Blog Ki Slamet 42: Guru SMPIT Annur Menulis
Minggu, 08 Maret 2020 - 14.17 WIB
Minggu, 08 Maret 2020 - 14.17 WIB
Paduan Suara Guru Annur Menyanyikan Lagu
Mars Yaya Annur Cipt. Drs. Slamet Priyadi
A.
Apa
yang terjadi pada saat orang mencipta?
Kita
sedang mendengarkan musik. Biasanya tidak sadar, bahwa musik yang sedang
kidengarkan itu, yang dapat mengasyikkan perasaan dan rokhani kita , dilahirkan
dengan segala daya upaya, rasa keindahan, keahlian, ketekunan. Pendeknya,
dengan pmengorbankan segala jerih payah, jasmaniah dan rokhaniah penciptanya.
Pada
umumnya dari apa yang dalam beberapa saat kita dengarkan itu tidaklah terdapat
kesan adanya pencurahan jerih payah itu. Seakan-akan apa yang mengelus-elus
telinga dan jiwa kita itu ditulis oleh komponisnya semudah kita membuat kuwe
lapis. Seolah-olah untuk menyusunbuah karya musik, komponisnya tinggal menunggu
datangnya sang ilham saja.
Menurut
pendapat para ahli peneliti, terjadinya suatu komposisi musik, dalam
kenyataannya adalah hampir selalu sebaliknya dari apa yang kita umumnya sangka.
Orang kebanyakan menyangka, bahwa ilhamlah yang membuka kemungkinan-kemungkinan
menyusun suatu komposisi yang begitu mempesonakan. Ilham biasanyaa dianggap
sebagai satu-satunya unsur yang menggerakkan komponis terlebih dahulu untuk
memberi kunci mengungkapkan keidahan-keindahan dalam susunan nada-nada yang
ditulisnya. Sesudah itu, segala sesuatunya seperti timbul begitu saja dengan
sendirinya.
Sampai
di manakah anggapan itu benar? Memang harus diakui, bahwa ilham itu memang
penting, akan tetapi dia hanya merupakan suatu unsur saja dalam proses
komposisi. Tidak begitu jauh berbeda dengan keadaan yang berlangsung dalam diri
kita, kalau kita sedang menyusun pembukaan sebuah karangan mengenai suatu soal.
Kadang-kadang kita sampai berjam-jam lamanya mencari kata-kata pembukaan
karangan itu. Malahan tidak jarang sampai berhari-hari. Pokok persoalan yang
kita hadapi sudah lama “menggantung” dalam diri kita. Hanya bagaimana kita
harus memulai karangan itulah yang belum ditemukan. Dalam keadaan jiwa yang
sedang mempersiapkan diri itu, dengan memeras pikiran, berjalan-jalankian-kemari,
melepaskan diri dari kesibukan sehari-hari sebentar, tiba-tiba kita menemukan idenya,
yang kemudian kita susun dalam kata-kata. Kata-kata pembukaan yang ditemukan
secara tiba-tiba itu kita lanjutkan untuk menyelesaikan karangan tersebut. akan
tetapi untuk menyelesaikan karangan itu, kita harus banyak mengeluarkan
keringat dan memusatkan pikiran kita.
Proses
penciptaan yang terjadi dalam jiwa komponis dalam garis besarnya tentu tidak
akan banyak menyimpang dari contoh-contoh tersebut. dalam sejarah penciptaan
musik yang telah ditulis mengenai proses penciptaan di dunia Barat, ada suatu
contoh di mana seorang komponis malahan menunggu sampai tujuh tahun lamanya
untuk menyelesaikan salah satu simponinya. Kalau buah ciptaannya sudah
berbentuk dan kita dengarkan, orang terpaksa harus mengakui, bahwa
seniman-seniman kreatip demikian tentulah merupakan makhluk-makhluk yang
dikaruniai Tuhan. Makhluk yang dapat menciptakan sesuatu yang indah dan
mempesonakan. Yang tidang sembarang orang mampu.
Oleh
karena itu, seniman kreatip menempati kedudukan tersendiri dalam masyarakat.
Orang selanjutnya menganggap, bahwa dengan dorongan gaib gaib kepada pencipta,
membuat komposisi adalah pekerjaan yang tidak perlu minta tenaga begitu banyak
dari penciptanya, sebab seniman kreatip hanya perlu digerakkan saja oleh
sesuatu kekuatan dari luar dirinya. Padahal kenyataannya adalah tidak demikian.
Kenyataannya adalah, bahwa dalam diri komponis terjadi suatu proses, yang
terbagi dalam beberapa tingkat perkembangan. Memang ada kalanya, mula-mula
seniman kreatip masih merupakan obyek yang pasip. Dia digerakkan oleh faktor
yang ada dalam dirinya sendiri. Juga faktor-faktor yang ada di luar dirinya itu
ikut mempengaruhinya. Hanya jiwa yang dapat menyesuaikan diri dengan apa yang
diterimanya dari dirinya sendiri dan dari luar dirinya, dapat menunjukkan
reaksi dan memberi jawaban. Jawaban ini merupakan suatu keadaan dalam jiwa
komponis, suatu keadaan di bawah sadar yang oleh sementara penulis, seperti Broex, disebut ‘gema batiniah”.
Adapun
faktor-faktor yang memancing keluarnya jawaban dari diri komponi adalah
umpamanya, pengetahuan teknis mencipta, kemudian citarasa musikal, pengetahuan
mengenai musik, pembawaan pengaruh dari masyarakat sekitarnya, keadaan kejiwaan
komponis sendiri dan lain-lain.
Keadaan
kejiwaan komponis pada tingkt perkembangan ini masih berbentuk samar-samar
mengenai apa yang akan dicipta. Perasaan demikian dibawa dalam dirinya untuk
beberapa waktu lamanya. Ada yang sebentar, dan ada pula yang sampai
bertahun-tahun. Pencipta belum aktip.
Dalam
tingkat perkembangan selanjutnya pencipta masih mencari-cari bentuk teknis yang
sesuai dengan perasaannya, yang bersuara. Akan tetapi kegiatan jiwanya pada
tingkat ini masih merupakan suatu suasana saja. dalam jiwa pencipta belum
berlangsung adanya bayangan suara-suara yang sudah menemukan bentuk teknis yang
sesuai.
Perasaan
seperti ini mungkin berlangsung dalam semua jiwa manusia, akan tetapi
tingkatnya tidak sama satu sama lain. Hanya mereka, yang mempunyai pembawaan
khusus sajalah yang dapat berhasil mengalihsuarakan perasaan itu.
Dalam
tingkat perkembangan inilah, yaitu pada waktu komponis dalam dirinya masih
membawa suatu suasana yang belum jelas, baru muncul apa yang disebut ilham.
Tingkat inilah yang mengalihkan pencipta dari keadaan yang tadinya pasip
menjadi mulai aktip. Dari keadaan tidak sadar menjadi sadar. Segala
perhatiannya dicurahkan kepada suatu bentuk pernyataan yang bersuara. Ilham ini
biasanya erat kaitannya dengan keharuan pencipta itu sendiri.
Demikianlah
pada umumnya perkembangan yang terjadi dalam jiwa komponis. Komponis
mencurahkan segala daya upayanya mulai dari pencarian bentuk pernyataan yang
bersuara. Kadang-kadang dengan mengalami bermaccam-macam konflik dalam dirinya
sendiri.
B.
Mencipta
adalah ilham tambah pencurahan tenaga yang banyak
Dari
uraian di atas ternyata, bahwa proses mencipta itu melewati berbagai-bagai
tingkat perkembangan. Tapi telah dikemukakan, bahwa dari mulai adanya perasaan
yang samar-samar dalam diri sang pencipta sampai kepada suatu bentuk yang
bersuara, dapat memakan waktu sedikit atau banyak, malahan dapatlah berkali-kali.
Waktu
yang singkat biasanya menghasilkan buah-buah ciptaan yang penuh dengan ekspresi.
Akan tetapi tidak jarang pula menunjukkan beberapa keteledoran teknis.
Suatu
proses yang lama menghasilkan suara kematangan bentuk. Tidak mesti bentuk yang
digarap matang itu mengurangi kekuatan ekspresi. Karena banyaknya waktu ,
dengan sendirinya keteledoran teknis lebihmudah dapat dihindarkan.
Manakah dari kedua cara itu yang dianggap lebih baik?
Itu sukar dipastikan, karena banyak tergantung dari bahan-bahan yang dihadapi
pencipta.
Buah
ciptaan pendek tentu dianggap dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat.
Sebaliknya bentu-bentuk komposisi yang panjang dengan sendirinya memberi kesan
seakan-akan memerlukan waktu yang lama pula untuk membuatnya. Ini biasanya
anggapan kita. Anggapan ini tidak selalu benar.
Dalam
banyak buku mengenai sejarah musik Barat ditulis, bahwa komponis-komponis
klasik seperti Haydn, Mozart dan Beethoven berjuang dengan gigih untuk
dapat menyelesaikan komposi-komposinya. Komponis Indonesia Kusbini lama sekali berjerih payah untuk dapat memberi bentuk
bersuara kepada lagunya “Bagimu Negeri”,
yang pendek itu.
Schubert,
yang
dala musik Barat terkenal dengan “Lieder”-nya,
memerlukan waktu bertahun-tahun untuk dapat menyelesaikan bentuk pernyataan
salah satu lagunya, yng hanya berlangsung kira-kira 2 atau 3 menit bila
dihidangkan.kita lihat sekarang, bahwa apa yang disebut ilham sebagai
suatuhadiah yang gaib itu, hanya dapat menghasilkan sesuatu jika ada pemusatan
segala daya upaya serta pencurahan keringat dari pencipta-pencipta yang begitu
bahagia itu!
Pada
waktu kita mendengarkan hasil konsentrasi dan keringat komponis, kita pada
umumnya tidak dapat mengenal kembali bekas-bekas pencurahan tenaga penciptanya
yang begitu banyak itu.
Orang
mungkin bertanya, buat apa orang mencurahkan begitu banyak tenaga, kalau dalam
hasil karyanya, pencurahan tenaga maksimal itu tidak berkesan. Anehnya, justru
di sinilah harus kita cari harkat manusia itu sebagai manusia.
C.
Kesenian
sebagai salah satu ciri manusia beradab
Soal ciptaan seni
bukanlah soal ekonomi kebendaan. Dia adalah soal tanggung jawab artistik
penciptanya. Ukuran yang bersifat kebendaan tidak dapat kita terapkan pada soal
kesenian. Ukuran yang dipakai adalah ukuran artistik. Ukuran yang bersifat
kejiwaan.
Memang buat apa
sebetulnya kita belajar bertahun-tahun agar dapat menguasai secara baik
permainan alat biola? Apakah ia langsung menambah rasa keamanan kita dari
bahaya yang dapat menimpa kita sewaktu-waktu? Apakah bukan lebih baik kita
mengail ikan atau bercocok tanam saja, agar hasilnya, yang dapat menjamin
kehidupan kita, langsung dapat kita ambil?
Pendapat itu mungkin
benar, akan tetapi kita bukan binatang, yang ingin bertahan asal hidup saja.
Kita pun sama makhluk bergerak yang ingin hidup. Akan tetapi hidup yang kita
inginkan, ialah hidup yang dapat merasakan kebahagiaan, di mana kita dapat
menikmati segala keindahan yang dikaruniakan kepada kita oleh Tuhan dan segala
keindahan yang diciptakan oleh hamba-hamba-Nya, oleh manusia.
Justru di sinilah
letak ciri-ciri peradaban manusia. Manusia yang beradab berusaha berbuat
sesuatu dengan mencurahkan segala tenaganya, tidak hanya untuk memperjuangkan
melulu hidupnya, tetapi lebih daripada itu!
Semua makhluk
bergerak yang hidup di dunia ini paling sedikitnya rela mengorbankan tenaganya,
bersedia bersusah payah, karena digerakkan oleh tiga motip yang terpenting
untuk kelangsungan hidupnya :
a. Untuk
menambah kesejahteraan materiil.
b. Untuk
menambah keamanan diri sendiri dan golongannya.
c. Untuk
melanjutkan keturunan.
Seekor kucing
misalnya berlari-lari tidak untuk bersenam irama. Kucing itu berlari karena
ingin menangkap burung yang dikejarnya untuk dimakan (kesejahteraan materiil),
atau untuk melepaskan dari dari kejaran anjing (keamanan). Atau jika kucing itu
berjenis kelamin jantan karena mengejar kucing betina (keturunan).
Akan tetapi makhluk
yang beradab, menjadi manusia yang beradab, lebih banyak motipnya yang
menggerakkan sehingga ia mau bersusah payah. Antara lain; untuk menambah
santapan rokhani dan jiwaninya. Sebab jika tidak demikian, manusia hanya baru
setingkat dengan binatang perkembangannya.
Oleh karena itu
tidak perlu heran, kalau seorang komponis kadang-kadang sampai bertahun-tahun
lamanya mencari bentuk pernyataan yang cocok menurut getaran hatinya, hanya
untuk menyelesaikan sebuah lagu saja!
Seorang komponis
yang murni, dalam mencipta, biasanya
tidak akan memperhitungkan terlebih dahulu, apakah ciptaannya nanti akan
mendapatkan penghargaan materiil atau tidak dari publik. Dia mencipta oleh
karena dia ingin atau ada dorongan yang kuat untuk mencipta. Ada sebab-sebab
atau keadaan-keadaan yang bersemayam dalam dirinya sendiri, dan ada pula
sebab-sebab yang berada di luar jiwanya yang menggerakkan hatinya untuk
mengambil pensil guna mencatat yang bergema dalam hatinya.
Keadaan atau
faktor-faktor yang berada di luar diri komponis tentunya harus berjiwa
sedemikian rupa, sehingga dapat bergema dalam jiwa seorang yang merasa dirinya
terpanggil untuk mencipta. Faktor-faktor di luar diri komponis itu tentunya
juga mengandung unsur-unsur yang ada musik itu sendiri. Umpamanya saja laut
besar dengan ombaknya dan kekuatan suara yang menggelegar bergelombang
berirama. Perasaan yang ditimbulkan oleh adanya daya tarik negara-negara asing
yang berada jauh sekali di seberang lautan memberi bahan kepada petualangan
khayalan kita.
Akan tetapi, bukan
hanya suara yang berirama seperti laut besar itu saja yang dpat mengharukan
seorang pencipta, ketenangan pun dapat memberi bahan-bahan bersuara kepada
seorang komponis. Umpamanya saja suasana yang disebabkan oleh udara yang sejuk
di pegunungan dengan kicauan burung-burung serta hembusan angin yang halus yang
sering mengelus-elus telinga kita. Tentu saja bahan-bahan sumber ciptaan lain
pun masih banyak sekali. Seringkali malahan yang tidak disangka dapat menjadi
sumber ilham komposisi, khususnya oleh mereka yang memang tidak ditakdirkan
untuk mencipta musik. Pada umumnya, keadaan yang menimbulkan suasana tertentu
akan tetapi samar-samar, yang sukar dinyatakan dengan lukisan atau kata-kata,
mungkin akan lebih tepat kalau dinyatakan dengan musik.
Akan tetapi kita
harus ingat, bahwa dalam keadaan seperti yang kita ambil sebagai contoh di atas
hanya dapat bersemayam dalam jiwa seseorang yang musikal dan kreatip saja.
unsur inilah sebetulnya pendorong utama untuk mencipta.
D.
Proses
terjadinya improvisasi
Improvisasi sebagai
bentuk ciptaan yang dimainkan, biasanya melalui proses penciptaan yang tidak
begitu mendalam sentuhan kejiwaannya, kalau dibandingkan dengan bentuk ciptaan
yang tertulis. Juga bentuknya, tidak begitu teratur rapi. Kekuatan bangunannya
pun kurang kokoh, meskipun kadang-kadang dalam hal ekspresinya lebih
mengesankan.
Kesalahan-kesalahan
teknis dengan sendirinya seringkali sukar dihindarkan. Akan tetapi tentunya
hanya orang-orang yang jiwanya terlaras dengan musik sajalah agaknya yang dapat
membuat improvisasi yang berarti.
Pembaca yang biasa
main dalam band-band hiburan, apalagi pemain tunggal (solis), akan mengalami
sendiri, bahwa dalam rangka pola yang tetap, dia kadang-kadang perlu melakukan
improvisasi. Sebab kalau tidak demikian, pendengar akan bosan mendengarkan
melodi yang sama dua kali, kalau tidak diimprovisasikan. Terutama pola-pola
harmonis yang dimainkan oleh salah satu seorang pemain gitar yang memperdengarkan
perkembangan akor (suara sama) perlu diambil ptokan oleh pemain melodi untuk
mengimprovisasikan sebuah melodi yang selaras dengan perkembangan akor-akor
tersebut.
Pemain solo (pemain
tunggal) akan mengalami, bahwa membuat improvisasi bukanlah hal yang mudah.
Karena itu yang mereka lakukan kebanyakan hanyalah meniru improvisasi solis
lain yang sudah mahir saja. atau umpamanya waktu berlatih, meniru-niru
improvisasi permainan solis dari piringan hitam, casset-recorder, playdisk, dan
lainnya.
Akan tetapi,
improvisasi tiruan demikian tentu terutama hanya terbatas hanya pada latihan
teknis saja, belum menunjukkan kemampuannya dalam bidang musikalitas. Dan,
hanya ketrampilan teknis saja tanpa musikalitas tidak mudah digunakan untuk
meniru kalimat-kalimat musikal secara baik. Meskipun demikian meniru ada juga
baiknya, karena dengan meniru pemain-pemain musik yang baik dalam
latihan-latihan, khususnya mereka yangmemiliki secara musikal, dapat memahami
kalimat-kalimat musikal yang ditiru. Dengan cara demikian dia sebetulnya juga
mendidik diri sendiri untuk nantinya menjadi improvisator yang mempunyai
harapan baik di kemudian hari.
E.
Notasi
musik yang deskriptip dan preskriptip
Dalam masyarakat
yang kehidupan musiknya sudah berkembang, biasanya mempunyai suatu cara untuk
menotasi musiknya. Maksud notasi ialah, agar kita memperoleh kesan, bagaimana
sebuah lagu misalnya, berbunyi.
Di Indonesia ada
beberapa daerah yang sudah mempunyai cara untuk menotasi musiknya. Bentuk
notasi yang mereka pakai beraneka ragam. Ada yang menggunakan angka. Ada pula
yang menuliskannya dengan bentuk lain untuk memberi isyarat secara visuil
tentang perkembangan nada-nada dalam lagu yang telah dibuat notasinya.
Ada kalanya orang
membuat ntasi sebuah lagu hanya untuk catatan saja, agar tidak lupa
nada-nadanya. Atau untuk memberi kesan saja, bagaimana sebuah lagu dinyanyikan.
Notasi tentu tidak dapat memuat semua sifat nada-nada yang berkembang dalam
lagu tersebut. misalnya bagaimana kerasnya suatu perkembangan kalimat dalam
lagu harus dinyanyikan. Bagaimana tegangan rasa dari perkembangan suatu nada ke
nada lain harus digarap. Tulisan musik tidak ada yang mampu memberi uraian
sampai ke bagian yang sekecil-kecilnya, bagaimana sebuah lagu harus dinyanyikan
atau dimainkan dengan salah satu alat.
Cara mencatat musik
hanya untuk pegangan atau hanya untukk membantu ingatan kita saja, dan bukan
dengan maksud untuk dimainkan atau dinyanyikan, disebut notasi deskriptip. Kata
deskriptip berasal dari kata Inggris description
yang artinya kira-kira “uraian atau gambaran”.
Kita semua sudah
mengetahui, apa yang biasa disebut “balok-not”.
Kata ini berasal dari istilah Belanda “notenbalk”, yaitu notasi musik yang
mempergunakan lima garis horisontal untuk menempatkan titi-titi nada. Seperti
gambar berikut
BalokNada / Paranada |
Kata “baloknot”
mungkin untuk pendengaran kita terasa kurang serasi, apalagi dihubungkan dengan
persoalan yang begitu halus seperti musik. Buat angan-angan kita, balok memberi
kesan adanya potongan-potongan kayu yang besar dan berat, yang materinya sangat
menonjol. Sudah lama sesungguhnya para ahli-ahli musik Indonesia dipergunakan
istilah “paranada”, yang
kedengarannya lebih berirama.
Adapun paranada ini
sudah lama dipergunakan dalam dunia musik internasional sebagai cara untuk
mencatat musik seorang komponis dengan maksud untuk dimainkan. Oleh karena untuk dimainkan, semua unsur yang
mempunyai fungsi dalam musik sedapat mungkin harus ikut dibuat notasinya.
Seperti tinggi nada-nadanya, lamanya tiap-tiap nada berlangsung, dinamik
(tingkat kekerasan nada) dan sebagainya. Tentu saja tidak semua unsur dapat
dicatat, sebab memang tidak mudah untuk membuat notasi sesuatu yang berbunyi.
Keharusan yang mendasari dimainkannya suatu perkembangan nada-nada misalnya,
tidak mungkin dilukiskan dengan notasi. Namun demikian paranada dianggap
sebagai suatu cara notasi musik yang paling praktis hingga sekarang dan oleh
karenanya dipergunakan di mana-mana di dunia.
Cara notasi musik
dengan maksud untuk dimainkan ini disebut “notasi preskriptip”. Juga dari kata Inggris “prescription” yang berarti kira-kira “dikte”
atau “dorongan kepada seseorang untuk berbuat sesuatu menurut kemauan yang
mendorong”. Sebab itulah kiranya apa yang dicatat komponis dalam
batas-batas tertentu mengikat pemain
dalam penyajiannya.
Apakah sifat preskriptip
ini ciri khas paranada? Tidak. Paranada juga dipakai untuk keperluan pencatatan
yang deskriptip. Tidak untuk dimainkan, melainkan hanya untuk mencatat saja,
untuk membantu ingatan kita, untuk dipergunakan sebagai dokumentasi dan
sebagainya.
Pencatatan musik
yang tidak bersistim diatonis pun, seperti lagu-lagu asli yang ada di Indonesia,
karawitan misalnya, dengan tambahan beberapa syarat, dapat pula dilakukan
dengan paranada, agar dapat dibaca pula dan dikenal oleh seluruh dunia. Isyarat
itu misalnya keterangan, bahwa titinada-titinada yang ditulis tidak persis sama
tinggi dengan kenyataannya.
Malahan dalam
seminar mengenai folklore Indonesia dalam tahun 1973 diputuskan untuk
mempergunakan paranada dalam mencatat musik rakyat di Indonesia, sebelum ditemukan
cara notasi lain yang lebih praktis. Tidak untuk mengganti cara-cara notasi
yang telah ada di Indonesia, melainkan agar hasilnya dapat diketengahkan dalam
forum ilmiah internasional. Hanya saja, karena musiknya menggunakan tangganada
bukan tangganada diatonis, ditambah dengan catatan atau isyarat-isyarat lain
mengenai tinggi nada-nadanya.
—KSP42—
kamis. 05 Maret 2020 – 18.00 WIB
REFERENSI:
Sumaryo L.E.
Komponis, Pemain Musik dan Publik
Pustaka Jaya – Jakarta 1978
Tidak ada komentar:
Posting Komentar