Blog Ki Slamet 42: Guru SMPIT Annur Cimande Menulis
Senin, 03 Febuari 2020 - 24.00 WIB
A.
Teori
Bentuk
Filsafat seni membahas
pula pelbagai teori tentang seni. Teori-teori itu pada umumnya tergolong dalam
pengertian teori umum tentang seni (general
theory of art). Di samping itu ini sesungguhnya ada teori khusus (specivic theory atau special theory)
tentang masing-masing jenis atau ragam seni. Misalnya Aristoteles pernah
mengembangkan teori tentang tragedi dan untuk teori khusus itu dipergunakannya
istilah poetics. Kini istilah itu tampaknya dapat diterima untuk menyebut suatu
teori khusus tentang jenis-jenis seni apa pun, seperti umpamanya poetic of music (teori khusus tentang
musik) atau poetic of music (teori
khusus tentang musik) atau poetic of
dance (teori khusus tentang tari).
Jika dalam teori
keindahan dipersoalkan apakah keindahan itu sesuatu kwalita obyektif dari benda
ataukah hanya tanggapan subyektif sipengamat ? Maka sejajar dengan itu ada dua
teori seni yang membahas apakah seni itu suatu bentuk murni (pure form) atau suatu
pengungkapan (expression) sesuatu yang ada dalam diri seseorang. Teori yang
pertama terkenal sebagai formalis theory (teori
bentuk) yang didukung sepenuhnya oleh penulis seni Inggris Clive Bell (1881 –
1964) dalam bukunya berjudul “Art”. Menurut beliau segenap seni penglihatan dan
musik sepanjang masa mempunyai significant
form (bentuk penting atau bentuk yang bermakna) sehingga seni tersebut
dihargai orang. Tapi Bell tidak mengemukakan ciri-ciri dari bentuk yang
demikian itu. Beliau hanya merumuskan bahwa significant form adalah bentuk dari karya seni yang
menimbulkan tanggapan berupa perasaan estetis (Aesthetic emotion) dalam diri seseorang. Dan sebaliknya perasaan
estetis adalah persaan yang digugsh oleh significant form. Menurut teori bentuk itu “Pokoksoal”,
tema atau dalil moral mau pun isi dari suatu karya seni tidaklah penting untuk
penghargaan terhadap karya seni. Jadi dalam pertentangan antara bentuk dengan
isi, teori formalis menekankan mutlaknya bentuk untuk tercapainya penikmatan
estetis.
B.
Teori
Pengungkapan
Teori bentuk
mendapat tantangan dari teori pengungkapan tentang seni ( expression theory art
). Dalil dari teori ini ialah bahwa “Art is an exoression of human feeling” (
Seni adalah suatu pengungkapan dari perasaan manusia ). Teori ini terutama
bertalian dengan apa yang dialami oleh seseorang seniman ketika menciptakan
suatu karya seni.
Tokoh teori ekspresi
yang paling terkenal ialah filsuf Italia Benedetto Croce
( 1886 – 1952 )
dengan karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris “Aesthetics as
Science of expreeion and general Linguistic.” Beliau antara lain menyatakan
bahwa “Art is expression of impression” ( Seni adalah pengungkapan dari
kesan-kesan. ) Expression adalah sama
dengan intuition. Dan intuisi adalah pengetahuan intuitif yang diperoleh
melalui pengkhayalan tentang hal-hal individual yang menghasilkan gambaran
angan-angan (images). Dengan demikian pengungkapan itu berwujud pelbagai
gambaran angan-angan seperti misalnya images warna, garis dan kata. Bagi seseorang
mengungkapkan berarti menciptakan seni dalam dirinya tanpa perlu adanya
kegiatan jasmaniah keluar. Pengamalan estetis seseorang tidak lain adalah
ekpresi dalam anggaran angan-angan. Teori Croce yang tidak banyak menghiraukan
karya seni yang diwujudkan keluar terasa kurang memuaskan bagi banyak ahli
estetik.
Seorang tokoh
lainnya dari teori pengungkapan adalah Leo Toltoy. Pendapatnya tentang
pengertian seni telah dikutip pada uraian sebelunya. Dalam karyanya What is Art? Itu beliau menegaskan
sebagai berikut :
“To evoke in oneself s feeling one has once experienced
and having evoked it in oneself then by means of movements, lines, sounds, or
forms expressed in word, so transmit that feeling that others experience the
same feeling – this is the activity of art.”
( Memunculkan dalam diri sendiri suatu
perasaan yang seseorang telah mengalaminya dan setelah memunculkan itu kemudian
dengan perantaraan pelbagai gerak, garis, warna, suara atau bentuk yang
diungkapkan dalam kata-kata memindahkan perasan itu sehingga orang-orang lain
mengalami persaan yang sama – ini adalahkegiatan seni. )
C.
Teori
Metafisis
Teori seni yang bercorak metafisi merupakan
salah satu teori yang tertua, yang berasal dari Plato yang karya-karya tulisnya
untuk sebagian membahas estetik filsafati, konsepsi keindahan dan teori seni.
Mengenai sumber seni Plato mengemukan suatu teori peniruan (imitation theory)
ini sesuai dengan metafisika Plato yang mendalihkan adanya dunia ide pada taraf
yang tertinggi sebagai realita Ilahi. Pada taraf yang lebih rendah terdapat
realita duniawi, ini yang merupakan cerminan semu dan mirip dengan realita Ilahi
itu. Dan karya seni yang dibuat manusia hanyalah merupakan mimemis (tiruan)
dari realita duniawi. Sebagai contoh Plato Plato mengemukakan ide keranjangan
yang abadi, asli dan indah sempurna ciptaan Tuhan. Kemudian dalam dunia ini
tukang kayu membikin ranjang dan kayu yang merupakan imitasi dari ide tertinggi
ke-ranjang-an itu. Dan akhirnya seniman meniru ranjang kayu itu dengan
menggambarnya dalam sebuah lukisan. Jadi karya seni adalah tiruan dari suatu
tiruan lain sehingga bersifat jauh dari kebenaran atau dapat menyesatkan.
Karena itu seniman tidak mendapat tempat sebagai warga dari negara Republik
yang ideal menurut konsepsi Plato.
Dalam zaman modern suatu teori seni lainnya
yang juga bercorak metafisis dikemukakan antara lain oleh filsuf Arthur
Schopenhauer (1788 – 1860). Menurut beliau seni adalah suatu bentuk dari
pemahaman terhadap realita. Dan realita yang sejati ialah suatu keinginan
(will) yang semesta. Dunia obyektif sebagai ide hanyalah wujud luar dari
keinginan itu. Selanjutnya ide-ide itu mempunyai perwujudannya sebagai
benda-benda khusus. Pengetahuan sehari-hari adalah pengetahuan praktis yang berhubunan dengan
benda-benda itu. Tapi ada pengetahuan yang lebih tinggi kedudukannya, yakni
yang diperoleh bilamana pikiran diarahkan kepada ide-ide dan merenungkannya
demi ide – ide itu sendiri. Dengan melalui perenungan semacam ini lahirlah
karya seni. Seniman besar adalah seseorang yang mampu dengan perenungannya itu
menembus segi-segi praktis dari benda-benda di sekelilingnya dan sampai pada
maknanya yang dalam, yakni memahami ide-ide di baliknya.
D.
Teori
Psikologis
Teori-teori
metafisis dari para filsuf yang bergerak di atas taraf manusiawi dengan
konsepsi tentang ide tertinggi atau kehendak semesta umumnya tidak memuaskan,
karena terlampau abstrak dan spekulatif. Sebagian ahli estetik dalam abad
modern menelaah teori-teori seni dari sudut hubungan karya seni dan alam
pikiran penciptanya dengan mempergunakan metde-metode psikologis. Misalnya berdasarkan
psikoanalisa dikemukakan teori bahwa proses penciptaan seni adalah pemenuhan
keinginan-keinginan bawah sadar dari seorang seniman, sedang karya seninya itu
merupakan bentuk terselubung atau diperhalus yang di wujudkan keluar dari
keinginan-keinginan itu.
Suatu teori lain
tentang sumber seni ialah teori
permainan (play theory) yang dikembangkan oleh Friedrich Schiller (1759-1850)
dan Herbert Spencer (1820-1903). Menurut schiller asalmula seni adalah dorongan
dorongan batin untuk bermain-main (play impulse) yang ada dalam diri seseorang.
Seni merupakan semacam permainan menyenangkan segenap kemampuan mental manusia
berhubung dengan adanya kelebihan energi yang harus dikeluarkan . bagi Spencer
permainan itu berperan untuk mencegah kemampuan-kemampuan mental manusia
menganggur dan kemudia menciut karena disia-siakan. Seseorang yang semakin
meningkat taraf kehidupannya tidak memakai habis energinya untuk keperluan
sehari-hari, kelebihan tenaga itu lalu menciptakan kebutuhan dan kesempatan
untuk melakukan rangkaian permainan yang imaginatif dan kegiatan yang akhirnya
menghasilkan karya seni. Teori permainan tentang seni tidak sepenuhnya diterima
oleh para ahli estetik. Keberatan pokok yang dapat diajukan ialah bahwa
permainan merupakan suatu kreasi, padahal seni adalah kegiatan yang serius dan
pada dasarnya kreatif.
Sebuah teori lagi
yang kiranya dapat digolongkan dalam teori psikologis ialah teori penandaan
(signification theory ) yang memandang seni sebagai suatu lambang atau tanda
dari perasaan manusia. Simbol atau tanda yang menyerupai benda yang dilambangan
disebut iconic sign (tanda serupa),
misalnya tanda lalu-lintas yang memperingatkan jalan yang berbelok-belok dengan
semacam huruf Z adalah suatu tanda yang serupa atau mirip dengan keadaan jalan yang akan dilalui. Menurut teori
penandaan itu karya seni iconic sign
dari proses psikologis yang berlangsung dalam diri manusia, khususnya
tanda-tanda dari perasaannya. Sebagai contoh sebuah lagu dengan irama naik
turun dan alunan cepat-lambat serta akhirnya berhenti adalah simbol atau tanda
dari kehidupan manusia dengan belbagai perasaanya yang ada pasang-surutnya serta saat tergesa-gesa
atau santainya dan ada akhirnya.
E.
Teori
Suasana Lingkungan
Abad 18 merupakan
titik awal dari perubahan besar terhadap filsafat keindahan dan filsafat seni
dengan lahirnya istilah ‘aesthetica’, munculnya pengertian seni indah, adanya
ukuran baku tersendiri dalam estetik, runtuhnya teori proporsi tentang
keindahan, tertariknya perhatian orang terhadap pengalaman estetis dan
dimulainya penelaahan dengan metode-metode empiris. Suatu perkembangan lainnya
lagi yang penting ialah timbulnya gagasan tentang otonomi seni.
Perubahan-perubahan
sosial, ekonomi dan politik dalam abad 19 mengakibatkan semakin besarnya
perhatian orang terhadap kedudukan, peranan dan hubungan seni dengan masyarakat
lingkungannya. Sebagian filsuf, ahli estetik dan seniman terutama di Perancis
mencanangkan ajaran bahwa seni adalah otonom, dapat berdikari dan memiliki
tujuan sendiri. Seni tidak perlu mengabdi pada sesuatu apapun di luarnya dan
karena itu tidak boleh dinilai dengan ukuran-ukuran baku yang tidak bercorak
estetis seperti misalnya pertimbangan-pertimbangan moral, politik atau
keagamaan. Bagi para seniman sendiri seni merupakan panggilan hidupnya dan
tugas mereka hanyalah menyempurnakan hasil karyanya terutama keindahan
bentuknya. Doktrin itu semakin lama semakin diagung-agungkan sehingga menjadi
suatu pandangan hidup atau aliran pemikiran yang disebut aestheticism antara
tahun 1820 – 1830. Ajaran tersebut menjadi sangat terkenal dengan semboyannya l’art pour l’art yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris menjadi art for
art’s sake (seni demi seni itu sendiri). Semboyan termasyhur itu pertama
kali dipergunakan oleh filsuf Victor Cousin (1792-1867). Pertentangan pendapat
antara pendykung dan penentang otonomi seni
yang mutlak terjadi sampai ke Jerman dan Inggris.
Dalam abad 20 ini
fisuf Amerika yang terkenal John Dewey (1859-1952) menganut teori suasana
lingkungan (contextualist theory) bagi seni beliau menentangpemisahan seni dari
segi-segi kehidupan yang lainnya dan menekankan hubungan terusmenerus di antara
keduanya. Menurut John Dewey seni
tersatupadukan begitu erat dengan lingkungan hidup yang menumbuhkannya dan
dalam lingkungan itu seni dinikmati. Dengan demikian seni hanyalah dapat
dimengert dalam rangka makna sosial yang terkandung di dalamnya.
F.
Sifat
Dasar Seni
Pelbagai teori yang dikemukakan
di atas menunjukkan pertentangan-pertentangan yang ada dalam filsafat seni.
Teori bentuk berlawanan dengan teori pengunkapan, teori metafisis ditentang
oleh teori psikologis dan aestheticism tidak sepaham dengan teori suasana
lingkungan . teori-teori itu karena masing-masing hanya menekankan sesuatu segi
yang dipandang terpenting juga tidak membemberi penjelasan yang lengkap
mengenai sifa dasar seni (nature) dari seni. Oleh karena itu perlulah diberikan
suatu uraian tentang ciri-ciri yang paling umum dari seni sehingga diperoleh
gambaran yang lebih jelas mengenai apa, bagaimana dan kemana sesungguhnya seni
pada dewasa ini ?
Menurut kesimpulan
yang dapat kami buat dari pengamatan, pembacaan, dan pemikiran selama ini, seni
sekurang-kurangnya mempunyai 5 ciri-ciri yang sebagai kebulatan merupakan
sifatdasar seni :
1)
Kreatif
Seni yang sejati
senantiasa kreatif. Ini berarti bahwa seni sebagai rangkaian kegiatan manusia
selalu menciptakan realita baru, yakni sesuatu apa pun yang tadinya belum
terdapat atau terlintas dalam kesadaran seseorang. Apabila seseorang membuat
lukisan batik dengan motif, pola dan kombinasi yang belum pernah diciptakan
oleh seseorang pelukis lain, maka ini adalah seni. Kalau ia hanya melukis ulang karya batik yang telah dibuat oleh
orang lain, maka ia hanya melaksanakan suatu kerajinan batik. Demikian pula
kalau misalnya sekarang dibangun sebuah candi baru yang sama persis denganCandi
Borobudur karena yang asli itu sudah tidak dapat diperbaiki lagi, maka ini juga
hanya merupakan kerajinan batu dan bukan seni.
2)
Individual
Seni senantisa
dilakukan oleh individu tertentu, satu individu khas. Suatu seni kolektif atau
seni massa tidaklah ada. Dengan demikian setiap karya seni harus senantiasa hasil ciptaan pelukis A(ffandi), novel karangan B(osje), sajak gubahan C(hairil) dan seterusnya. Demikian pula
sebaliknya penikmatan terhadap suatu karya seni juga bersifat perorangan.
Pengalaman estetis adalah pengalaman dari masing-masing individu yang bisa sama
tapi juga bisa berbeda. Bilamana suatu keluarga misalnya bersama-sama menikmati
dan mengagumi sebuah lukisan dalam musium, penikmatan itu dinikmati sendiri.
Pengaguman kolektif tidaklah pula ada betapa pun erat hubungan batin di antara
suami, isteri dan anak-anak itu.
3)
Perasaan
Ciri ketiga ialah
bahwa seni bersangkutpaut dengan persaan masing-masing yang diungkapkan dengan
perasaan masing-masing. Apa yang diungkapkan oleh seseorang seniman dalam atau
melalui karya seninya ialah perasaannya. Demikian pula apa yang digetarkan oleh
karya seni dalam diri seorang pengamat adalah tak lain emosi. Oleh krena itu
penilaian terhadap karya seni perlulah dilakukan berdasarkan perasaan estetis
dan ukuran nilai estetis. Bagi karya seni tidak ada pengertian benar atau salah
menurut pertimbangan akal manusia. Demikian pula tidaklah tepat menghukum
sesuatu karya seni berdasarkan ukuran kesusilaan, keagamaan atau pertimbangan-pertimbangan
lainnya yang non estetis.
4)
Keabadian
Ciri seni yang kempat ialah keabadian. Sekali suatu karya seni selesai diciptakan, realita baru
itu tetap langgeng walapun seniman penciptanya sudah tidak ada lagi. Sebuah
bangunan arsitektur dapat dimusnahkan atau karya sastra dibakar, tapi
penciptaanitu tidak dapat dibatalkan seperti halnya putusan pengadilan negeri
dibatalkan oleh pengadiln tinggi. Inilah sifat abadi dari seni. Seorang ahlli
estetik sampai mengatakan bahwa seniman adalah satu-satunya pemenang dalam
perjuangan manusia melawan waktu.
5)
Bersifat
semesta
Ciri
seni yang terakhir adalah bersifat semesta dari seni itu dan seni muncul di
mana-mana tumbuh sepanjang masa, karena manusia mempunyai perasaan dan seni
adalah semacam bahasa yang mengungkapkan perasaan itu. Suku bangsa dimana pun
yang paling primitif mungkin tidak memiliki agama, tidak bisa berhitung dan
masih buta huruf, tapi tentu mempunyai suatu seni seperti seni tari, menghiasi
tobaknya ataupun hanya memuku gendang. Jadi karya seni diciptakan dan
berkembang di seluruh dunia tnpa ada hentinya. Ini dapat terjadi karena seni
mempunyai nilai bagi kehidupan manusia.
Demikianlah
ciri-ciri umum dan paling pokok yang merupakan sifatdasar dari seni. Dengan
sifatdasar yang demikian itu seni menjadi suatu penawar untuk menghilangkan
kesenadaan dalam hidup manusia. Bahkan banyak ahli estetik sependapat bahwa
seni denganxsegenap hasil karyanya telah meningkatkan mutu dan memerkaya
kehidupan manusia. Oleh karena itu minat terhadap estetik akhir-akhir ini
tumbuh terus, yakni semakin banyak pelajaran, buku, majalah dan perhimpunan
serta kegiatan orang yang dicurahkan kepada seni.
— Ki Slamet 42 —
Minggu, 02 Febuari
2020 – 13.56 WIB
R e f e r e n s i :
The Liang Gie, GARIS
BESAR ETETIK (Filsafat Keindahan)
Fakultas Fisafat
Universitas Gajah Mada, Jogyakarta 1976
Tidak ada komentar:
Posting Komentar