Blok Ki Slamet 42: Guru SMPIT Annur Cimande Menulis
Kamis, 16 April 2020 - 04.13 WIB
Kamis, 16 April 2020 - 04.13 WIB
SIAPA yang tak kenal dengan
sosok Kartini? Seorang tokoh pejuang pergerakan wanita yang begitu
gigih dalam memperjuangkan hak kaum perempuan untuk memiliki hak yang sama
dengan kaum lelaki. Ya, Kartini tercatat dalam sejarah sebagai pejuang
emansipasi wanita, pelopor kebangkitan kaum perempuan dari Jawa. Lahir di Kota
Jepara pada tanggal 21 April 1879 dari seorang ibu bernama M.A Ngasirah anak
dari Nyai Hajah Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di
Telukawur. Ayahnya seorang bangsawan Jawa, bernama Raden Mas Adipati Ario
Sosroningrat, bupati Jepara putera dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV yang diangkat menjadi Bupati
dalam usia 25 tahun.
R.M. Adipati Ario Sosroningrat |
R.M.
Adipati Ario Sosroningrat
Dari sebelas bersaudara kandung dan tiri, Kartini
merupakan anak ke-5 dan tertua dari saudara perempuan sekandungnya yang lain
bernama, Kardinah dan Roekmini. Kakak laki-lakinya bernama Sosrokartono adalah
seorang yang pintar dan menguasai berbagai macam bahasa terutama bahasa
Belanda. Ia banyak belajar bahasa Belanda dari kakaknya itu, dan mendapat izin
untuk memperdalam bahasa Belanda di “ELS” (EuropeseLagere
School) hingga usia 12 tahun sampai akhirnya dipingit karena akan
dikawinkan olehK.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, Bupati Rembang.
Kartini, Kardinah, Rokmini |
Penguasaan dan kepandaian Kartini dalam berbahasa
Belanda, digunakannya untuk menulis surat kepada salah satu teman akrabnya,
Rosa Abendanon yang berasal dari Negeri Belanda. yang banyak mengindor atau mendukung pemikiran, ide dan
gagasan-gagasannya. Kegemarannya membaca, baik dari koran, majalah dan
buku-buku Eropa, menambah wawasan pemikiran Kartini yang semakin luas. Inilah
yang menambah semangat dan membangkitkan motivasi Kartini mewujudkan
cita-citanya memajukan derajat kaum perempuan pribumi yang masih rendah status
sosialnya dengan membangun sekolah pendidikan keputrian.
Gagasan Kartini itu mendapat dukungan dari residen
Semarang, Mr. Stijthof setelah membaca keritikan dari Conrad van De Venter
lewat tulisan-tulisannya di majalah De Gid yang menjelaskan bahwa, “orang Belanda sangat berhutang budi pada
rakyat Hindia Belanda yang telah memberikan devisa Negara yang begitu besar
kepada Belanda. Dan, pemerintah colonial harus mengembalikan hutang sebesar 187
juta Gulden melalui proyek-proyek kemanusiaan, salah satunya adalah pendidikan”.
