui
tulisan ini saya berupaya membangkitkan
kembali ranah kognitif kita, memunculkan kembali ingatan kita
pada sosok Ki Hajar Dewantara yang fenomenal itu. Tentu saja dalam rangka
menghormati, mengenang jasa, dan meneladani sepak terjang serta perjuangan
beliau yang begitu keras bagi kemajuan bangsa Indonesia khususnya dalam dunia
Pendidikan Nasional kita.
Menurut
sejarah, Ki Hajar Dewantara dilahirkan di kota budaya yang dikenal juga dengan
sebutan kota pelajar, Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 dengan nama Raden Mas
Suwardi Suryaningrat. Ayahnya adalah seorang Pangeran bernama “Pangeran Suryaningrat” putra Paku Alam
ke-4 dari Yogyakarta.
Selepas
lulus sekolah dasar Belanda “ELS” ( Europesche
Largere School ), beliau melanjutkan ke Sekolah Guru juga ke STOVIA. Akan
tetapi di sekolah ini Ki Hajar Dewantara tidak bisa menyelasaikan studinya
sampai selesai karena bea siswa yang diperolehnya dihentikan alias dicabut
karena gagal dalam mengikuti ujian kenaikan tingkat.
Pelajaran
yang bisa kita peroleh dari keteladanan beliau adalah pada sikap tegar tak
kenal putus asa, meskipun beliau gagal dalam ujian, dan oleh karena itu pula
bea siswanya sampai dicabut atau
dihentikan, beliau sama sekali tidak kecewa, tidak putus asa bahkan tetap tegar
menghadapinya. Hal ini dibuktikannya dengan aktif dalam kegiatan menulis yang
lebih intens dalam organisasi pergerakan pemuda yang sebelumnya memang sudah
digelutinya.
Beberapa
tulisan beliau banyak menjadi pembicaraan dalam masyarakat,
bahkan dua buah tulisannya yang berisi kritikan terhadap pemerintah Kolonial
belanda mendapat perhatian khusus. Kedua tulisan itu diberi judul, “Als Ik Een NederlanderWas” (Seandainya
Aku Seorang Belanda), dan “Een Voor Allen
maar Ook Allen voor Een” (Satu untuk Semua, Namun Semua untuk Satu
Jagad).
Selain
aktif menulis dan bekerja di sebuah Apotek Rathkamp, Yogyakarta, Ki Hajar
Dewantara pun aktif dalam berorganisasi. Beliau masuk organisasi “Boedi Oetomo” berada dalam divisi
propaganda. Bersama-sama dengan Danudirja, Setyabudi, dan Cipto
Mangunkusumo mendirikan “IP” (Indische Partij) di Bandung.
Terlalu
keras dan dianggap banyak menyulitkan pemerintah kolonial Belanda, ketiganya
pun ditangkap dan diasingkan ke Negeri Belanda selama 6 tahun. Akan tetapi yang
namanya Ki Hajar Dewantara memang memiliki sikap ketegaran yang luar biasa. Ia
pantang menyerah dan terus berjuang keras membangun jiwa, membangun karakter
bangsa. Di Negeri Belanda ini beliau memanfaatkan waktu luangnya dengan
mengasah terus wawasan inteletualnya dengan belajar ilmu pendidikan sampai
akhirnya memperoleh “Akta Guru Eopa”
(Euroopeesche Akte).
Selepas
pulang dari pengasingan selama 6 tahun dan memperoleh Akta Guru Eropa, Ki Hajar
Dewantara mendarmabaktikan keilmuannya menjadi Guru di sekolah yang didirikan
oleh sahabatnya Soeryopranoto. Di sekolah ini ia tetap berjuang keras untuk
membangun jiwa, membangun karakter bangsa dengan berbagai pandangan-pandangan
hidup dan pemikiran-pemikirannya yang berkait dengan karakter bangsa. Sampai
pada akhirnya beliau, Ki Hajar Dewantara mendirikan “Perguruan Nasiona Tamansiswa” (Onderwijs Institut Tamansiswa) pada
tanggal 3 Juli 1922.
Karena
ketokohannya dalam dunia pendidikan, beliau Ki
Hajar Dewantara dipercaya dan ditunjuk menjadi salah satu anggota PUTERA (Pusat
Tenaga Rakyat) di era penjajahan Jepang. Beliau juga dipercaya terpilih sebagai
Menteri Pengajaran Kabinet Pertama Republik Indonesia pada tanggal 2 September
1945. Beliau, Ki Hajar Dewantara terus berkiprah, berjuang tak kenal lelah dan
putus asa, membangun jiwa, membangun karakter bangsa lewat pendidikan hingga
pada akhir hayatnya.
Ajaran
Ki Hajar Dewantara yang sampai sekarang tetap terpatri di setiap jiwa para
pemimpin dan teerutama para guru adalah:
1.
Ing
Ngarso Sung Tulodo (di depan menjadi teladan),
2. Ing Madyo Mangun Karso (di
tengah membangun dan membangkitkan karsa),
3.
Tut
wuri Handayani” (di belakang memberi dorongan semangat dan motivasi).
Beliau, Ki Hajar Dewantara akhirnya menghembuskan nafas
terakhir pada tanggal 26 April 1959 di
Yogyakarta dan dimakamkan di Pemakaman Wijayabrata, Yogyakarta. Oleh karena jasanya Pemerintah Republik Indonesia
menganugerahi beliau sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional tahun 1959. Dan, hari
lahirnya pun diperingati sebagai “HARI
PENDIDIKAN NASIONAL”.
Sabtu, 02 April 2020│04:06 WIB
Drs. Slamet Priyadi
Di Kp. Pangarakan, Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar