Guru SMPIT Annur Cimande Menulis
Rabu, 25 April 2018 - 16:25 WIB
Rabu, 25 April 2018 - 16:25 WIB
Dikisahkan suatu ketika Sitti Sarah istri Nabi Ibrahim
yang pertama, marah kepada Sitti Hajar istri Nabi Ibrahim a.s. yang kedua, yang
diberikan oleh raja Mesir kepadanya. Sitti Hajar merasa tidak senang dan
bersumpah bahwa ia akan segera menjauhi Sitti Sarah, tak mau tinggal se negeri
selama-lamanya. Oleh sebab itu Sitti Hajar mendesak kepada Nabi Ibrahim a.s.
supaya mereka segera meninggalkan negeri Syam, hijrah ke negeri lain. Karena
demikianlah sumpah yang diucapkan, dan dengan pengharapan semoga di negeri yang
baru itu mereka akan dapat hidup dengan tenteram.
Ketika itulah Nabi Ibrahim a.s. menerima wahyu dari
Tuhan, yang memerintahkan agar dia bersama Sitti Hajar dan puteranya yang masih
kecil yaitu Ismail agar segera meninggalkan negeri Syam, berjalan ke arah
selatan menuju tanah Mekah sekarang ini. Tetapi negeri Mekah pada waktu itu
masih belum ada. Yang ada hanya gurun pasir dan bukit-bukit batu cadas, panas
kering tak berair sama sekali, sunyi sepi tak berpenghuni. Kesanalah Nabi
Ibrahim a.s. beserta isteri dan anaknya, Ismail pergi.
Beruntunglah di sana tumbuh sebatang pohon kayu yang
bisa dijadikan tempat untuk beristirahat berlindung dari panasnya terik
matahari. Beberapa lama kemudian setelah Nabi Ibrahim a.s. menyediakan air sisa
bekal yang ada ia pun bermaksud meninggalkan Sitti Hajar dan puteranya Ismail
yang masih kecil itu di sana.
Nabi Ibrahim a.s. segera berjalan meninggalkan tempat
tersebut dan akan kembali menuju ke negeri Syam, tetapi Sitti Hajar yang
melihat itu segera berlari-lari menyusulnya sedang puteranya Ismail
ditinggalkan di bawah pohon kayu, seraya berseru kepada Ibrahim :
“Wahai suamiku Ibrahim hendak kemanakah?
Sampai hatikah engkau meninggalkan kami berdua di sini? Apa yang bisa kami
perbuat di tempat ini?”
Sitti Hajar menangis, hatinya merasa sangat sedih,
berulang-ulang ia menahan dengan merayu, membujuk suaminya agar tidak pergi
meninggalkan dia dan puteranya. Akan tetapi Nabi Ibrahim a.s. dengan langkah
yang tetap terus berjalan, tidak mau menoleh barang sedikitpun tak mau
mendengar tangisan yang menyayat dari isteri dan itu. Sitti Hajar putus harapan
untuk menahan suaminya, lalu ia bertanya kepada Nabi Ibrahim :
“Tuhankah yang menyuruh engkau pergi,
wahai Ibrahim?”
“Ya!” jawab Nabi Ibrahim.
“Oh..., jika demikian saya percaya,
bahwa Tuhan tidak akan menyia-nyiakan kami berdua tinggal di sini. Tuhan pasti
akan melindungi kami!” berkata Sitti
Hajar.
Setelah itu Sitti Hajar pun pergi meninggakan suaminya
kembali menghampiri puteranya, Ismail yang masih tidur di bawah pohon kayu.
Sementara itu, Nabi Ibrahim a.s. berjalan terus dengan hati yang tetap dan
tabah karena menjunjung tinggi perintah Tuhan. Maka sampailah ia di Baitul
Haram, di mana ia bersimpuh sambil menadahkan kedua telapak tangannya, berdo’a
ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa.
“Ya Tuhan kami! Sesungguhnya aku telah
menempatkan keturunanku di wadi, yang tak ada sama sekali tanaman dan tumbuhan,
dekat Baitul Haram. Hendaklah engkau jadikan mereka orang yang mendirukan dan
melakukan sembahyang. Hendaklah engkau jadikan hati manusia condong kepada
mereka, berilah mereka rezeki dengan buah-buahan, mudah-mudahan mereka
bersyukur.” (Surat Ibrahim ayat 37)
Selesai berdoa, ia lalu bangkit melanjutkan perjalannya ke negeri Syam.
