Guru SMPIT Annur Cimande Menulis
Minggu, 22 April 2018 - 09:22 WIB
Minggu, 22 April 2018 - 09:22 WIB
Minggu, 21 April 2018 – 09:37 WIB - SIAPA yang tak kenal dengan
sosok Kartini? Seorang
tokoh pejuang pergerakan wanita yang begitu gigih dalam memperjuangkan hak kaum
perempuan untuk memiliki hak yang sama dengan kaum lelaki. Ya, Kartini tercatat
dalam sejarah sebagai pejuang emansipasi wanita, pelopor kebangkitan kaum
perempuan dari Jawa. Lahir di Kota Jepara pada tanggal 21 April 1879 dari
seorang ibu bernama M.A Ngasirah anak dari Nyai Hajah Siti Aminah dan Kyai Haji
Madirono, seorang guru agama di Telukawur. Ayahnya seorang bangsawan Jawa,
bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara putera dari Pangeran Ario
Tjondronegoro IV yang diangkat menjadi Bupati dalam usia 25 tahun.
R.M. Adipati Sosroningrat |
Dari sebelas
bersaudara kandung dan tiri, Kartini merupakan anak ke-5 dan tertua dari
saudara perempuan sekandungnya yang lain bernama, Kardinah dan Roekmini. Kakak
laki-lakinya bernama Sosrokartono adalah seorang yang pintar dan menguasai
berbagai macam bahasa terutama bahasa Belanda. Ia banyak belajar bahasa Belanda
dari kakaknya itu, dan mendapat izin untuk memperdalam bahasa Belanda di “ELS”
(EuropeseLagere School) hingga usia
12 tahun sampai akhirnya dipingit karena akan dikawinkan olehK.R.M. Adipati
Ario Singgih Djojo Adhiningrat, Bupati Rembang.
R.A. Kartini, Kardinah, Roekmini |
Penguasaan
dan kepandaian Kartini dalam berbahasa Belanda, digunakannya untuk menulis
surat kepada salah satu teman akrabnya, Rosa Abendanon yang berasal dari Negeri
Belanda.
yang banyak mengindor atau mendukung pemikiran, ide dan gagasan-gagasannya.
Kegemarannya membaca, baik dari koran, majalah dan buku-buku Eropa, menambah
wawasan pemikiran Kartini yang semakin luas. Inilah yang menambah semangat dan
membangkitkan motivasi Kartini mewujudkan cita-citanya memajukan derajat kaum
perempuan pribumi yang masih rendah status sosialnya dengan membangun sekolah
pendidikan keputrian. Gagasan
Kartini itu mendapat dukungan dari residen Semarang, Mr. Stijthof setelah
membaca keritikan dari Conrad van De Venter lewat tulisan-tulisannya di majalah
De Gid yang menjelaskan bahwa, “orang
Belanda sangat berhutang budi pada rakyat Hindia Belanda yang telah memberikan
devisa Negara yang begitu besar kepada Belanda. Dan, pemerintah colonial harus
mengembalikan hutang sebesar 187 juta Gulden melalui proyek-proyek kemanusiaan,
salah satunya adalah pendidikan”. ”.)*Sri
Hartatik, A.Ma.Pd. “Kumpulan Kisah Pahlawan Indonesia”hal. 66
Dalam masa
pingitannya Kartini terus memikirkan, bagaimana caranya agar Ia bisa
melanjutkan pendidikannya ke Batavia
atau ke Eropa. Cita-cita Kartini yang paling luhur adalah berkeinginan besar
untuk menjadi guru sebagaimana ucapannya,
“Saya ingin dididik menjadi guru.
Ingin mencapai dua ijazah, yaitu ijazah guru sekolah rendah dan ijazah guru
kepala. Mengikuti kursus pelatihan kesehatan, ilmu balut-membalut, pemeliharaan
dan perawatan orang sakit, memperdalam seni kerajinan danketerampilan serta
ilmu pengetahuan yang lain”.)*ibid hal.
65
Dalam
pandangan dan pemikiran Kartini, apabila kaum perempuan telah memiliki
kecerdasan dan pengetahuan yang luas, jika kaum perempuan telah memiliki
sejumlah keterampilan sebagaimana yang dimiliki oleh kebanyakan kaum lelaki,
maka akan datang masanya kaum perempuan tak lagi terikat melulu bergantung
kepada kaum lelaki. Kartini menyatakan,
“Dari kaum perempuanlah seorang
manusia pertama-tama menerima pendidikan dan pembelajaran, mulai belaja
rmerasa, berpikir dan belajar berkata-kata”. Kartini menegaskan pula dalam satu surat yang
ditulisnya, “Bagaimana ibu-ibu Bumiputera
dapat mendidik anak-anaknya jika mereka sendiri tidak berpendidikan? Dapatkah
mereka, kaum ibu, dipersalahkan yang karena ketidaktahuannya, karena kelemahan
dan karena kebodohannya yang tidak disadarinya itu hingga merusak masa depan
anak-anaknya”.)* ibid. hal. 65
Belenggu
tradisi adat yang telah mengikat dan berakar kuat bagi kebebasan seorang wanita
di masa itu membuat keinginan Kartini untuk mendirikan sekolah keputrian dan
melanjutkan pendidikannya ke Eropa gagal. Akan tetapi Kartini terus mencari
akal untuk bisa melanjutkan sekolahnya itu. Ayahnya tak bisa berbuat banyak
untuk menentang tradisi. Meskipun Ia sangat mendukung cita-cita Kartini
putrinya itu untuk mendirikan sekolah keputrian bagi kaum
perempuan Bumi putera. Agar apa yang menjadi harapan Kartini dapat terkabul,
ayahnya yang pada waktu itu menjabat sebagai bupati Jepara, Raden Mas Adipati
Ario Sosrodiningrat memilih dan meyakinkan Kartini bahwa calon suami yang cocok
dan tepat untuk Kartini sesuai dengan harapan dan cita-citanya mendirikan
sekolah keputrian bagi perempuan Bumiputera dan melanjutkan pendidikannya di
Eropa, adalah Raden Mas Adipati Ario Djojoadiningrat, Bupati Rembang. Karena
berdasar kesepakatan dengannya, Bupati Rembang itu akan selalu mendukung dengan
apa yang menjadi cita-cita Kartini. Dan, Kartini meskipun hati nuraninya
menolak, akan tetapi demi kepentingan yang lebih besar, demi kemajuan kaum wanita,
pada akhirnya menyetujui juga dengan jodoh pilihan orang tuanya dikawinkan
dengan Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojoadiningrat yang sudah
pernah memiliki istri tiga orang itu. Ya, Kartini merelakan jiwa dan raganya
untuk menikah dengan orang yang sudah beristri demi cita-citanya memajukan
derajat kaum perempuan seperti dirinya.
Jelang
perkawinannya, Kartini sangat merasakan dengan suatu hal yang tak bisa dirubah.
Sahabat karibnya, Stella Zeehandelaar tidak bisa memahami keputusan Kartini
untuk menerima lamaran Bupati Rembang yang sudah beristri lebih dari satu itu.
Akan tetapi Kartini sudah mengadakan kesepakatan-kesepakatan dengan calon
suaminya itu. Ia tidak akan menggunakan bahasa kromo inggil pada suaminya seperti
pada kebiasaan tradisi yang dilakukan seorang istri pada suaminya di zaman itu.
Kartini tidak akan membasuh kaki sang suami pada saat upacara perkawinannya
kelak. Diizinkan untuk membangun sekolah keputrian untuk kemajuan bangsanya,
kaum wanita.
Pelaksanaan
upacara pernikahan Kartini dengan K.R.M Adipati Ario Singgih Djojoadiningrat
pada tanggal 12 November 1903. Suaminya ternyata sangat mengerti dengan
keinginan Kartini. Bahkan Kartini diberi kebebasan dan mendapat dukungan
sepenuhnya untuk mendirikan bangunan sekolah keputrian yang berlokasi di
sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang. Sekarang
bangunan tersebut digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Di sekolah
yang didirikannya ini Kartini mengekspresikan segala ide dan gagasan-gagasannya
dengan leluasa karena sangat didukung oleh suaminya yang memiliki kedudukan
cukup tinggi sebagai Bupati di Rembang. Di sekolah keputrian ini Kartini
mengajarkan berbagai seni kerajinan dan keterampilan, kesehatan dan perawatan
di samping ilmu pengetahuan yang lain.
Salah satu ukiran motif Kartin |
Ternyata
Kartini selain dikenal dalam sejarah sebagai pejuang emansipasi wanita, Ia
dikenal juga sebagai seorang seniwati. Pelopor dalam bidang disain modern,
perancang seni ukir dan batik. Salah satu upaya Kartini untuk mengembangkan,
merealisasikan ide dan gagasannya di sekolah kepandaian putri yang didirikannya
itu dengan mengajarkan sendiri kepada murid-muridnya berbagai pengetahuan dan
keterampilan terutama kerajinan ukiran dan ragam hias batik. Kemahiran dan
kecakapan Kartini dalam seni ukir, seni batik dan menggambar inilah yang
memotivasi Kartini untuk selalu kreatif. Mencari inovasi-inovasi baru dalam
bidang seni rupa dan disain. Dalam karya-karyanya Kartini selalu berupaya
memasukkan konsep-konsep keindahan dan nilai-nilai tradisi Jawa, meskipun sudah
mengalami pembaharuan-pembaharuan sehingga bentuknya menjadi lebih modern.
Pembaharuan ini bisa dilihat dari beberapa karya-karya Kartini seperti yang
terdapat pada kotak perhiasan, pigura, kursi rotan, dan batik. Ada salah satu
batik motip bunga karya R.A. Kartini yang sampai sekarang masih sangat digemari
masyarakat, bahkan menjadi motif standar dijadikan acuan dasar pembuatan seni ukir kayu Jepara yaitu motip
"LunglunganBunga". Bahkan hingga kini motip lunglungan bunga menjadi
ciri khas motip "Jepara Asli".
|
Dari
perkawinannya dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojoadiningrat, Kartini
dikaruniai seorang putera, Anaknya yang
pertama dan sekaligus juga yang terakhir yang diberi nama, Soesalit
Djojoadhiningrat yang dilahirkan pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari
kemudian, pada tanggal 17 September 1904, Kartini menghembuskan nafasnya yang
terakhir pada usia relative muda 25 tahun. Jenazah R.A. Kartini dimakamkan di
Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat
kegigihan Kartini memperjuangkan derajat kaum wanita agar memiliki persamaan hak dalam pendidikan, Yayasan
Kartini yang didirikan oleh keluarga “Van Deventer” seorang aktifis politik
etis(balas budi) di Semarang pada 1912, mendirikan sekolah Kartini di Surabaya,
Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya dengan nama "Sekolah Kartini".
Begitu pula
seorang komponis, pahlawan nasional W.R. Soepratman pencipta lagu Indonesia
Raya, menciptakan sebuah lagu khusus untuk mengenang jasa R.A. Kartini dalam
memperjuangkan emansipasi wanita yang tak kenal lelah bahkan merelakan jiwa
raganya untuk kemajuan kaum perempuan melalui pendikan, diberi judul “R.A.
Ajeng Kartini”.
Referensi:
*Sri
Hartatik, A.Ma,Pd “Kumpulan Kisah
Pahlawan Indonesia”. Bintang Indonesia
*Slamet
Priyadi, Drs. “R.A. Kartini Juga Seorang
Seni Wati” Forum Guru Seni Budaya
*Agus
Sachari, “Seni Rupa dan Disain”
Erlangga
*Wikipedia
Bahasa Indonesia, “R.A. Kartini”. google.com
Penulis:
Slamet
Priyadi di Kp. Pangarakan - Bogor
Minggu, 22 April 2018 | 10:09 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar