Blog Ki Slamet 42: Guru SMPIT Annur Menulis
Senin, 09 Maret 2020 - 10.30 WIB
Senin, 09 Maret 2020 - 10.30 WIB
Menyanyi Tro dengan membaca notasi |
Fungsi
notasi dalam kehidupan musik
Ki Slamet 42 |
Hampir semua remaja
yang pernah sekolah, sedikit banyak dapat membaca notasi musik. Paling,
mengerti bagaimana mempergunakannya. Yang dibiasakan dalam sekolah-sekolah umum
adalah umum adalah membaca notasi musik yang mempergunakan angka ( systim solfa
atau sistim Cheve ). Akhir-akhir ini, di beberapa sekolah sudah menggunakan
pelajaran membaca paranada.
Sebetulnya belajar
membaca notasi angka pun sama sukarnya atau sama mudahnya dengan belajar
paranada. Masalahnya adalah soal kebiasaan. Orang yang dapat membaca paranada
pun banyak yang kikuk menghadapi notasi angka, apalagi pada waktu memainkannya
dengan alat musik.
Untuk memainkan alat
musik, pada umumnya orang lebih mudah melakukannya kalau notasi dibuat dengan
paranada. Sebab paranada secara teknis lebih banyak membantu para pemain alat
musik untuk mengenakan nada-nada yang dibaca. Akan tetapi harus diingat, bahwa
kepandaian membaca paranada belum tentu berarti orangnya musikal. Paranada
hanyalah alat belaka, bukan musiknya itu sendiri. Alat yang menguntungkan dan
praktis untuk mengembangkan bakat musikal seseorang. Dengan pengetahuan
mengenai paranada, orang sedikit banyak dapat terjun ke dalam alam pikiran
serta perasaan komponis. Sebaliknya orang yang tidak dapat membaca paranada,
jangan dianggap kurang musikal daripada orang yang menguasai pengetahuan
paranada.
Bahwasannya seorang
yang musikal yang juga trampil membaca paranada, akan lebih cepat berkembang
dalam memupuk bakat musikalnya, itu jelas. Perkenalan serta pengetahuan
kehidupan musik di seluruh dunia akan lebih terbuka untuknya. Khususnya dalam
menyelami apa yang terkandung dalam jiwa komponis, yang bersembunyi di belakang
nada-nada dalam ciptan-ciptaannya.
Paranada sudah
berabad-abad dipergunakan manusia, dengan perkembangannya melalui berbagai
bentuk, sehingga sampai kepada bentuk yang sekarang ini. Dengan paranada,
seorang komponis, secara musikal, ingin menyatakan secara tertulis apa yang
terkandung dalam hatinya, dan sekaligus memperkenalkannya kepada masyarakat.
Buah kreasinya diharapkan akan menjadi kegiatan para pemain musik, di samping
menjadi obyek penikmatan musikal masyarakat.
Daya kreasi komponis
dituliskan dalam bentuk paranada, meskipun tidak seluruh gelora musikalnya
dapat dituliskan. Akan tetapi ciptaan musik yang ditulisnya, dalam batas-batas
kemampuan segala tanda yang ada dalam paranada, diharapkan oleh komponis akan
diikuti secermat mungkin oleh pemain musik sebagai hak ciptanya. Tentu saja
dengan memberi kebebasan yang terbatas kepada penghidangnya. Notasinya seratus
persen bersifat preskriptif. Pemain tidak tidak diberi kesempatan untuk
menggunakan daya kreasinya sendiri. Pemain hanya diberi kesempatan “mencipta
kembali” dengan kebebasan-kebebasan yang terbatas, sehingga hidangannya tidak
menyimpang dari ide komponis.
Dalam suatu
masyarakat yang mempergunakan notasi musik yang bersifat preskriptif,
kreatifitas adalah memonopoli komponis. Dalam suatu masyarakat yang tidak
mengenal tulisan musik yang preskriptif, atau yang tidak memiliki cara notasi
musik samasekali, kreativitas lebih banyak dinyatakan oleh pemain-pemainnya.
Pemain yang kreatip biasanya mencipta sebuah lagu secara improvisatoris, yang
diambil alih oleh pemain-pemain lain dengan memberi hiasan-hiasan musikal
menurut selera musika masing-masing. Pola komposisi yang asli biasanya tetap
diperkembangkan, akan tetapi rakyat pada umumnya bebas untuk menambah atau
menguranginya sesuai dengan seleranya. Pemikiran mengenai hak cipta
perseorangan tidak disadari dan tidak dihiraukan. Di dalam perkembangan ciptaan
demikian selanjutnya, masyarakat atau rakyat pada umumnya yang membentuk
pernyataan musikal tadi. Demikianlah proses terciptanya musik rakyat. Seniman
kreatip dalam masyarakat demikian adalah terutama pemain musik atau penyanyi
dengan hidangan-hidangannnya yang biasanya penuh dengan tambahan hiasan-hiasan
musikal disertai dengan perobahan melodi yang tidk banyak menyimpang dari pola
melodi asli menurut selera tiap penyanyi.
Demikianlah pula
umumnya yang kita alami dalam kehidupan musik tradisionil di Indonesia, dan
mungkin di negeri-negeri Asia lainnya pun demikian pula halnya. Artis kreatip
adalah terutama pemain atau penyanyi.
Musik kaeawitan Indonesia
pun mengenal pula tulisan musik. Biasanya yang ditulis hanya balungannya atau
tema pokoknya saja, dan tidak seluruh melodinya. Tulisan ini biasanya
dikerjakan sebagai pencatatan mengenai dasar-dasar melodi yang sudah ada.
Notasinya biasanya dipergunakan untuk mengingat-ingat perkembangan melodinya.
Jadi, bersifat deskriptip. Akan tetapi tidak jarang pula, notasi demikian
dipergunakan untuk menyajikan musik. Titinada yang dicatat sesuai dengan tema
pokok lagu tetap harus diikuti, akan tetapi penyaji mempunyai kebebasan
terbatas untuk ”menggarap” melodinya dengan hiasan-hiasan, yang merupakan
ungkapan kreatip pemain atau penyanyi itu sendiri.
Dalam soal kebebasan
mengadakan interpretasi, musik jazz lebih jelas lagi menunjukkan pemain atau
penyaji Jazz sebagai artis yang kreatip. Pemain atau penyanyi Jazz lebih bebas
daripada pemain Karawitan dalam menggarap melodi tertulis yang berasal dari
komponi, asal tidak menyimpang dari pola harmonis yang asli.
Bentuk
musik dan skema bentuk
Baik, sekarang kita
pilih sebuah lagu yang sudah amat terkenal bahkan sampai ke mancanegara, “Bengawan Solo” karya sang Maestro “Gesang
”. lagu ini mendapatkan bentuknya justru oleh karena di diciptakan.
Bentuk sebagai suatu pernyataan dapat indh, kurang indah, jelek, jelek sekali
dan seterusnya. Inilah yang kita maksudkan dengan bentuk tadi. Lebih jelas lagi
apa yang kita maksud sebetulnya, kalau kita namakan bentuk tadi “bentuk pernyataan”. Ada juga yang
menyebutnya “wujud” atau “perwujudan”.
Akan tetapi, ada soal lain lagi yang dalam peristilahan musik juga disebut
bentuk, yaitu “pola” atau “skema” bentuk itu.
Dalam hubungan ini,
kita kembali kepada contoh lagu tadi, “Bengawan Solo”. Kalau kita perhatikan
lagu ini, ternyata bahwa lagu “Bengawan Solo” mengikuti polatertentu. Coba kita
nyanyikan, “Bengawan Solo..., Riwayatmu
ini..., Sedari dulu..., jadi..., perhatian insani . . . “
Kita mengenal
kata-kata ini sebagai kalimat-kalimat bahasa, yang mempunyai arti. Sesuai
dengan sebutan tadi, melodi yang dilagukan juga merupakan kalimat musik.
Kalimat musik ini kita namakan “tema”. Oleh karena tema itu tema pertama,
kita sebut saja tema A.
Orang yang mengenal
tema A ini untuk pertama kali sebagai perkenalan, biasanya ingin mengenalnya
lebih dekat lagi. Oleh karena itu, tema ini untuk kedua kalinya dilagukan lagi,
yaitu dari mulai “Musim Kemarau . . .
. . . “
Nah, tentu pembaca
akan melihat, bahwa ternyata masing-masing nada terakhir dari kedua kalimat
yang sama itu, tidak serupa. Namun, kedua tema tadi “maknanya” sama. Tema ulangan yang kedua kalinya ini kita sebut juga
temaa “A”. Tema A yang pertama berakhir dengan nada; sol fa sol mi. Tema A yang
kedua dengan; sol fa mi do’. Bagaimanakah
sekarang perkembangan kalimat-kalimat musik ini seterusnya?
Kalau kita ulangi
kalimat A tadi sekali lagi, tentu pendengarnya akan menjadi bosan. Oleh karena
itu, lagu ini kita lanjutkan dengan tema lain. Tema yang sifatnya bertentangan
dengan tema A tadi. Dimulai dengan kata-kata; “Mata airmu dari Solo”, melodinya berganti menduduki dasar nada
yang lain, seluruhnya seperti bersifat menentang. Tema baru ini merupakan kontras terhadap tema A tadi. Iringan
lagunya pun demikian, umpamanya diiringi dengan gitar, sudah bersifat lain.
Kalau tema A
umpamanya menggunakan dasar iringan yang berpusat pada nada dasar C (Naturel dalam istilah populernya), maka
yang merupakan kontras memakai nada dasar F (istilah populernya = 1 mol). Tema baru ini kita namakan tema “B”. Dengan
menggunakan tema B ini, orang sudah diajak menginjak ke alam lain, yang beda
suasana dengan asal mulanya.
Lagunya dengan
sendirinya tidak dapat berakhir di situ. Bagaimanapun sebuah melodi di dalam
perkembangannya melarikan diri dari temannya yang asli, dia akhirnya akan
pulang kembali ke asalnya. Kalau tidak begitu, maka ada rasa mengembara di
dalam hati kita yang harus diselesaikan.
Tadi kita sudah
berkenalan dengan tema pertama (tema A), yang sampai dua kali dilagukan.
Kemudian kita diperkenalkan kepada tema B, yang menentang tema tema A. Kita
merasa bahwa A-lah kenalan kita yang pertama dan kenalan yang utama pula,
sedangkan tema B hanya merupakan kenalan sambil lalu saja. orang sekarang
berada di persimpangan jalan, yang minta penyelesaian.
Untuk menjelaskan
tema B ini sebagai tema kontras, maka orang lalu menutup lagunya dengan kembali
ke tema A. Dimulai dengan kata-kata dari nyanyian; “Itu perahu . . . . . . “.
Bentuk
lagu yang biasa
Kita lihat sudah,
bahwa lagu “Bengawan Solo” tadi melewati pola atau skema tertentu secara wajar.
Pola itu : A – A – B – B – A. Pola ini disebut “bentuk lagu”. Bentuk lagu yang
sederhana ini populer sekali. Sebab merupakan bentuk musik, baik musik vokal
maupun musik instrumental, untuk menyatakan perasaan-perasaan yang sederhana,
yang tidak terlalu dalam. Dan tidak pula menimbulkan persoalan-persoalan
kejiwaan yang terlampau rumit. Cocok untuk mencurahkan rasa lirik sambil lalu,
pertentangan-pertentangan batin yang ringan, rasa sentimentil remaja yang tidak
terlalu mencekam, rasa terpesona, rasa cinta selayang pandang dan sebagainya.
Hal ini mungkin
boleh kita sejajarkan dengan penggunaan bentuk cerpen dalam bidang sastra. Kalimat untuk perasaan-perasaan serta
persoalan-persoalan, keadaan jiwa yang meluas dan mendalam berikut
akibat-akibatnya yang tragis, liris, epis atau dramatis, dalam bidang sastra
pun memerlukan bentuk yang lebih luas. Misalnya bentuk roman atau novel.
Demikian pula halnya dengan musik, untuk keperluan yang sama di sini pun
memerlukan bentuk yang luas, seperti misalnya sonata, simponi, konserto dan lain-lain, yang biasanya dilakukan
oleh pencipta-pencipta musik seriosa.
Di Indonesia, bentuk
AABA ternyata banyak digunakan dalam hampir semua lagu nyanyian populer. Sampai
sekarang, di negeri kita pada umumnya, yang disebut dunia penciptaan musik,
kebanyakan baru berada dalam tingkat bentuk penciptaan musik untuk dinyanyikan.
Ciptaan-ciptaan instrumental jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Suara
instrumental sebagai suara musikal yang otonom (yang berdiri sendiri), agaknya
belum mendapat “pasaran” sebagaimana mestinya.
Pembaca mungkin ada
yang belum dapat membayangkan, betapa pencipta-pencipta yang sudah mempunyai
nama internasional yang tinggi dapat mencapai pernyataan musikal yang luhur
justru dalam ungkapan-ungkapan instrumental, tentunya di samping bentuk-bentuk vokal
pula.
Pembuatan komposisi
intrumental memang memerlukan suatu keahlian khusus dari pencipta. Yaitu
pengetahuan tentang sifat alat musik yang dipilih untuk komposisinya. Sama saja
dengan seorang penciptabuah-buah musik vokal, yang perlu mengetahuisebaik
mungkin sifat suara manusia. Kalau tidak begitu, besar kemungkinan komposisinya
yang dibuat untuk permainan trompet misalnya, akhirnya tidak dapat dimainkan
orang. Umpamanya saja, nada-nada yang ditulisnya untuk trompet terlalu tinggi
atau terlalu rendah, sehingga peniup trompet tidak sanggup memainkan
komposisinya. Di sini jelas diperlukan adanya pengetahuan komponis mengenai
jelajahan nada-nada yang secara normal dapat ditiup oleh manusia pada trompet.
Meskipun untuk pemain-pemain yang virtuos (pemain yang sudah menguasai teknik
permainan yang tinggi, pemain ulung) memang kadang-kadang dibuatkan juga
komposisi-komposisi yang melebihi syarat-syarat teknis yang normal.
Akan tetapi pada
umumnya, pencipta komposisi untuk trompet harus mengetahui pula
kesukaran-kesukaran teknis apa saja yang biasa terdapat pada permainan trompet.
Pencipta untuk trompet tentu tidak akan menulis nada-nada yang akhirnya
ternyata hanya bisa dimainkan oleh pemain biola misalnya.
Biasanya pencipta
komposisi untuk suatu alat tertentu, apa saja, misalnya, klarinet atau biola,
adalah seorang pemain klarinet atau pemain biola sendiri. Kalau tidak demikian
halnya, seringkali terjadi, bahwa seorang komponis minta bantuan seorang pemain
alat musik, untuk meminta petunjuk-petunjuk yang bersifat teknis.
Akan tetapi, yang
terutama diperlukan, adalah pengetahuan mengenai sifat teknis dan musikal
alat-alat musik pada umumnya. Kalau
tidak, bagaimana mungkin seorang komponis akan dapat membuat ciptaan untuk simponi. Suatu bentuk komposisi untuk
permainan semua anggauta keluarga alat musik. Dari yang digesek, dipetik,
ditiup sampai kepada alat-alat musik yang dipukul.
Yang dapat dimainkan bersama oleh puluhan sampai ratusan pemain!
Betapa hebat
kedengarannya! Dan betapa kejadian seperti itu merupakan suatu kegiatan
manusia-manusia yang berbudaya. Puluhan sampai ratusan manusia bersusah payah
sarta berkumpul untuk bersama-sama menyajikan suatu hasil seorang komponis,
hanya semata-mata untuk memenuhi syarat sebagai manusia yang berbudaya.
Bentuk
komposisi yang besar
Di atas, kita telah
berkenalan dengan bentuk-bentuk komposisi yang kecil, yang sederhana, akan
tetapi tidak kecil isi serta fungsinya. Sekarang mari kita beralih kepada
pola-pola ciptaan musik yang lebih besar. Ciptaan-ciptaan yang kadang-kadang
dapat kita dengar pula lewat RRI atau televisi, yang dimainkan oleh orkes
simponi RRI, dan kadang-kadang juga oleh oleh orkes tamu dari mancanegara.
Juga dalam bentuk
ciptaan yang besar, pencipta selalu mendasarkan vitalitas komposisinya pada
adanya kontras, yaitu
pertentangan-pertentangan. Persis seperti dalam pola bentuk lagu. Tanpa
kontras, komposisinya tidak akan menunjukkan gaya hidup. Sama dengan sebuah
lukisan, kalau tidak terdapat pertentangan-pertentangan di dalamnya, seperti
pertentangan garis-garis yang melintang dan sebagainya, lukisan akan matii.
Hidup itu sendiri adalah suatu kompleks pertentangan yang ada di dalamnya. Terutama
pertentangan antara hidup dan mati.
Salah satu bentuk
komposisi yang besar, yang sudah menjadi klasik dalam musik diatonis adalah
bentuk sonata. Bentuk ini hingga
sekarang masih saja dipergunakan di seluruh dunia yang musik diatonisnya telah
berkembang dengan pesat. Bentuk sonata adalah khusus bentuk instrumental, yaitu
untuk permainan sebuah alat musik atau beberapa alat musik. Pola sonata terdiri
dari tiga buah gerak, movements dalam
bahasa Inggris. Yaitu adanya contras ;
gerak cepat, gerak lambat dan kembali ke gerak cepat lagi.
Bentuk ciptaan
sonata biasanya dibuat untuk permainan sebuah alat musik atau lebih, akan
tetapi tidak dalam jumlah yang terlalu besar. Kalau dimaksudkan untuk permainan
sesuatu alat, biasanya pianolah yang dipilih. Di samping itu, ada juga ssonata
untuk permainan biola, diiringi atau tidak diiringi piano. Ciptaan yang
demikian disebut sonata untuk biola. Di
samping itu ada sonata untuk cello, untuk hobo, komo, untuk klarinet atau
alat-alat lain. Mungkin sementara pembaca ada juga yang tidak mengenal
alat-alat tersebut. untuk keperluan itu mengenai berbagai-bagai alat musik akan
diuraikan dengan agak lebih diperinci.
Di atas sudah
diuraikan, bahwa sonata terdiri dari tiga bagian, atau tiga gerak. Bagian yang
pertama biasanya yang disebut mempunyai pola sonata. Tentu saja, pola sonata
dalam arti yang sempit. Disebut dalam arti yang sempit, oleh karena
keseluruhannya, yaitu ketiga bagiannya pun disebut sonatajuga.
Pola bentuk sonata
yang khusus itu (yaitu bagian pertama atau gerak pertama) mempunyai konstruksi
berdasarkan prinsip A – B – A. Di sini kita teringat lagi kepada pola bentuk
lagu. Jadi bagian pertama dari sonata itu dalam keseluruhannya sudah terdiri
dari tiga bagian; A – B – A.
Bagian pertama “A” disebut
pameran, atau eksposisi.
Bagian yang kedua “B”
dinamakan divertimento, yaitu hiburan. Bagian “B” ini terdiri dari
bagian-bagian yang diambil dari tema-tema yang dipamerkan dalam bagian A.
Disadur menurut konsepsi artistik sang
pencipta sendiri, di sana-sini disambung dengan melodi yang bebas
sifat-sifatnya.
Bagian ketiga, yaitu
yang disebut “A” lagi, dinamakan reprise,
atau juga reeksposisi, pameran
ulangan. Bagian ketiga ini sebetulnya juga ulangan dari bagian pertama dan
biasanya diberi bentuk variasi atau hiasan-hiasan yang bebas menurut rasa
artistik penciptanya. Dalam bagian ketiga ini makna konsepsi bagian pertama
harus dengan mudah dapat dikenal kembali.
Masing-masing bagian
tentu terdiri dari tema-tema, yang dengan sendirinya harus merupakan kontras
lagi satu sama lain. Bagian kesatu biasanya jelas merupakan permainan kontras
tema-tema ini. caranya membuat kontras, biasanya tema kesatu sifatnya kuat, keras
suaranya atu juga iramanya; dan tema kedua
diambil yang berkesan halus, lembut, gerak lagunya melodis sekali.
Sampai sekarang kita
baru membicarakan gerak pertama saja dari suatu sonata. Gerak pertama ini pun sudah terdiri dari tiga bagian, yang masing-masingmengandung
tema-tema yang bertentangan.
Gerak kedua dari sonata keseluruhannya biasanya dibuat
dalam bentuk lagu. Seringkali dengan saduran-saduran atau variasi-variasi
dengan mempergunakan tangganada-tangganada berlainan, yang satu sama lain masih
ada hubungannya. Umpamanya tema yang pada permulaan ditetapkan dalam tangganada
mayor selanjutnya diberi variasi dalam tangganada minor yang bersangkutan.
Semuanya ini merupakan bagian kedua dari sonata.
Sekarang gerak ketiga. Gerak ketiga ini disebut
juga finale, maksudnya; bagian
terakhir atau bagian penutup. Bentuk
yang dipilih kebanyakan bentuk Rondo. Rondo
andalah bentuk musik untuk mengiringi tarian.
Pembaca mungkin agak
merasa sedikit sukar untuk mengikuti jalan piliran pola komposisi sonata ini. akan
tetapi buat pencipta-pencipta yang berbakat, perkembangan proses penciptaan
seperti diuraikan tadi tidak terasa sebagai hukum-hukum yang mengikat.