Sementara itu Sitti Hajar dan puteranya, sepeninggal
Nabi Ibrahim a.s. mengalami penderitaan dan kesukaran yang teramat sangat. Air
persediaan habis. Air susu Sitti Hajar pun kering. Betapa sengsara dan
dahaganya kedua insan yang tak berdaya itu. Panas terik matahari terasa
membakar tubuhnya, namun tak ada stetes pun air yang bisa diminum. Akan tetapi Sitti Hajar tettap tabah. Ia
kuatkan dirinya meski berjalan dengan lunglai karena kehausan, ia terus
melangkah mencari air hingga sampai ke kaki bukit Safa. Diangkat tangannya
untuk melindungi matanya dari silaunya cahaya matahari yang begitu terik. Ia
melihat sekeliling, sejauh mata memandang tak seorang manusia pun yang nampak
kelihatan. Di tempat itu hanya padang pasir dan bukit-bukit batu semata. Tidak
jauh di hadapannya ada pula sebuah bukit kecil yang dikenal dengan nama bukit Marwah. Lalu Sitti Hajar menuju bukit
itu dengan berlari. Tak seberapa lama ia pun berhenti di sana, memandang ke
sana-sini, tapi tak juga menjumpai manusia di sana. Akan tetapi ia belum juga
berputus asa meski perasaan lelah begitu menderanya, ia terus berlari
berulang-ulang dari bukit safa hingga ke bukit marwah. Dan itu diulang-ulangnya
sampai tujuh kali. Meskipun demikian tak satupun manusia kelihatan. (Peristiwa inilah yang kemudian menjadi salah
satu rukun haji yang disebut Sa’i.
Berlari-lari kecil tujuh kali pulang pergi antara bukit Safa dan Marwah.)
Sitti Hajar terhenyak di kaki bukit Marwah, perasaan
letih, lesu, dan serasa tak berdaya lagi untuk menahan haus, lapar yang tak
terhingga. Ia menyerah kepada takdir Tuhan. Ketika itulah sekonyong-konyong, ia
mendengar ada suara gaib yang memanggil-manggil namanya. Ia pun melihat ke
sekeliling, tetapi tak seorang pun nampak kelihatan. Tiba-tiba ia melihat
malaikat Jibril yang menampakkan diri sambil mengepak-ngepakkan sayapnya
memukul ke tanah lalu menghilang dalam sekejap.
Sitti Hajar mendekati tempat itu. Atas kuasa Tuhan,
rupanya tanah yang bekas dipukul-pukul oleh sayap malaikat Jibril itu
memancarlah air yang cukup berlimpah. Sitti Hajar membendung air itu agar
jangan sampai mengalir ke tempat lainnya. Terhindarlah Sitti Hajar dan
puteranya Ismail dari bahaya maut yang menimpanya. Air yang keluar dari lubang
bekas pukulan malaikat Jibril itu dikenal dengan nama Air Zamzam.
Suatu ketika melintaslah serombongan kafilah suku
Jurhum dari negeri Yaman. Dari jauh mereka melihat burung-burung berterbangan
di sekitar bukit Abi Qubeis. Mereka mengetahui bahwa di dekat bukit itu tentu
terdapat air. Lalu kafilah itu mendekati tempat tersebut dan memang benar di
sana ada air. Mereka pun mendapati Sitti Hajar dan puteranya Ismail ada di
sana. Maka suku Jurhum itu tinggallah di
sana hingga turun-temurun. Mereka menjadi penduduk wadi itu yang pertama kali,
dan wadi itu menjadi sebuah kota paling terkenal di seluruh dunia dikenal
dengan nama Mekah.
Di tanah Mekah inilah Siti Hajar wafat dalam usia 90
tahun. Sedangkan puteranya Ismail kawin dengan seorang puteri suku Jurhum
sampai akhir hayatnya, dan dimakamkan dekat Ka’bah.
Rupanya doa Nabi Ibrahim a.s. dikabulkan Tuhan,
sehingga wadi yang kering dan tandus itu pada akhirnya menjadi sebuah kota yang
ramai banyak dikunjungi oleh Ummat Islam di seluruh dunia untuk menunaikan ‘ibadah
haji.
Referensi
:
C.Israr,
“Sejarah Kesenian Islam”- Bulan Bintang - Jakarta1978
Pangarakan, Bogor
Sabtu, 16 Januari 2016 – 08:42 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar