Guru SMPIT Annur Cimande Menulis
Selasa, 08 Mei 2018 - 19 : 35 WIB
Umumnya pada kesenian timur, fungsi seni adalah sebagai media kebaktian
agama atau pengabdian kepada para penguasa.
Isi dan bentuk seni tidak mencerminkan kebebasan pribadi seniman. Kualitas karya seni, baik teknis maupun
estetis dan pesan yang disampaikan tidak dapat dipisahkan dari fungsinya. Untuk ini diperlukan kaidah-kaidah seni yang
bersumber pada ajaran agama dan tuntutan kultus raja atau bangsawan. Kaidah seni menjadi semacam hukum dan konsep
seni menjadi sumber penciptaan seni.
Sesuai dengan pengaruh
kebudayaan non-Islam seperti yang telah disinggung di depan, maka hukum seni
yang berlaku pada zaman Islam kuno banyak bersumber pada tradisi seni Indonesia
sebelumnya. Oleh para penciptaan seni,
tradisi lama itu diolah dan disempurnakan sesuai dengan pesan-pesan baru untuk
kebutuhan Islam.
Kedudukan Seniman
Kegiatan seni yang
berpusat di istana menempatkan kedudukan seniman menjadi terhormat. Istilah empu
sebagai sebutan para seniman istana mengandung arti seorang yang tidak hanya
ahli di bidang kesenian tetapi juga dalam bidang pengetahuan lain. Sebagai seorang seniman ahli empu tidak hanya menguasai satu cabang
kesenian. Dia dituntut untuk memiliki
wawasan seni budaya yang luas yang menjamin tercapainya tujuan seni yang utuh
dan lengkap yang dapat menjawab tuntutan kebutuhan manusia secara
menyeluruh. Seorang empu wayang mengenal dan mendalami segala aspek dari seni wayang
dengan segala sifat multimedianya yaitu wayang sebagai media pendidikan, media
pentas dan media seni rupanya. Dia adalah pemahat wayang sekaligus penyungging
wayang dan ahli perlambangan sosok manusia. Dia adalah pencipta bentuk wayang
sekaligus pementas atau dadalam sejarah
Indonesialang wayang yang mendalami kesusastraan sebagai sumber cerita
wayang.
Dalam sejarah
perkembangan kesenian Islam-kuno di Indonesia, Wali sangat besar peranannya
dalam menciptakan karya seni. Sering
disebut-sebut bahwa beberapa Wali yang terkenal dalam sejarah Indonesia adalah
pendiri masjid dan pencipta bentuk
wayang. Kedudukan Wali sebagai empu menjadi panutan bagi para raja atau
sulta yang memerintah kerajaan Islam selanjutnya. Tidak jarang disebut-sebut dalam sejarah
sultan-sultan yang disamping kedudukannya sebagai pemimpin terttinggi dalam
pemerintahan, juga terkenal sebagai empu.
Kegiatan seni yang ditunjang dan
langsung dipimpin oleh para sultan inilah yang menimbulkan suasana seni yang
menjamin kelestarian tradisi kebudayaan istana secara turun-temurun.
Sesuai dengan struktur
pemerintahan feodal dengan pandangan hidup yang serba kosmis-magis, para
penguasa di daerah juga mengikuti kehidupan dengan pola kebangsawanan yang
sama. Pada kerajaan-kerajaan bawahan di
daerah, tercipta pula pola kehidupan seni budaya yang sama yang disesuaikan
dengan tradisi daerahnya masing-masing.
Da daerah ini pula muncul empu-empu
dengan hasil ciptaan yang kadang-kadang menyimpang dari gaya seni yang berada
di pusat kerajaan. Maka terciptalah
berbagai gaya dan corak seni yang berbeda di tiap daerah.
Seorang empu yang berkarya dibantu oleh para
pembantu atau juru-juru seni yang disebut cantrik.
Mereka ini adalah pembantu sekaligus murid empu yang bekerja atas petunjuk yang diberikan. Kaidah seni atau hukum seni diajarkan kepada
para cantrik. Segala petunjuk teknis dan artistik serta
nilai kejiwaan dari karya seni adalah sumber dan modal kreatifitas mereka. Jelas bahwa para cantrik ini dalam tingkatan tertentu tidak hanya sebagai pekerja
seni yang terampil tapi juga seniman reproduktif dengan wawasan dan persepsi
seni yang cukup tangguh. Para pekerja
seni ini pula yang biasanya juga berperan dalam pembinaan seni istana. Mereka sebenarnya bibit-bibit seniman yang
diandalkan dalam uasaha melestarikan seni feodal waktu ini.
Perkembangan
kebudayaan feodal sebagai pengaruh dari kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat
pada zaman kerajaan Islam ikut membawa perubahan dalam kehidupan seni. Jalinan kebudayaan istana dengan kebudayaan
masyarakat petani bisa berakibat
menyebarnya tradisi seni feodal keluar istana.
Para cantrik tersebut dengan
pengalaman seninya ikut berperan dalam pertumbuhan seni dalam masyarakat luas
dengan tradisi seni feoda. Maka
muncullah tenaga-tenaga pengrajin dengan karya kerajinannya yang memiliki gaya
seni feodal yang bekerja untuk para pengusaha dan pemimpin adat dalam
masyarakat. Disinilah berlakunya
penularan kecakapan seni yang menumbuhkan tradisi baru. (Referensi: Wiyoso Yudoseputro: Pengantar
Seni Rupa Islam Di Indonesia, Penerbit Angkasa Bandung, 2000)
*) Wiyoso Yudoseputro
lahir di Salatiga, tgl. 28 Febuari 1928. Mengajar di Fakultas Seni Rupa dan
Desain ITB. Mengajar mata kuliah Sejarah Kesenian Indonesia di luar tugas
utamanya sebagai pengajar tetap Jurusan
Seni Rupa IKIP Bandung.
Editor:
Slamet Priyadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar