Guru SMPIT Annur Cimande Menuliss
Sabtu, 19 Mei 2018 - 10:07 WIB
Sabtu, 19 Mei 2018 - 10:07 WIB
“PENDING
EMAS”
J.Herlina
Catatan
Aku di Kotabaru tinggal bersama-sama
dengan para bapak-bapak karena belum ada wanita-wanita yang diberangkatkan ke
Irian Barat walaupun perjanjian telah ditanda-tangani. Aku serumah bersama 4
orang, Dr. Sambiyono, tokoh ke-3 di Perwakilan, Bapak Soemarmo, Koordinator
Penerangan Irian Barat, Karno Barkah, Kep. Urusan Penerbangan dan Mas Diarto,
PressBuereau UNTEA. Kami serumah sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Walaupun aku tahu bagaimana sulitnya
kedudukan sebenarnya, namun tak ada yang kuhiraukan, aku tetap terus bekerja
dan berdoa semoga Tuhan memberkati hidup dan usaha-usahaku.
Kepercayaan Komando Mandala akan diriku
merupakan tanggung jawab yang tidak dapat kulepaskan. Kepercayaan itu kujunjung
tinggi walaupun aku menghadapi situasi yang tidak menyenangkan. Gembira adalah
satu-satunya obat untuk meringankan segala penderitaan.
Keadaan yang buruk jangan terlalu
dipikirkan, akibatnya hanya merusakkan pikiran dan menimbulkan kekecewaan.
Kalau tidak tahan dengan kekecewaan yang dirasakan, semangat akan hilang,
padahal semangat sesungguhnya tidak boleh lenyap dari dada manusia.
Kehilangan semangat berarti mati,
meskipun badan masih hidup. Pengalaman yang buruk cukup menjadi bahan untuk
menghadapi suasana yang baru tanpa mengulangi pengalaman itu.
Memang kadang-kadang sukar menahan
penderitaan batin terus-menerus, jarang-jarang
yang tabah. Mereka malah putus asa, atau patah dalam arti yang luas.
Untuk mencegah ini aku berpedoman :
“Hidup
adalah sulit
Sulit
itulah perjuangan”.
Tanpa kesulitan manusia, manusia tidak
berjuang. Selama kita hidup, kesulitan selalu ada; kesulitan menimbulkan
perjuangan untuk mencapai kemenangan.
Dalam perjuangan mengembalikan Irian
Barat ke wilayah kekuasaan R.I, Indonesia mengalami segala penderitaan, dan
karena penderitaan itulah akhirnya Irian Barat dapat kita rebut dari penjajah.
Tanpa perjuangan yang sungguh-sungguh
dari segenap rakyat Indonesia mungkin Irian Barat masih tetap dalam cengkeraman
kolonialis.
Untuk ini pulalah aku datang ke Irian
Barat, tak bedanya dengan putera-putera Indonesia lain yang ingin mengabdikan
dirinya pada Negara dan Tanah Air,sekalipun aku seorang wanita.
Indonesia sekarang bukan Indonesia zaman
kolonial dimana wanita tidak mempunyai kesempatan yang sama dengan kaum pria.
Sekarang kesempatan terbuka sesuai dengan kemampuan wanita di masing-masing
bidangnya. Tapi karena dunia wanita Indonesia baru saja berkembang, maka
penilaian masyarakat Indonesia terhadap wanita dalam sepak terjangnya, masih
sempit.
Perkembangan ini bukan semata-mata berarti
menuntut hak yang sama, tapi mengusahakan pengertian bahwa wanita tak kalah
pentingnya dalam pergaulan masyarakat, karena masyarakat itu tidak hanya
dibimbing oleh laki-laki, tapi juga wanita.
Andaikata wanita dapat mencapai
kedudukan yang sama dengan pria, maka itu wajar, dan justru kaum pria harus
bangga sudah dapat membantu kaum yang dianggap lemah menuju kepada perkembangan
sesuai sesuai tuntutan zaman.
Sebenarnya wanita itu dapat mengurangi
kelemahan-kelemahannya. Kelemahan-kelemahan kita kaum wanita bukan semata-mata
pada jasmaninya, tapi ada lagi yang merupakan khas dari wanita :
Mereka bermusuhan di kalangan sendiri.
Bersatu kita teguh bercerai kita jatuh.
Andaikata pepatah ini kita laksanakan, niscaya wanita Indonesia akan mencapai
kedudukan dan nilai yang lebih tinggi di masyarakat, khusus di Indonesia.
Kalau wanita Indonesia dapat mencapai
kemajuan seluruhnya, keadaan rumah tangga pun akan mengalami perubahan. Arti
kemajuan itu bukan kemajuan yang salah, misalnya lupa masak, tapi kemajuan yang
positif dimana dalam rumah tangga dapat diselenggarakan kehidupan yang harmonis
dan membimbing anak-anaknya secara pengertian yang baik, tidak seperti apa yang
kulihat di keluarga Indonesia : Ibunya cantik jelita, anaknya tidak terurus.
Ruangan rumah depan disusun rapih, tapi ruangan lain, berantakan.
Banyak hal-hal lakinya, yang perlu
perbaikan, untuk langkah selanjutnya menuju panggilan zaman.
Kaum wanita dapat menuntun generasi baru
dalam pembentukan jiwa menjadi Putera Indonesia, dalam mengutamakan kepentingan
Negara daripada peribadinya, karena keadaan peribadi sejalan dengan Negaranya.
Untuk membentuk jiwa generasi ini rumah
tangga memegang peranan yang penting dimana kaum wanita adalah pembimbing
utamanya.
Kepada Tuhan aku menengadah karena telah
diberi kekuatan batin menghadapi segala kesulitan yang tidak pernah berakhir,
sejak aku memulai dari daerah perbatasan sampai berhasil ikut serta dalam
pergolakan Indonesia mengusir penjajah dari Irian Barat.
—
SP —
Propinsi Irian Barat
Bentuk Lama
Sebelum Irian Barat kembali ke ke
wilayah kekuasaan Indonesia, Propinsi Irian Barat telah dibentuk semenjak tahun
1956 dengan ibu kota soasiu di pulau Tidore, di sebelah Utara kepulauan Maluku.
Pembentuka propinsi ini terkenal dengan sebutan propinsi perjuangan dengan
bapak Zaini Abidinsyah sebagai gunernur. Sebelum aku menginjakkan kaki di
propinsi perjuangan ini, bayanganku luar biasa, bagaimana hebatnya kira-kira
propinsi tersebut.
Begitu luar biasa sampai segenap penjuru
tanah air memikirkan Irian Barat dengan segala kegiatan-kegiatannya.
Lebih-lebih kota itu adalah tempat segala penentuan nasib Irian Barat.
Aku pikir tentu Soasiu lebih luar biasa
lagi dibandingkan dengan daerah lainnya karena Soasiu landasan utama sebagai
propinsi perjuangan.
Setelah aku pertama kali menginjakkan
kaki di sana pada bulan pebuari 1961 yakni tatkala aku berkeliling Indonesia,
maka semua bayangan itu menjadi lenyap dan aku bertanya pada diriku sendiri,
inikah yang dinamakan Propinsi Perjuangan ? bayanganku meleset. Penghuni Soasiu
tidak lagi ingin memikirkan Irian Barat, tetapi memikirkan bagaimana mendapat
keuntungan diri sendiri dalam kesempatan sekarang.
Memang, Pemerintah sama sekali tidak
menduga bahwa penyalahgunaan juga berlaku dalam suasana perjuangan seperti di
Soasiu. Perjuangan sekarang jauh berbeda dengan perjuangan 1945. Sebagian besar
orang-orangnya sudah tahu nikmatnya mobil Bel Air, sejuknya kota Puncak dengan
wanita-wanita cantiknya, dan rumah mewahnya.
Sebenarnya Soasiu bukan di Tidore tetapi
di Jakarta, sebab kebanyakan pejabat-pejabatnya dinas di Jakarta,
berbulan-bulan tidak kembali ke tempat dengan alasan hubungan sukar. Memang
banyak juga alasan, untuk tidak kembali ke Soasiu. Tidak banyak yang dikerjakan
di Soasiu, pekerjaan rutin pun sangat sunyi.
Kegiatan setempat mengenai Irian Barat
tidak ada, kecuali membangun Soasiu, setengan-setengah.
Propinsi ini sebenarnya hanya bersifat
darurat, pembangunan di Soasiu taraf Propinsi hanya sekedar mengenai hal-hal
yang dianggap perlu saja, bukan seluruh rancangan pembangunan yang dilaksanakan
di daerah ini, sekalipun daerah ini mempunyai hubungan sejarah yang erat dengan
Irian Barat. Soasiu tidak semestinya mencari kesempatan untuk diri sendiri,
meskipun tuntutannya dijadikan Propinsi Perjuangan diterima oleh Pemerintah.
Apakahkita ini akan terus mempertahankan penyakit pemborosan dan penyelwengan.
Pada waktu Soasiu masih baru, dengan
kemauan keras dan semangat menyala, pasti berhasil membangun untuk mengimbangi
penjajah Belanda. Tetapi tidak demikian halnya. Uang telah berjuta-juta keluar,
pembangunan tetap setengah-setengah. Yang tampak hanya beberapa perumahan
pegawai dan kantor-kantor ynag sebagian besar setengah selesai. Sedangkan jalan
yang direncanakan untuk diaspal, hanya tinggal aspalnya saja ditumpuk di depan
kantor D.P.U.
Menurut penjelasan kepala D.P.U., jalan
di Soasiu sukar dibuat, tidak seperti jalan raja di Jawa, karena tenaga buruh
sangat kurang, membutuhkan waktu lama, entah kemana perginya.
Bukan hanya jalan, juga misalnya gedung
percetakan, uangnya sudah berjuta-juta keluar tapi hanya dasarnya yang selesai
dan akhirnya menjadi puing-puing yang tidak berarti.
Aku tidak ingin lebih dalam
mempersoalkan semua kepincangan-kepincangan ini, hanya aku sebagai anggota
generasi baru ingin supaya penyakit-penyakit itu demikian ini tidak lagi lagi
tercontoh.
Siapa yang tidak ingin mewah-mewah.
Namun hendaknya caranya mendapatkan kemewahan jangan dengan menyalahgunakan
kepercayaan rakyat yang dipikulkan. Hasil yang seharusnya dapat dinikmati oleh
rakyat, janganlah untuk diri sendiri.
Apa yang kugambarkan di atas bukan
merupakan kritik tapi sekedar bantahan terhadap gambaranku sendiri sebelum aku
mengenal Soasiu dari dekat. Sebagai anggota angkatan baru barang tentu aku
tidak senang melihat keadaan demikian. Tapi apa yang dapat kusumbangkan pada
daerah ini ?sebagai pegawai, aku seolah-olah mati. Tidak dapat luas
mengembangkan inisiatif, melainkan hanya menunggu perintah dan duduk memenuhi
syarat sebagai pegawai dari jam 2.00 siang, walaupun tak ada pekerjaan.
Mengapa justru kusebut jam pagi, tidak
jam 7.00 ? Sekarang sudah menja tidak adadi kebiasaan pula di daerah ini datang
ke kantor seenaknya, boleh jam 8.00 atau jam 9.00.
Tentu aku tidak ingin menyumbangkan
tenaga sia-sia, walaupun sumbangaan tenagaku tidak berarti apa-apa.
Di Soasiu pemancar radio juga ada,
tetapi hanya dapat ditangkap lokal, dan orang pun malas mendengarnya, karena
isinya hanya membentak-bentak tidak ada artinya. Lebih baik mencari gelombang
lain. Orang malah lebih gemar mencari gelombang Biak, karena hiburannya banyak.
Seluruh siaran Biak, hampir semua berupa lagu-lagu, baik lagu Barat maupun
lagu-lagu Indonesia populer. R.R.I
Propinsi Irian Barat didirikan untuk menyaingi radio penjajah, tapi hasilnya
terbalik, radio penjajah mengisi telinga pendengar-pendengar kita.
RRI Ternate. Tugasnya menghibur rakyat di
garis depan,
meladeni
setiap tuduhan Radio Omroep Nieuw Guinea
Radio adalah alat penerangan, sedangkan
rakyat di Maluku Utara terutama daerah Propinsi Irian Barat, dapat dihitung
siapa-siapa yang memiliki radio. Penerangan dari radio tidak ada. Surat kabar
atau bacaan-bacaan juga tidak ada, sehingga rakyat sekitar daerah ini buta sama
sekali mengenai Irian Barat dan perkembangan-perkembangan lain.
Karenanya aku tertarik sekali oleh segi
ini. Mungkin lebih baik kalau aku menceburkan diri dalam dunia penerangan
rakyat, walaupun aku bukan pegawai penerangan. Ada baiknya ini untuk bekerja
kalau di Soasiu diterbitkan surat kabar, walaupun bukan harian, cukup mingguan.
Percetakan ada, sedangkan pekerjaan
hampir tidak ada. Kalau surat kabar dicetak di daerah ini, maka berarti
percetakan di Soasiu berjuang sesuai dengan tujuan Pemerintah yang memberi
percetakan pada daerah perjuangan ini untu bekerja, bukan untuk menganggur
sambil menerima gaji bulanan.
Di Soasiu memang pernah diterbitkan
surat kabar tapi tidak dapat hidup lama. Alasannya dapat diterima juga. Para
langganan tidak mau membayar, pembacanya sangat kurang sekali. Hubungan antar
kota melalui lautan, hal ini membutuhkan waktu dan pengeluaran uang, sedang
pemasukan uang tidak seimbang. Disamping alasan ini, juga orang-orangnya pun
membutuhkan uang. Pemakaian uang sebagai honorarium tidak tepat lagi, makin
hari uang makin tipis, akhirnya gulung tikar. Uang subsidi pun lenyap.
Tinggallah Soasiu dengan
penghuni-penghuninya yang pasif dan statis, dikelilingi oleh lautan dan
lambaian pohon kelapa dengan pemandangan alang-alang yang hidup subur. Keluhan
sunyi meratap sepanjang hari, menantikan saat dipindahkan ke daerah lain.
Tentu keadaan ini akan kurasakan pula nanti
kalau aku benar-benar berada di daerah ini.
—
SP —
Modal Utama : “KEMAUAN”
Entah beberapa kali aku keluar masuk
kantor Departemen Penerangan Jakarta. Tak banyak yang kuminta. Hanya bantuan
kertas untuk penerbitan di Soasiu.
Walaupun beliau-beliau di kantor itumungkin
bosan, aku tetap tak jemu-jemu datang menghadap lagi ke kantor Departemen
Penerangan, aku mengeja kata-kata bapak Djawoto yang pernah ditujukan padaku
tatkala aku menghadap beliau dengan
tujuan yang sama, yakni dapatkah kiranya beliau membantu mempermudah permohonan
kertas tersebut. apa kata beliau kepadaku ?
“Saya pernah muda dan mempunyai kemauan keras
seperti Saudara, tetapi
Itu tidak cukup dengan kemauan saja”.
Kata-kata inilah merupakan cambuk
bagiku untuk tidak menyerah pada
kesulitan. Ingin aku membuktikan bahwa apa yang kulakukan sekarang, bukan hanya
angan-angan kosong yang mustahil dilaksanakan, tapi apa yang sedang
kuperjuangkan adalah yang semestinya menjadi perhatian pemerintah.
Meskipun tidak percaya akankemampuan
sendiri karena aku masih hijau, namun aku ingin supaya di daerah itu diadakan
penerbitan, walaupun diselenggarakan oleh orang lain.
Coba, kita bayangkan bagaimana sedihnya
di daerah yang dianggap daerah propinsi perjuangan, tapi nyatanya tidak ada
apa-apanya. Menunggu surat kabar dari Jakarta tidak ada artinya sama sekali,
karena 5 bulan baru sampai di Soasiu.
Radio, pada umumnya rakyat tidak punya,
kecuali beberapa Orang tertentu. Inipun serba sulit. Di Soasiu tidak ada
listrik. Radio listrik tak dapat dapat dipakai . andai kata ada yang punya
radio accu atau baterai, tidak ada yang jual baterainya., sehingga akhirnya
semua radio pada nganggur.
Kalau ditinjau dari segi keuangannya, penerbitan di daerah ini tidak mungkin. Tapi kita harus
sadar betapa daerah ini membutuhkan bacaan, walaupun isinya tidak dapat sehebat
dengan yang terbit di Jakarta.
Setidak-tidaknya koran lokal dapat
membantukebutuhan masyarakat di daerah akan bacaan, baik yang sudah mempunyai
pikiran kritis, maupun bagi yang baru tamat P.B.H(Pemberantasan Buta Huruf).
Tentu penerbit akan serampangan mengisi surat kabarnya, tapi harus diusahakan
supayya sesuai dengan selera pembacanya.
Penerbitan tidak bertujuan mencari uang,
karena keuntungan apakah yang bisa didapat dari penerbitan di daerah semacam
ini ? aku sudah kenal keadaan di daerah ini, sehingga bodohlah andaikata aku
mencari keuntungan.
Orang-orang ini cukup membaca surat
kabar satu saja, berganti-gantian. Disamping kebiasaan ini, para langganan
malah tiada minat membaca. Kesulitan inilah merupakan dorongan bagi penerbit
untuk mengusahakan supaya mereka menjadi penggemar membaca dan merasa
bertanggung jawab atas uang langganan.
Perhubungan Soasiu — Ternate dilakukan
dengan motorboot, kapal bermotor; inipun tidak bisa setiap setiap hari; kalau
motorboot tidak ada. Maka supaya tidak terlambat orang harus menggunakan
perahu-perahu. Berapakah ongkos untuk orang-orang yang mendayung ? hubungan pos
lebih-lebih lagi, selalu lebih lambat sampainya.
Kenyataan-kenyataan inilah yang tidak
memungkinkan surat-surat kabar hidup, kalau hanya didasarkan pada keuntungan
belaka. Makabukan itulah tujuanku.
Aku ingin menanamkan pengertian pada
penduduk di perbatasan itu, supaya mengenal perkembangannya, terutama yang
dihadapi pada masa itu, yakni kegiatan perjuangan Indonesia. Dan Soasiu
merupakan daerah yang terpenting karena ditempati Propinsi Perjuangan Irian
Barat. Soasiu sebenarnya lebih giat daripada daerah lain di Indonesia, bukan
sebaliknya : tinggal melempem, sambil mendengarkan kegiatan-kegiatan daerah
lainnya belaka. Kalau aku dapat menerbitkan surat kabar daerah di Soasiu,
walaupun tidak mengisi 100 % kekurangan daerah ini, setidak-tidaknya dapat
membikin penerangan-penerangan melalui penerbitan-penerbitan, yang dapat
menggugah semangat setiap orang yang sedang “tidur” itu. Dan pikiranku tak
dapat melupakan kebutuhan daerah itu.
Aku tidak hanya minta bantuan ke
departemen Penerangan, melainkan kemana saja yang mungkin, asal dapat
dipertanggungjawabkan.
Disamping mereka yang tidak perduli, ada
juga yang memberi perhatian. Memang aku mengerti juga, Pemerintah takut kalau
nantinya kepercayaan yang diberikan itu disalahgunakan. Karena itu, aku tidak
minta subsidi, tapi hanya minta agar dapat dibeli kertas dengan harga
pemerintah.
Mungkin juga Departemen Penerangan menganggap
tidak mungkin, karena tenaga yang masih hijau begini, jangan dipatahkan
semangatnya. Bapak-bapak seharusnya memberi dorongan kepada kesanggupan
generasi baru, walaupun hasilnya tidak segemilang yang sudah berpengalaman. Aku
lalu mencoba datang ke Front Nasional. Rupanya Kolonel Djoehartono sudah
menjelaskan soalnya pada Overste Harsono dari Badan Pembina Potensi Karya.
Dari beliaulah aku mendapat perhatian,
maka timbullah semangatku kembali. Ternyata tidak semua orang tidak setuju
dengan rencana ini, beliau bersedia membantu apa saja yang mungkin dapat
diberikan. Dari pembuatan akte sampai pada klise, disamping bantuan uang.
Kalaupun semua syarat-syarat yang
diperlikan oleh Departemen Penerangan sudah dipenuhi tapi belum juga berhasil,
beliau bersedia menghubungkan aku langsung dengan Menteri. Tapi sedapat mungkin
aku tetap mengurus melalui saluran yang ditentukan, kecuali kalau hal ini
gagal. Dan aku tak mau gagal. Kata-kata Pak D
Jawoto masih hangat dibenakku. Hamid
Kotombunan, adalah pembantuku yang bersemangat untuk tetap tidak mundur
menghadapi kesulitan-kesulitan ini.
Aku terus berusaha mencari jalan yang
dapat segera menyelesaikan soal kertas. Terlalu lama aku menunggu keptusan
dapat tidaknya. Hampir 1½ bulan aku berusaha. Percuma kalau aku hanya
menunggusedangkan syarat-syarat yang kuberikan sukar untuk diterima oleh
departemen penerangan, karena kurang memenuhi syarat .
Kebetulan Gubernur Propinsi Irian Barat,
Kolonel Pamoedji, masih ada di Jakarta. Lebih baik aku mohon kesedeiaan beliau
untuk menguruskan langsung soal kertas ini pada Menteri. Untung, Gubernur yang
baru ini cara berpikirnya tidak bertele-tele. Orangnya pendiam, barangkali
bukan aku saja yang kalau melihat wajah beliau , menjadi agak takut. Tampaknya
seram. Tapi setelah berbicara, ternyata beliau orang yang sangat baik.
Bicaranya tidak banyak, beliau minta
yang tegas, tidak berputar-putar, rencana yang tepat masuk diakal. Jawaban
beliau hanya ada dua : ya atau tidak. Tidak banyak komentar-komentar
lain. Itulah termasuk kesulitan yang kuhadapi. Beliau cukup tahu daerah Soasiu,
betapa kebutuhan akan bacaan disamping kebutuhan-kebutuhan lain. Jadi tidak
semestinya kalau permintaan ini harus memenuhi syarat yang mutlak seperti
penerbitan di Ibukota. Tanpa banyak komentar, beliau langsung hari itu juga
menuju ke Departemen Penerangan. Sayang, menteri tidak ada. Beliau diterima
oleh Pembantu Utama Menteri. Tetapi segala urusan tetek bengek dapat
diselesaikan, dan akhirnya permintaan untuk penerbitan dikabulkan; dan melalui
Gubernur kami terima 200 riem kertas.
Aku mendapat bantuan uang juga dari
Gubernur untuk persiapan kebutuhan-kebutuhan supaya dapat segera berangkat
menuju Soasiu.
Legalah aku, apa yang telah kulakukan
dengan jerih payah nyatanya tidak hanya mimpi belaka. Penerbitan ini akan
kuberi nama seperti mingguan lama yang terbit di Ternate, “Karya”, yang dulu
terbit stensilan, tidak menentu, hanya kalau kebetulan ada uang saja. bagaimana
para langganan tidak jengkel ! kadang-kadang satu bulan hanya terbit satu kali,
tetapi rekeningnya tetap mingguan. Tentu saja pelanggannya tidak mau membayar
!!
Nama baru tidak perlu, tenaganya pun
kuambil dari kalangan daerah. Tentu bisa bersemangat kalau surat kabarnya
disempurnakan. Sekarang tidak lagi distensil tapi dicetak, sifatnya tentu lain.
Kalau dulu main-main, sekarang harus giat bekerja, harus menanamkan kepercayaan
pada langganan, terutama pada Pemerintah, bahwa kepercayaan yang diberikan,
betul dibuktikan, sehingga beliau melihat, yang “hijau” tidak selamanya tidak
cakap. Sihijau pun bisa bisa menjadi dewasa, dan sanggup bekerja.
Yayasanku bernama “Kartika Lina”. Aku
mendapat bantuan terbesar dari BPPK yang kebanyakan berasal dari Angkatan Darat. Lambang Kartika Eka Paksi
kuambil Kartikanya, digabung dengan singkatan namaku Lina. Tujuan Yayasan ini
memantau Pemerintah dalam mempertinggi kecerdasan rakyat. Bukan hanya surat kabar
saja, tapi juga bacaan-bacaan dan usaha-usaha lain yang sejalan dengan tujuan
tersebut.
Aku mendapat bantuan buku-buku dari
perpustakaan rakyat di Jakarta, dan juga dari Departemen Penerangan.
Setelah semuanya siap, aku dan Hamid
berangkat ke Surabaya, menunggu kapal untuk berangkat ke Soasiu. Maklumlah,
kapal laut berangkatnya tidak menentu. Acapkali ditunda-tunda hingga satu
minggu. Persediaan uang sudah tipis, pengeluaran di Surabaya selama menunggu
kapal cukup banyak. Tapi aku tak perlu berkecil hati karena tiada uang, sebab
di atas kapal tak perlu mengeluarkan uang lagi.
Tanggal 2 Oktober 1961 aku meninggalkan
pelabuhan Surabaya dengan kapal “Waikelo”, bersama-sama dengan tiga orang
perwirra Kodam XV. Di kapal suasana gembira, karena ada seorang dari kepolisian
yang kegemarannya memainkan akordion.
Apa kerja di kapal selain makan dan
tidur ? jika gelombang tidak tinggi, semua orang sehat-sehat, menikmati angin
laut dan berjalan-jalan menghilangkan kebosanan di kapal. Perwira itu mengalah,
memberikan kamarnya kepadaku. Maklumlah
kamar-kamar tidak cukup sehingga yang ada dek saja. tentu aku berterima kasih
atas bantuan beliau, sedangkan Hamid ada kenalan juga di kapal sehingga ia
tidak lagi tidur di dek.
Selama aku sibuk mempersiapkan
penerbitan, tidak ada yang kurasa sedih. Tapi kini aku dalam keadaan tenang,
cukup waktu untuk membangkitkan pikiran-pikiran yang sebenarnya tidak perlu.
Semua itu membuat aku sunyi, seolah-olah aku hidup sendiri.
Aku ingat akan ibuku, kata-katanya
terngiang di telinga, “Hati-hati kau nak, jauh dari orang tua”. Dulu tangis
orang tuaku tak kuhiraukan. Sekarang terasa, betapa sunyi aku tanpa orang tua.
Air mataku meleleh, membutuhkan kasih orang tua.
Dua tahun kutinggalkan Ibu, sekarang aku
berangkat lagi, tidak tahu kapan aku pulang. Ayunan kapal membuat aku tertidur,
tenang seolah-olah jiwaku terpisah dari badan. Aku dikejutkan ketokan pintu,
tanda makan siang. Badanku lemas, mungkin disebabkan habis menangis, maka
rasanya seperti kehilangan kekuatan.
Sejak berangkat aku jarang sekali keluar
kamar, kecuali kalau makan. Tentu beliau-beliau memperhatikan mengapa aku
berdiam diri ? Memang tidak semestinya aku berdiam diri itu. Apakah perlunya
bersusah hati, padahal ibuku tetap jauh. Dan lagi, ibuku tak ingin aku bersedih
hati. Dengan sedih tak mungkin aku bekerja, sedangkan pekerjaan membutuhkan
pemusatan pikiran. Kalau keadaan seperti sekarang, semua akan menjadi
terbengkalai. Akibat menganggur, segala segala sesuatu menjadi terpikir, juga
yang bukan-bukan. Memang perpisahan itu kadang-kadang menyakitkan. Namun,
perpisahan tak dapat dihindari.
Kucoba jalan-jalan ke luar. Air laut
gemericik, sayu kedengaran. Kenapa, kau, bulan, ikut-ikut menggugah jiwaku
mengenang yang kutinggalkan, ibuku, pacarku...... Maksudku ke luar cabin, ialah
menghilangkan kesunyianku, tapi justeru lebih menyayat, begitu sakit rasanya.
Tidak, perasaan ini harus hilang. Apa yang harus kurusuhkan ? coba, lihat,
semua penumpang tertawa girang, ada yang bermain catur, akordion. Apa bedanya
aku dan mereka ? merekapun mengalami perpisahan, justeru mereka lebih sakit
berpisah dengan anak dan isterinya.
Ada tiga orang perwira datang mengajak
bercakap-cakap. Jika selama itu aku tidak mau keluar dari cabin, maka sekarang
aku ingin menghilangkan semua pikiran-pikiran
anak kecil.
Kami berempat menyanyi bersama-sama
diirungi bunyi akordeon. Memang hilanglah semua kekesalanku. Aku harus
berterima kasih pada Mayor Suryadi, yang bukan hanya memberi tempat, tapi juga
setelah melihat aku sedang sedih, tak jemu-jemunya beliau dan teman-temannya
mengajakku gembira.
Lama sekali kapal ini rasanya akan
sampai. Masih harus singgah di Buleleng. Aku membeli mangga mentah
banyak-banyak, akan kubikin rujak. Dari Buleleng hingga Makassar, perjaanku
setiap hari hanya membikin rujak. Sampai di Makassar, aku turun mencari orang
yang mungkin bisa menjadi agen surat kabarku. Aku minta bantuan juga Kodam
Hasanuddin, supaya mau berlangganan tetap dengan jumlah yang agak besar.
Untunglah, semua itu berhasil, walaupun
surat kabar itu datang akan terlambat sekali. Tujuannya membantu semata-mata
supaya surat kabar itu nanti dapat hidup terus, distribusi akan berjalan
lancar, walaupun jaraknya jauh. Kesediaan berlangganan sudah ada, walaupun
belum ada nomor perkenalan.
Kapal berlayar lagi, dan akhirnya sampai
di kota Ambon dengan selamat. Di Ambon aku harus mengambil kertas, padahal uang
tidak ada. Mayor Suryadi menolongku lagi, karena aku tidak ada penginapan di
Ambon. Aku dan Hamid bersama-sama diajak ke tempat beliau. Serumah smuanya
pria, hanya aku yang wanita. Apa boleh buat, karena dalam keadaan terpaksa.
Memang pandanggan orang tidak enak, tapi aku harus bermalam dimana, kalau tak
mau bersama mereka ?
Biarlah, untuk sementara Hamid pun
bersama-sama denganku. Kalau aku terus berpikir tentang pandangan orang,
pekerjaanku tak akan berhasil. Berjalan terus : Tuhan Maha Tahu tentang apa
yang dilakukan makhluknya, biarkan orang mengatakan segala-galanya, yang aku
tidak melakukan yang mereka perkirakan.
Aku akan meminjam uang dari Kodam XV.
Waktu itu Panglima sedang pergi, diwakili Kepala Stafnya. Overste Fatah, yang
sudah kukenal ketika keliling Indonesia . beliau tidak keberatan, karena
pinjaman itu adalah untuk usaha yang peru dibantu. Harga kertas Rp. 21.081,—
ditambah ongkos pengangkutan dan lain-lain, maka aku pinjam Rp. 25.000,—. Aku
kemudian menunggu hubungan ke Maluku Utara.
Selama aku menunggu, aku membuat
keaktifan-keaktifan di daerah. Persuratkabaran bukan saja di Maluku Utara yang
mati, tapi juga di Ambon. Wartawan-wartawannya sudah kehilangan semangat,
penerbitan sudah tidak terpelihara lagi. Akan diam-diam saja ? PWI cabang Ambon
kuminta mengadakan pertemuan antara wartawan-wartawan dan mengundang
pejabat-pejabat untuk memberikan kritiknya pada aku supaya aku bangun,
mengetahui suara pembacara secara langsung tentang kekurangan kita, bagaimana
kita mendapatkan pembaca yang sebesar-besarnya memberi isi koran yang tidak
mengecewakan. Semuanya berjalan dengan baik dan para wartawan kembali pada
kegiatannya. Aku diharapkan berada di Ambon, tapi tak mungkin, di Soasiu aku
lebih dibutuhkan.
Aku mendapat undangan resepsi ulang
tahunnya Gubernur Maluku, bapak Padang. Aku hadir bersama-sama Overste Fatah
dan Jaksa Tinggi Ambon. Karena keluarga beliau belum berada di Ambon, maka
timbullah asosiasi-asosiasi yang tidak-tidak. Di antara yang hadir, tidak ada
yang semuda seperti aku, sehingga aku berusaha mendekati ibu-ibu sebagaimana
mestinya. Acara berjalan dengan meriah. Yang menjadi bintang malam itu adalah
bapak K. P. Kom. Margono. Beliaulah yang membuat acara malam itu menjadi hidup.
Beliau itu lucu, setiap geriknya
menimbulkan tawa. Menunjuk orang menjadi tidak asing lagi bagi kami, tidak
pandang pangkat maupun usia. Justeru makin tua usianya, makin lucu kalau
menyanyi. Akhirnya aku dapat giliran juga. Disinilah pandangan menjadi lain.
Lebih-lebih Margono yang menganggap aku masih anak-anak dan membuatku
sedemikian lucu untuk bahan tertawaan memeriahkan malam itu. Karena aku
menghormati beliau, maka kulaksanakan apa yang beliau perintahkan, semuanya
sekedar untuk ramai-ramai saja. aku tidak mendugga bahwa di antara beberapa
ibu-ibu ada mendongkol dengan apa yang bapak Margono lakukan.
Aku biasa saja, sudah terlatih dan
kebal. Panaspun, aku tidak. Waktupun berjalan terus, sampai jauh malam. Aku
minta diri untuk segera pulang. Kuanggap tidak ada apa-apa, asal aku tidak
mengganggu mereka dan semua kuhormati lebih dari diriku.
Kudengar bahwa Kepala Staf akan mengadakan peninjauan ke daerah Maluku
Utara. Tentu beliau pergi dengan rombongan besar dan memakai kapal sendiri.
Daripada menunggu kapal lain terlalu lama, kalau beliau tidak keberatan lebih
baik aku ikut dengan kapal ini.
Tanggal 12 Nopember 1961 dengan
rombongan Kepala Staf aku naik kapal Tirtonadi, meninggalkan pelabuhan Ambon.
Untung ada seorang keluarga yang ikut serta dalam kapal, sehingga aku bukan
wanita satu-satunya.
Mayor Suryadi hanya kawan seperjalanan.
Tapi karena baik sekali, lagi anggota serumah denganku, Lt Adelan serta Kapten
Saroa, maka rasanya seolah-olah keluaarga sendiri. Perpisahan dengan beliau itu
cukup mengharukan. Biasanya, waktu makan selalu ditutup dengan humor yang
mentertawakan. Pada umumnya tentara memang banyak humornya.
Sekarang suasana berubah. Di kapal ramai
sekali, jumlah penumpang bertambah banyak. Tidurnya berderet, yang dapat kamar
hanya Kepala Staf dan Dokter, lainnya di dek. Aku tidur dengan Nyonya Kapten
Sulaeman, berjajar dalam satu deretan.
Dalam perjalanan sudah menjadi kebiasaan
untuk membuat segala sesuatu menjadi meriah. kalau tidak demikian tentu
menjemukan sekali. Lebih-lebih perjalanan dengan kapal, perlu adanya tukang
banyol. Karena aku dianggap laki-laki, Dokter berusaha membuatnya lelucon.
“Sebaiknya Herlina ini diperiksa saja, betul-betul wanita atau laki-laki.
Setuju? Mari kita pegang saja Lina supaya diperiksa”.
Ya, begitulah antara lain sesuatu yang
dicari-cari untuk bahan tertawa, dan kebetulan aku yang dapat dijadikan obyek.
Kami tidur di dek dengan tenda
bocor-bocor. Waktu hujan turun dengan lebatnya, maka hanya beberapa orang
sajalah yang terhindar dari tetesan air; yang lain nongkrong tidak bisa tidur,
menunggu redanya hujan.
Setelah dua hari berlayar, sampailah
kami di Ternate. Kunjungan Kepala Staf akan dilanjutkan ke pulau-pulau lain,
yakni Tobelo, Morotai dan Soasiu.
Aku sudah di tempat tujuan. Rasa-rasanya
masyarakat Ternate heran kenapa aku
kembali lagi. Untuk kedua kalinya aku di daerah ini. Pertama, ketika aku
singgah sebagai pengeliling Indonesia. Yang kedua adalah sekarang ini untuk
waktu yang tidak tertentu, sehingga Irian Barat kembali ke dalam wilayam
wilayah kekuasaan Indonesia.
Pejabat-pejabat Ternate sibuk menyambut
kunjungan Kepala Staf. Acaranya termasuk timbang-terima penggantian jabatan Dan
Dim Maluku Utara.
Di Ternate tiada kesulitan rumah, aku
mempunyai ibu yang sangat baik sekali kepadaku. Keluarga ini termasuk keluarga
terkenal di Ternate.
Lalu lintas laut jarak dekat dilakukan
dengan kapal kecil milik pak Iskak,
walaupun kecil, memegang perananan penting.
Sampai saat Kepala Staf tiba di daerah, angkatan
Darat masih mempunyai pinjaman pada pak Iskak. Pada kesempatan kunjungan inilah
kumintakan supaya pak Iskak dapat perhatian mengenai pinjaman yang belum
dibayar. Overste Fatah akan menyelesaikan dengan segera setelah beliau kembali
ke Ambon.
Waktu beliau akan kembali melanjutkan
perjalanannya ke Tobelo, aku diminta untuk ikut. Tawaran itu kusambut dengan
senang hati.
Kunjungan beliau merupakan bahan berita
dalam surat kabarku nanti. Perjalanan Ternate — Tobelo hanya berlangsung 8 jam.
Merupakan tradisi bahwa daerah-daerah
yang kukunjungi mengadakan upacara adat sebagai penghormatan. Waktu kapal
memasuki pelabuhan, perahu-perahu berhias dengan wanita-wanita di dalamnya
menyanyikan lagu-lagu adat disertai bunyi-bunyian, menjemput kami.
Pejabat-pejabat setempat meminta para
tamu pindah ke dalam perahu menuju ke pelabuhan. Ramai sekali rakyat Tobelo
berderet di kiri dan di kanan jalan. Tari Cakalele merupakan acara tetap pada
setiap penyambutan kunjungan tamu. Masyarakat Tobelo pun sudah mengenal aku,
mereka juga memberi salam atas kedatanganku yang kedua kalinya di daerah ini.
Murid-murid SR, SMP menyanyi koor yang diperdengarkan di sepanjang jalan yang
dilalui rombongan tamu. Kami pun sebentar-sebentar harus berhenti mendengarkan
lagu-lagu yang khusus disusun untuk kunjungan tersebut. isinya mengharukan.
Syairnya bertema kenyataan-kenyataan penderitaan rakyat di daerah, yang minta
diperhatikan. Mereka percaya bahwa pada pemimpinlah tempat permohonan perbaikan
nasib .............................
Kenyataannya, kadang-kadang ada pemimpin
yang sampai hati menelan hak rakyat untuk kepentingan diri sendiri. Rakyat
hanya diberi janji yang tidak pernah dipenuhi. Toh rakyat tetap setia,
sekalipun janji pemimpinnya tidak pernah dibuktikan. Mereka tetap menunjukkan
kesetiaannya memberi sambutan yang hangat ada setiap kunjungan, walaupun mereka
tidak mempunyai apa-apa kecuali tidak jemu-jemu mengingatkan pemimpinnya :
“Ingatlah nasib kami”.
Kalau memang pemimpin rakyat, tidak usah
lagi rakyat meminta-minta. Pemimpin cukup melihat kenyataan, ia pasti tidak
sampai hati untuk mencari kekayaan dan keuntungan bagi diri sendiri. Ikut
menderita dengan rakyatnya, aku pikir lebih baik, daripada mentereng di
tengah-tengah kemiskinan.
Hasil pokok daerah adalah kopra. Kopra
ini dibeli dengan uang belakangan. Bagaimana rakyat bisa hidup ? Karenanya
rakyat menjadi malas, kelapanya ditinggal saja bertumpukan, mereka nanti toh
tidak menerima uang.
Aku tidak tahudimana letak kepincangan
ini
Pohon sagu di Ma luku tidak pernah habis
dan tidak perlu ditanam seperti padi. Di daerah ini, misalnya Morotai,
rakyatnya makan pisang bakar. Memang enak juga pisang bakar, tapi bagaimana
jadinya kesehatan merka. Bagi mereka tidak apa-apa, karena itulah makan
pokoknya , dan mereka tidak tahu bahwa ada beras yang mereka berhak
menikmatinya.
Untunglah Indonesia mempunyai rakyat
yang nrimo. Kalau ada, baiklah ! Kalau tidak ada, ya sudah. Mereka hanya tahu
di dunia, lain tidak ! Apa yang mereka makan adalah kemurahan Tuhan. Padahal
mereka mempunyai pemimpin-pemimpin yang dicintai. Tapi pemimpin bukan hanya
untuk dicintai, ia harus memperhatikan rakyatnya.
Tidak hanya cukup dengan pidato yang
berisikan menganjurkan kerja keras dan jujur. Rakyat tidak tahu bagaimana
anjuran ini dilaksanakan.
Siapa yang sebenarnya tidak jujur ?
rakyat yang mana ? mungkinkah rakyat yang jelata tidak jujur? Selamanya rakyat
yang dibawah itu tidak tahu apa-apa. Kadang-kadang pemimpin berteriak untuk
rakyat, padahal mereka sendirilah yang menelan hak rakyat ! ini merupakan
penyakit, rupanya bukan di Ibukota saja, tapi juga di daerah-daerah.
Kapan penyakit ini akan berakhir,
entahlah ?! dapatkah generasi baru ini merobah atau malahan menambah ? Apa yang
kulihat merupakan pengalaman untukku dan menjadi pelita bagiku sebagai anggauta
generasi baru, walaupun aku tidak mempunyai arti apa-apa. Namun aku sebagai
putera Indonesia tidak rela melihat kemerdekaan Indonesia akan diperkosa oleh
segolongan manusia-manusia Indonesia yang tidak bertanggung jawab, yang sampai
hati memperkaya diri dialunan ratap rakyat...........
Dengan menari ronggeng, berdansa,
tertawa gembira, rakyat yang berhati murni melupakan apa yang mereka derita.
Barulah setelah tamu-tamu pergi, terasa apa yang sedang mereka hadapi : pisang
bakar, anak telanjang, tak ada sekolah, sungguh menusuk hati. Memang aneh,
ditempat lain memberantas buta huruff, tapi di pulau kecil lain membentuk buta
huruf. Tidak ada sekolah, anak-anak harus naik perahu, mendayung sendiri,
sedang orang tuanya mencari nafkah. Lain dengan di kota besar, anak-anak
diantar dengan mobil atau sepeda, beca. Tapi dalam lalu-lintas antar laut hal
ini tidak mungkin. Inilah oleh-olehku dalam perjalanan mengikuti rombongan yang
cukup berkesan.
Mudah-mudahan saja hasil peninjauan ini
menjadi perhatian. Tidak semua pemimpin sama. Rakyat masih beruntung mempunyai
tempat untuk menaruhkan kepercayaannya.
Kunjungan terakhir adalah Soasiu, kota
ini masih termasuk Kodam XV, walaupun Soasiu merupakan suatu propinsi
tersendiri.
Setelah rombongan berangkat, Ternate
berkurang ramainya, tinggallah lelahnya saja, tak ubahnya seperti mengadakan
pesta. Kalau selesai, tinggallah lelahnya.
Mengapa aku sampai di sini,
kadang-kadang aku berpikr. Seolah-olah khayalan ! Aku masih ingat pada
kata-kataku, kepada polisi-polisi muda yang dipindahkan ke Soasiu. Waktu itu mereka
sangat menyesal atas kepindahan ke Soasiu. Waktu itu mereka sangat menyesal
atas kepindahan ke daerah yang sangat sunyi seperti Soasiu. Mereka merasa
tertipu. Yang disebut Propinsi Irian Barat itu nyatanya seperti daerah mati
belaka. Walaupun mereka laki-laki, namun banyak yang menangis. Maklum umur
mereka juga masih diantara 17 – 22 tahun, begitu keluar dari pendidikan
Sukabumi langsung dibawa ke Soasiu. Tentu saja kaget. Aku ngobrol dengan
mereka, kuusahakan obrolan-obrolanku itu menanamkan pengertian, bahwa
kepindahan mereka ke daerah ini merupakan tugas yang mulia.
Kapan lagi kita bersedia bertugas di
daerah yang sunyi, kalau kita masih berpikir bahwa dipindahkan di tempat
yang sunyi, adalah buangan ! justeru
kepindahan mereka di Soasiu banyak pengaruhnya pada masyarakat.
Setidak-tidaknya penduduk Soasiu penduduk Soasiu ada pandangan baru.
Pemuda-pemuda tampan lagi gagah. Anjuran
Presiden dapat segera terlaksana. Dengan adanya asimilasi antar daerah, Soasiu
yang sunyi dapat menjadi lebih ramai. Jika biasanya hanya orang-orang yang
sudah berkeluarga saja yang berdatangan, sekarang datang pula yang masih
bujang-bujang. Memberi semangat, terutama kepada gadis-gadis di situ.
Pingitan nantinya akan berkurang.
Kukatakan kepada mereka, bahwa kalau sudah selesai berkeliling Indonesia, aku
akan bersedia di tempat yang sunyi. Inilah sekarang kubuktikan, bahwa apa yang
kukatakan betul-betul kulaksanakan.
Apa yang mereka rasakan akan kurasakan
juga. Memang benar tidak cukup hanya dengan kemauan saja. cita-cita harus
dicapai dengan usaha, tapi modal utama adalah kemauan. Tanpa adanya kemauan,
manusia tak akan berusaha.
—
SP —
S u m b e r :
J. Herlina – Pending Emas
PT Gunung Agung – MCLXIV
Cetakan ke 2 – 1965