Sabtu, 07 Maret 2020

BIDANG PENCIPTAAN MUSIK 2 : Sumaryo L.E

Blog Ki Slamet 42: Guru SMPIT Annur Menulis
Minggu, 08 Maret 2020 - 14.17 WIB 

 Paduan Suara Guru Annur Menyanyikan Lagu 
Mars Yaya Annur Cipt. Drs. Slamet Priyadi

A.           Apa yang terjadi pada saat orang mencipta?
Kita sedang mendengarkan musik. Biasanya tidak sadar, bahwa musik yang sedang kidengarkan itu, yang dapat mengasyikkan perasaan dan rokhani kita , dilahirkan dengan segala daya upaya, rasa keindahan, keahlian, ketekunan. Pendeknya, dengan pmengorbankan segala jerih payah, jasmaniah dan rokhaniah penciptanya.
Pada umumnya dari apa yang dalam beberapa saat kita dengarkan itu tidaklah terdapat kesan adanya pencurahan jerih payah itu. Seakan-akan apa yang mengelus-elus telinga dan jiwa kita itu ditulis oleh komponisnya semudah kita membuat kuwe lapis. Seolah-olah untuk menyusunbuah karya musik, komponisnya tinggal menunggu datangnya sang ilham saja.
Menurut pendapat para ahli peneliti, terjadinya suatu komposisi musik, dalam kenyataannya adalah hampir selalu sebaliknya dari apa yang kita umumnya sangka. Orang kebanyakan menyangka, bahwa ilhamlah yang membuka kemungkinan-kemungkinan menyusun suatu komposisi yang begitu mempesonakan. Ilham biasanyaa dianggap sebagai satu-satunya unsur yang menggerakkan komponis terlebih dahulu untuk memberi kunci mengungkapkan keidahan-keindahan dalam susunan nada-nada yang ditulisnya. Sesudah itu, segala sesuatunya seperti timbul begitu saja dengan sendirinya.
Sampai di manakah anggapan itu benar? Memang harus diakui, bahwa ilham itu memang penting, akan tetapi dia hanya merupakan suatu unsur saja dalam proses komposisi. Tidak begitu jauh berbeda dengan keadaan yang berlangsung dalam diri kita, kalau kita sedang menyusun pembukaan sebuah karangan mengenai suatu soal. Kadang-kadang kita sampai berjam-jam lamanya mencari kata-kata pembukaan karangan itu. Malahan tidak jarang sampai berhari-hari. Pokok persoalan yang kita hadapi sudah lama “menggantung” dalam diri kita. Hanya bagaimana kita harus memulai karangan itulah yang belum ditemukan. Dalam keadaan jiwa yang sedang mempersiapkan diri itu, dengan memeras pikiran, berjalan-jalankian-kemari, melepaskan diri dari kesibukan sehari-hari sebentar, tiba-tiba kita menemukan idenya, yang kemudian kita susun dalam kata-kata. Kata-kata pembukaan yang ditemukan secara tiba-tiba itu kita lanjutkan untuk menyelesaikan karangan tersebut. akan tetapi untuk menyelesaikan karangan itu, kita harus banyak mengeluarkan keringat dan memusatkan pikiran kita.
Proses penciptaan yang terjadi dalam jiwa komponis dalam garis besarnya tentu tidak akan banyak menyimpang dari contoh-contoh tersebut. dalam sejarah penciptaan musik yang telah ditulis mengenai proses penciptaan di dunia Barat, ada suatu contoh di mana seorang komponis malahan menunggu sampai tujuh tahun lamanya untuk menyelesaikan salah satu simponinya. Kalau buah ciptaannya sudah berbentuk dan kita dengarkan, orang terpaksa harus mengakui, bahwa seniman-seniman kreatip demikian tentulah merupakan makhluk-makhluk yang dikaruniai Tuhan. Makhluk yang dapat menciptakan sesuatu yang indah dan mempesonakan. Yang tidang sembarang orang mampu.
Oleh karena itu, seniman kreatip menempati kedudukan tersendiri dalam masyarakat. Orang selanjutnya menganggap, bahwa dengan dorongan gaib gaib kepada pencipta, membuat komposisi adalah pekerjaan yang tidak perlu minta tenaga begitu banyak dari penciptanya, sebab seniman kreatip hanya perlu digerakkan saja oleh sesuatu kekuatan dari luar dirinya. Padahal kenyataannya adalah tidak demikian. Kenyataannya adalah, bahwa dalam diri komponis terjadi suatu proses, yang terbagi dalam beberapa tingkat perkembangan. Memang ada kalanya, mula-mula seniman kreatip masih merupakan obyek yang pasip. Dia digerakkan oleh faktor yang ada dalam dirinya sendiri. Juga faktor-faktor yang ada di luar dirinya itu ikut mempengaruhinya. Hanya jiwa yang dapat menyesuaikan diri dengan apa yang diterimanya dari dirinya sendiri dan dari luar dirinya, dapat menunjukkan reaksi dan memberi jawaban. Jawaban ini merupakan suatu keadaan dalam jiwa komponis, suatu keadaan di bawah sadar yang oleh sementara penulis, seperti Broex, disebut ‘gema batiniah”.
Adapun faktor-faktor yang memancing keluarnya jawaban dari diri komponi adalah umpamanya, pengetahuan teknis mencipta, kemudian citarasa musikal, pengetahuan mengenai musik, pembawaan pengaruh dari masyarakat sekitarnya, keadaan kejiwaan komponis sendiri dan lain-lain.
Keadaan kejiwaan komponis pada tingkt perkembangan ini masih berbentuk samar-samar mengenai apa yang akan dicipta. Perasaan demikian dibawa dalam dirinya untuk beberapa waktu lamanya. Ada yang sebentar, dan ada pula yang sampai bertahun-tahun. Pencipta belum aktip.
Dalam tingkat perkembangan selanjutnya pencipta masih mencari-cari bentuk teknis yang sesuai dengan perasaannya, yang bersuara. Akan tetapi kegiatan jiwanya pada tingkat ini masih merupakan suatu suasana saja. dalam jiwa pencipta belum berlangsung adanya bayangan suara-suara yang sudah menemukan bentuk teknis yang sesuai.
Perasaan seperti ini mungkin berlangsung dalam semua jiwa manusia, akan tetapi tingkatnya tidak sama satu sama lain. Hanya mereka, yang mempunyai pembawaan khusus sajalah yang dapat berhasil mengalihsuarakan perasaan itu.
Dalam tingkat perkembangan inilah, yaitu pada waktu komponis dalam dirinya masih membawa suatu suasana yang belum jelas, baru muncul apa yang disebut ilham. Tingkat inilah yang mengalihkan pencipta dari keadaan yang tadinya pasip menjadi mulai aktip. Dari keadaan tidak sadar menjadi sadar. Segala perhatiannya dicurahkan kepada suatu bentuk pernyataan yang bersuara. Ilham ini biasanya erat kaitannya dengan keharuan pencipta itu sendiri.
Demikianlah pada umumnya perkembangan yang terjadi dalam jiwa komponis. Komponis mencurahkan segala daya upayanya mulai dari pencarian bentuk pernyataan yang bersuara. Kadang-kadang dengan mengalami bermaccam-macam konflik dalam dirinya sendiri.

B.           Mencipta adalah ilham tambah pencurahan tenaga yang banyak
Dari uraian di atas ternyata, bahwa proses mencipta itu melewati berbagai-bagai tingkat perkembangan. Tapi telah dikemukakan, bahwa dari mulai adanya perasaan yang samar-samar dalam diri sang pencipta sampai kepada suatu bentuk yang bersuara, dapat memakan waktu sedikit atau banyak, malahan dapatlah berkali-kali.
Waktu yang singkat biasanya menghasilkan buah-buah ciptaan yang penuh dengan ekspresi. Akan tetapi tidak jarang pula menunjukkan beberapa keteledoran teknis.
Suatu proses yang lama menghasilkan suara kematangan bentuk. Tidak mesti bentuk yang digarap matang itu mengurangi kekuatan ekspresi. Karena banyaknya waktu , dengan sendirinya keteledoran teknis lebihmudah dapat dihindarkan.
Manakah  dari kedua cara itu yang dianggap lebih baik? Itu sukar dipastikan, karena banyak tergantung dari bahan-bahan yang dihadapi pencipta.
Buah ciptaan pendek tentu dianggap dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat. Sebaliknya bentu-bentuk komposisi yang panjang dengan sendirinya memberi kesan seakan-akan memerlukan waktu yang lama pula untuk membuatnya. Ini biasanya anggapan kita. Anggapan ini tidak selalu benar.
Dalam banyak buku mengenai sejarah musik Barat ditulis, bahwa komponis-komponis klasik seperti Haydn, Mozart dan Beethoven berjuang dengan gigih untuk dapat menyelesaikan komposi-komposinya. Komponis Indonesia Kusbini lama sekali berjerih payah untuk dapat memberi bentuk bersuara kepada lagunya “Bagimu Negeri”, yang pendek itu.
Schubert, yang dala musik Barat terkenal dengan Lieder”-nya, memerlukan waktu bertahun-tahun untuk dapat menyelesaikan bentuk pernyataan salah satu lagunya, yng hanya berlangsung kira-kira 2 atau 3 menit bila dihidangkan.kita lihat sekarang, bahwa apa yang disebut ilham sebagai suatuhadiah yang gaib itu, hanya dapat menghasilkan sesuatu jika ada pemusatan segala daya upaya serta pencurahan keringat dari pencipta-pencipta yang begitu bahagia itu!
Pada waktu kita mendengarkan hasil konsentrasi dan keringat komponis, kita pada umumnya tidak dapat mengenal kembali bekas-bekas pencurahan tenaga penciptanya yang begitu banyak itu.
Orang mungkin bertanya, buat apa orang mencurahkan begitu banyak tenaga, kalau dalam hasil karyanya, pencurahan tenaga maksimal itu tidak berkesan. Anehnya, justru di sinilah harus kita cari harkat manusia itu sebagai manusia.

C.           Kesenian sebagai salah satu ciri manusia beradab
Soal ciptaan seni bukanlah soal ekonomi kebendaan. Dia adalah soal tanggung jawab artistik penciptanya. Ukuran yang bersifat kebendaan tidak dapat kita terapkan pada soal kesenian. Ukuran yang dipakai adalah ukuran artistik. Ukuran yang bersifat kejiwaan.
Memang buat apa sebetulnya kita belajar bertahun-tahun agar dapat menguasai secara baik permainan alat biola? Apakah ia langsung menambah rasa keamanan kita dari bahaya yang dapat menimpa kita sewaktu-waktu? Apakah bukan lebih baik kita mengail ikan atau bercocok tanam saja, agar hasilnya, yang dapat menjamin kehidupan kita, langsung dapat kita ambil?
Pendapat itu mungkin benar, akan tetapi kita bukan binatang, yang ingin bertahan asal hidup saja. Kita pun sama makhluk bergerak yang ingin hidup. Akan tetapi hidup yang kita inginkan, ialah hidup yang dapat merasakan kebahagiaan, di mana kita dapat menikmati segala keindahan yang dikaruniakan kepada kita oleh Tuhan dan segala keindahan yang diciptakan oleh hamba-hamba-Nya, oleh manusia.
Justru di sinilah letak ciri-ciri peradaban manusia. Manusia yang beradab berusaha berbuat sesuatu dengan mencurahkan segala tenaganya, tidak hanya untuk memperjuangkan melulu hidupnya, tetapi lebih daripada itu!
Semua makhluk bergerak yang hidup di dunia ini paling sedikitnya rela mengorbankan tenaganya, bersedia bersusah payah, karena digerakkan oleh tiga motip yang terpenting untuk kelangsungan hidupnya :
a.      Untuk menambah kesejahteraan materiil.
b.      Untuk menambah keamanan diri sendiri dan golongannya.
c.       Untuk melanjutkan keturunan.
Seekor kucing misalnya berlari-lari tidak untuk bersenam irama. Kucing itu berlari karena ingin menangkap burung yang dikejarnya untuk dimakan (kesejahteraan materiil), atau untuk melepaskan dari dari kejaran anjing (keamanan). Atau jika kucing itu berjenis kelamin jantan karena mengejar kucing betina (keturunan).
Akan tetapi makhluk yang beradab, menjadi manusia yang beradab, lebih banyak motipnya yang menggerakkan sehingga ia mau bersusah payah. Antara lain; untuk menambah santapan rokhani dan jiwaninya. Sebab jika tidak demikian, manusia hanya baru setingkat dengan binatang perkembangannya.
Oleh karena itu tidak perlu heran, kalau seorang komponis kadang-kadang sampai bertahun-tahun lamanya mencari bentuk pernyataan yang cocok menurut getaran hatinya, hanya untuk menyelesaikan sebuah lagu saja!
Seorang komponis yang murni, dalam  mencipta, biasanya tidak akan memperhitungkan terlebih dahulu, apakah ciptaannya nanti akan mendapatkan penghargaan materiil atau tidak dari publik. Dia mencipta oleh karena dia ingin atau ada dorongan yang kuat untuk mencipta. Ada sebab-sebab atau keadaan-keadaan yang bersemayam dalam dirinya sendiri, dan ada pula sebab-sebab yang berada di luar jiwanya yang menggerakkan hatinya untuk mengambil pensil guna mencatat yang bergema dalam hatinya.
Keadaan atau faktor-faktor yang berada di luar diri komponis tentunya harus berjiwa sedemikian rupa, sehingga dapat bergema dalam jiwa seorang yang merasa dirinya terpanggil untuk mencipta. Faktor-faktor di luar diri komponis itu tentunya juga mengandung unsur-unsur yang ada musik itu sendiri. Umpamanya saja laut besar dengan ombaknya dan kekuatan suara yang menggelegar bergelombang berirama. Perasaan yang ditimbulkan oleh adanya daya tarik negara-negara asing yang berada jauh sekali di seberang lautan memberi bahan kepada petualangan khayalan kita.
Akan tetapi, bukan hanya suara yang berirama seperti laut besar itu saja yang dpat mengharukan seorang pencipta, ketenangan pun dapat memberi bahan-bahan bersuara kepada seorang komponis. Umpamanya saja suasana yang disebabkan oleh udara yang sejuk di pegunungan dengan kicauan burung-burung serta hembusan angin yang halus yang sering mengelus-elus telinga kita. Tentu saja bahan-bahan sumber ciptaan lain pun masih banyak sekali. Seringkali malahan yang tidak disangka dapat menjadi sumber ilham komposisi, khususnya oleh mereka yang memang tidak ditakdirkan untuk mencipta musik. Pada umumnya, keadaan yang menimbulkan suasana tertentu akan tetapi samar-samar, yang sukar dinyatakan dengan lukisan atau kata-kata, mungkin akan lebih tepat kalau dinyatakan dengan musik.
Akan tetapi kita harus ingat, bahwa dalam keadaan seperti yang kita ambil sebagai contoh di atas hanya dapat bersemayam dalam jiwa seseorang yang musikal dan kreatip saja. unsur inilah sebetulnya pendorong utama untuk mencipta.

D.          Proses terjadinya improvisasi
Improvisasi sebagai bentuk ciptaan yang dimainkan, biasanya melalui proses penciptaan yang tidak begitu mendalam sentuhan kejiwaannya, kalau dibandingkan dengan bentuk ciptaan yang tertulis. Juga bentuknya, tidak begitu teratur rapi. Kekuatan bangunannya pun kurang kokoh, meskipun kadang-kadang dalam hal ekspresinya lebih mengesankan.
Kesalahan-kesalahan teknis dengan sendirinya seringkali sukar dihindarkan. Akan tetapi tentunya hanya orang-orang yang jiwanya terlaras dengan musik sajalah agaknya yang dapat membuat improvisasi yang berarti.
Pembaca yang biasa main dalam band-band hiburan, apalagi pemain tunggal (solis), akan mengalami sendiri, bahwa dalam rangka pola yang tetap, dia kadang-kadang perlu melakukan improvisasi. Sebab kalau tidak demikian, pendengar akan bosan mendengarkan melodi yang sama dua kali, kalau tidak diimprovisasikan. Terutama pola-pola harmonis yang dimainkan oleh salah satu seorang pemain gitar yang memperdengarkan perkembangan akor (suara sama) perlu diambil ptokan oleh pemain melodi untuk mengimprovisasikan sebuah melodi yang selaras dengan perkembangan akor-akor tersebut.
Pemain solo (pemain tunggal) akan mengalami, bahwa membuat improvisasi bukanlah hal yang mudah. Karena itu yang mereka lakukan kebanyakan hanyalah meniru improvisasi solis lain yang sudah mahir saja. atau umpamanya waktu berlatih, meniru-niru improvisasi permainan solis dari piringan hitam, casset-recorder, playdisk, dan lainnya.
Akan tetapi, improvisasi tiruan demikian tentu terutama hanya terbatas hanya pada latihan teknis saja, belum menunjukkan kemampuannya dalam bidang musikalitas. Dan, hanya ketrampilan teknis saja tanpa musikalitas tidak mudah digunakan untuk meniru kalimat-kalimat musikal secara baik. Meskipun demikian meniru ada juga baiknya, karena dengan meniru pemain-pemain musik yang baik dalam latihan-latihan, khususnya mereka yangmemiliki secara musikal, dapat memahami kalimat-kalimat musikal yang ditiru. Dengan cara demikian dia sebetulnya juga mendidik diri sendiri untuk nantinya menjadi improvisator yang mempunyai harapan baik di kemudian hari.

E.            Notasi musik yang deskriptip dan preskriptip
Dalam masyarakat yang kehidupan musiknya sudah berkembang, biasanya mempunyai suatu cara untuk menotasi musiknya. Maksud notasi ialah, agar kita memperoleh kesan, bagaimana sebuah lagu misalnya, berbunyi.
Di Indonesia ada beberapa daerah yang sudah mempunyai cara untuk menotasi musiknya. Bentuk notasi yang mereka pakai beraneka ragam. Ada yang menggunakan angka. Ada pula yang menuliskannya dengan bentuk lain untuk memberi isyarat secara visuil tentang perkembangan nada-nada dalam lagu yang telah dibuat notasinya.
Ada kalanya orang membuat ntasi sebuah lagu hanya untuk catatan saja, agar tidak lupa nada-nadanya. Atau untuk memberi kesan saja, bagaimana sebuah lagu dinyanyikan. Notasi tentu tidak dapat memuat semua sifat nada-nada yang berkembang dalam lagu tersebut. misalnya bagaimana kerasnya suatu perkembangan kalimat dalam lagu harus dinyanyikan. Bagaimana tegangan rasa dari perkembangan suatu nada ke nada lain harus digarap. Tulisan musik tidak ada yang mampu memberi uraian sampai ke bagian yang sekecil-kecilnya, bagaimana sebuah lagu harus dinyanyikan atau dimainkan dengan salah satu alat.
Cara mencatat musik hanya untuk pegangan atau hanya untukk membantu ingatan kita saja, dan bukan dengan maksud untuk dimainkan atau dinyanyikan, disebut notasi deskriptip. Kata deskriptip berasal dari kata Inggris description yang artinya kira-kira uraian atau gambaran”.
Kita semua sudah mengetahui, apa yang biasa disebut “balok-not”. Kata ini berasal dari istilah Belanda “notenbalk”, yaitu notasi musik yang mempergunakan lima garis horisontal untuk menempatkan titi-titi nada. Seperti gambar berikut

BalokNada / Paranada
Kata “baloknot” mungkin untuk pendengaran kita terasa kurang serasi, apalagi dihubungkan dengan persoalan yang begitu halus seperti musik. Buat angan-angan kita, balok memberi kesan adanya potongan-potongan kayu yang besar dan berat, yang materinya sangat menonjol. Sudah lama sesungguhnya para ahli-ahli musik Indonesia dipergunakan istilah “paranada”, yang kedengarannya lebih berirama.
Adapun paranada ini sudah lama dipergunakan dalam dunia musik internasional sebagai cara untuk mencatat musik seorang komponis dengan maksud untuk dimainkan. Oleh karena untuk dimainkan, semua unsur yang mempunyai fungsi dalam musik sedapat mungkin harus ikut dibuat notasinya. Seperti tinggi nada-nadanya, lamanya tiap-tiap nada berlangsung, dinamik (tingkat kekerasan nada) dan sebagainya. Tentu saja tidak semua unsur dapat dicatat, sebab memang tidak mudah untuk membuat notasi sesuatu yang berbunyi. Keharusan yang mendasari dimainkannya suatu perkembangan nada-nada misalnya, tidak mungkin dilukiskan dengan notasi. Namun demikian paranada dianggap sebagai suatu cara notasi musik yang paling praktis hingga sekarang dan oleh karenanya dipergunakan di mana-mana di dunia.
Cara notasi musik dengan maksud untuk dimainkan ini disebut “notasi preskriptip”. Juga dari kata Inggris “prescription” yang berarti kira-kira “dikte” atau dorongan kepada seseorang untuk berbuat sesuatu menurut kemauan yang mendorong”. Sebab itulah kiranya apa yang dicatat komponis dalam batas-batas tertentu  mengikat pemain dalam penyajiannya.
Apakah sifat preskriptip ini ciri khas paranada? Tidak. Paranada juga dipakai untuk keperluan pencatatan yang deskriptip. Tidak untuk dimainkan, melainkan hanya untuk mencatat saja, untuk membantu ingatan kita, untuk dipergunakan sebagai dokumentasi dan sebagainya.
Pencatatan musik yang tidak bersistim diatonis pun, seperti lagu-lagu asli yang ada di Indonesia, karawitan misalnya, dengan tambahan beberapa syarat, dapat pula dilakukan dengan paranada, agar dapat dibaca pula dan dikenal oleh seluruh dunia. Isyarat itu misalnya keterangan, bahwa titinada-titinada yang ditulis tidak persis sama tinggi dengan kenyataannya.
Malahan dalam seminar mengenai folklore Indonesia dalam tahun 1973 diputuskan untuk mempergunakan paranada dalam mencatat musik rakyat di Indonesia, sebelum ditemukan cara notasi lain yang lebih praktis. Tidak untuk mengganti cara-cara notasi yang telah ada di Indonesia, melainkan agar hasilnya dapat diketengahkan dalam forum ilmiah internasional. Hanya saja, karena musiknya menggunakan tangganada bukan tangganada diatonis, ditambah dengan catatan atau isyarat-isyarat lain mengenai tinggi nada-nadanya.



—KSP42—
kamis. 05 Maret 2020 – 18.00 WIB
REFERENSI:
Sumaryo L.E.
Komponis, Pemain Musik dan Publik
Pustaka Jaya – Jakarta 1978
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"P U A S A" By Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayyid

http://kertasinga.blogspot.com-Senin, 05 April 2021-13:02 WIB Definisi Shiyam) 1 Shiyam dan shaum secara bahasa adalah menahan diri dari...

"KONTEN ENTRY BLOG"