)*Sri Hartatik, A.Ma.Pd. “Kumpulan Kisah
Pahlawan Indonesia”hal. 66
Dalam masa pingitannya Kartini terus memikirkan,
bagaimana caranya agar Ia bisa melanjutkan pendidikannya ke Batavia atau ke Eropa. Cita-cita Kartini yang paling luhur
adalah berkeinginan besar untuk menjadi guru sebagaimana ucapannya,
“Saya ingin dididik menjadi guru. Ingin mencapai dua ijazah, yaitu ijazah
guru sekolah rendah dan ijazah guru kepala. Mengikuti kursus pelatihan
kesehatan, ilmu balut-membalut, pemeliharaan dan perawatan orang sakit,
memperdalam seni kerajinan danketerampilan serta ilmu pengetahuan yang lain”.)*ibid hal. 65
Dalam pandangan dan pemikiran Kartini, apabila kaum
perempuan telah memiliki kecerdasan dan pengetahuan yang luas, jika kaum
perempuan telah memiliki sejumlah keterampilan sebagaimana yang dimiliki oleh
kebanyakan kaum lelaki, maka akan datang masanya kaum perempuan tak lagi
terikat melulu bergantung kepada kaum lelaki. Kartini menyatakan,
“Dari kaum perempuanlah seorang manusia pertama-tama menerima pendidikan
dan pembelajaran, mulai belaja rmerasa, berpikir dan belajar berkata-kata”. Kartini menegaskan pula dalam satu surat yang ditulisnya, “Bagaimana ibu-ibu Bumiputera dapat mendidik
anak-anaknya jika mereka sendiri tidak berpendidikan? Dapatkah mereka, kaum
ibu, dipersalahkan yang karena ketidaktahuannya, karena kelemahan dan karena
kebodohannya yang tidak disadarinya itu hingga merusak masa depan anak-anaknya”.)* ibid. hal. 65
Belenggu tradisi adat yang telah mengikat dan berakar
kuat bagi kebebasan seorang wanita di masa itu membuat keinginan Kartini untuk
mendirikan sekolah keputrian dan melanjutkan pendidikannya ke Eropa gagal. Akan
tetapi Kartini terus mencari akal untuk bisa melanjutkan sekolahnya itu.
Ayahnya tak bisa berbuat banyak untuk menentang tradisi. Meskipun Ia sangat
mendukung cita-cita Kartini putrinya itu untuk mendirikan sekolah keputrian
bagi kaum perempuan Bumi putera. Agar apa yang menjadi harapan Kartini dapat
terkabul, ayahnya yang pada waktu itu menjabat sebagai bupati Jepara, Raden Mas
Adipati Ario Sosrodiningrat memilih dan meyakinkan Kartini bahwa calon suami
yang cocok dan tepat untuk Kartini sesuai dengan harapan dan cita-citanya
mendirikan sekolah keputrian bagi perempuan Bumiputera dan melanjutkan
pendidikannya di Eropa, adalah Raden Mas Adipati Ario Djojoadiningrat, Bupati
Rembang. Karena berdasar kesepakatan dengannya, Bupati Rembang itu akan selalu
mendukung dengan apa yang menjadi cita-cita Kartini. Dan, Kartini meskipun hati
nuraninya menolak, akan tetapi demi kepentingan yang lebih besar, demi kemajuan
kaum wanita, pada akhirnya menyetujui juga dengan jodoh pilihan orang tuanya
dikawinkan dengan Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojoadiningrat
yang sudah pernah memiliki istri tiga orang itu. Ya, Kartini merelakan jiwa dan
raganya untuk menikah dengan orang yang sudah beristri demi cita-citanya
memajukan derajat kaum perempuan seperti dirinya.
Jelang perkawinannya, Kartini sangat merasakan dengan
suatu hal yang tak bisa dirubah. Sahabat karibnya, Stella Zeehandelaar tidak
bisa memahami keputusan Kartini untuk menerima lamaran Bupati Rembang yang
sudah beristri lebih dari satu itu. Akan tetapi Kartini sudah mengadakan
kesepakatan-kesepakatan dengan calon suaminya itu. Ia tidak akan menggunakan
bahasa kromo inggil pada suaminya seperti pada kebiasaan tradisi yang dilakukan
seorang istri pada suaminya di zaman itu. Kartini tidak akan membasuh kaki sang
suami pada saat upacara perkawinannya kelak. Diizinkan untuk membangun sekolah
keputrian untuk kemajuan bangsanya, kaum wanita.
Pelaksanaan upacara pernikahan Kartini dengan K.R.M
Adipati Ario Singgih Djojoadiningrat pada tanggal 12 November 1903. Suaminya
ternyata sangat mengerti dengan keinginan Kartini. Bahkan Kartini diberi
kebebasan dan mendapat dukungan sepenuhnya untuk mendirikan bangunan sekolah
keputrian yang berlokasi di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor
kabupaten Rembang. Sekarang bangunan tersebut digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Di sekolah yang didirikannya ini Kartini
mengekspresikan segala ide dan gagasan-gagasannya dengan leluasa karena sangat
didukung oleh suaminya yang memiliki kedudukan cukup tinggi sebagai Bupati di
Rembang. Di sekolah keputrian ini Kartini mengajarkan berbagai seni kerajinan
dan keterampilan, kesehatan dan perawatan di samping ilmu pengetahuan yang
lain.
|
Ternyata Kartini selain dikenal dalam sejarah sebagai
pejuang emansipasi wanita, Ia dikenal juga sebagai seorang seniwati. Pelopor
dalam bidang disain modern, perancang seni ukir dan batik. Salah satu upaya
Kartini untuk mengembangkan, merealisasikan ide dan gagasannya di sekolah
kepandaian putri yang didirikannya itu dengan mengajarkan sendiri kepada
murid-muridnya berbagai pengetahuan dan keterampilan terutama kerajinan ukiran
dan ragam hias batik. Kemahiran dan kecakapan Kartini dalam seni ukir, seni
batik dan menggambar inilah yang memotivasi Kartini untuk selalu kreatif.
Mencari inovasi-inovasi baru dalam bidang seni rupa dan disain. Dalam
karya-karyanya Kartini selalu berupaya memasukkan konsep-konsep keindahan dan
nilai-nilai tradisi Jawa, meskipun sudah mengalami pembaharuan-pembaharuan
sehingga bentuknya menjadi lebih modern. Pembaharuan ini bisa dilihat dari
beberapa karya-karya Kartini seperti yang terdapat pada kotak perhiasan,
pigura, kursi rotan, dan batik. Ada salah satu batik motip bunga karya R.A.
Kartini yang sampai sekarang masih sangat digemari masyarakat, bahkan menjadi motif
standar dijadikan acuan dasar pembuatan
seni ukir kayu Jepara yaitu motip "LunglunganBunga". Bahkan
hingga kini motip lunglungan bunga menjadi ciri khas motip "Jepara
Asli".
Dari perkawinannya dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih
Djojoadiningrat, Kartini dikaruniai seorang putera, Anaknya yang pertama dan sekaligus juga yang terakhir yang
diberi nama, Soesalit Djojoadhiningrat yang dilahirkan pada tanggal 13
September 1904. Beberapa hari kemudian, pada tanggal 17 September 1904, Kartini
menghembuskan nafasnya yang terakhir pada usia relative muda 25 tahun. Jenazah
R.A. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat kegigihan Kartini memperjuangkan derajat kaum
wanita agar memiliki persamaan hak dalam
pendidikan, Yayasan Kartini yang didirikan oleh keluarga “Van Deventer” seorang
aktifis politik etis(balas budi) di Semarang pada 1912, mendirikan sekolah
Kartini di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya
dengan nama "Sekolah
Kartini".
Begitu pula seorang komponis, pahlawan nasional W.R.
Soepratman pencipta lagu Indonesia Raya, menciptakan sebuah lagu khusus untuk
mengenang jasa R.A. Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita yang tak
kenal lelah bahkan merelakan jiwa raganya untuk kemajuan kaum perempuan melalui
pendikan, diberi judul “R.A. Ajeng Kartini”.
Referensi:
*Sri Hartatik, A.Ma,Pd “Kumpulan Kisah Pahlawan Indonesia”. Bintang Indonesia
*Slamet Priyadi, Drs. “R.A. Kartini Juga Seorang Seni Wati” Forum Guru Seni Budaya
*Agus Sachari, “Seni
Rupa dan Disain” Erlangga
*Wikipedia Bahasa Indonesia, “R.A. Kartini”. google.com
Penulis:
Slamet Priyadi di Kp. Pangarakan - Bogor