Hukum-hukum atau pola-pola itu memang tidak dibuat dulu oleh suatu panitia apa
pun untuk memberi petunjuk cara membuat suatu komposisi. Hukum-hukum serta
kebiasaan-kebiasaan itu justru tadinya timbul secara wajar oleh karena
pola-pola itu merupakan perkembangan dari bentuk-bentuk komposisi-komposisi
yang sudah ada sebelumnya.
Tidak ada seorang
pun komponis yang terikat secara kaku dalam mencipta sebuah sonata. Di dalam
sejarah perkembangan bentuk sonata, tidak jarang kita menemukan poa-pola yang
menyimpang. Apalagi dalam zaman Romantik Barat. Sama saja sebetulnya dengan
pola lagu, yang dalam sejarah perkembangannya tidak selalu mempertahankan
bentuk yang sudah klasik itu. Bagaimanapun juga, prinsip kontrastik yang begitu
esensial dalam suatu bentuk pernyataan ini tetap dipertahankan. Yaitu prinsip
konstruksi A – B – A.
Bentuk simponi
Kalau penciptaan suatu
sonata sudah memberi kesan adanya daya upaya fisik serta spirituil dari
komponisnya, daya upaya tadi di dalam isinya akan menjadi meluas lagi kalau
kita meneliti suatu komposisi yang disebut simponi.
Sebab karya simponi mempunyai bentuk seperti sonata, hanya saja sonata yang
dapat dimainkan oleh semua keluarga alat-alat musik yang ada.
Dengan sendirinya
dari komponis diminta adanya pengetahuan khusus mengenai semua alat musik yang
dipergunakan untuk musik simponi. Terutama mengenai sifat-sifat alat musik,
warna suara suatu alat musik, jelajahan suaranya, kemungkinan-kemungkinan
teknis yang dapat dihasilkan oleh alat-alat itu, suatu citarasa yang baik
mengenai pengetahuan perpaduan berbagai-bagai warna dari aneka alat musik, dan
sebagainya.
Satu soal yang harus
diperlihatkan dalam hal simponi. Kalau sonata terdiri dari tiga bagian, maka
dalam hal simponi ia ditambah dengan satu bagian lagi. Jadi simponi biasanya
terdiri empat bagian. Di antara bagian kedua dan bagian terakhir dari bentuk
sonata, dalam simponi ditambahkan satu bagian lagi, atau disebut juga suatu gerak.
Bagian ketiga yang
ditambahkan ini biasanya mengambil bentuk Minuet,
suatu bentuk musik untuk mengiringi tarian Minuet. Komponis terkenal Beethoven adalah komponis pertama yang
mengambil bentuk Scherzo untuk bagian
ketiga ini dalam simponinya.
Istilah Minuet dan
Scherzo sesungguhnya lebih ditujukan kepada suasananya daripada kepada pola
komposisinya. Scherzo adalah suatu jenis musik yang memberi suasana jenaka yang
bermain-main, akan tetapi tentu saja dalam rangka seriosa, yang berbeda dengan
arti lucu seperti yang kita jumpai sehari-hari.
Musik simponi oleh karena adalah suatu sonata untuk orkes. Sedangkan orkes
adalah kesatuan alat-alat musik untuk dimainkan. Kesatuan itu
bermacam-macam. Ada yang terutama terdiri dari alat-alat musik gesek, seperti biola, biola alto dan celo, disebut orkes gesek. Ada yang
khusus terdiri dari alat-alat tiup, yang biasanya ditambah dengan alat-alat
yang menghasilkan irama. Misalnya seperti tambur
dan timpani. Orkes demikian disebut orkes
tiup. Disebut orkes tiup. Dibsebutnya orkes
fanfare. Dan, kalau orkes seperti itu dicampur dengan alat-alat yang tidak
termasuk alat tiup, seperti kontrabas yang
berdawai dan sebagainya, maka biasanya diberi nama orkes simponi. Kesatuan yang terdiri dari melulu gitar, seperti
yang banyak kita jumpai sekarang, disebut orkes juga. Akan tetapi secara
populer, orkes seperti itu sekarang disebut band,
sedangkan bentuk lain yang mempergunakan alat-alat seperti piano, biola,
saksofon dan trompet oleh umum malahan dinamakan orkes.
Kita perlu mengenal
nama-nama berbagai macam jenis alat-alat musik dalam suatu orkes simponi agar
kita mengetahui, bagaimana seorang komponis simponi itu harus berhadapan dengan
berbagai soal di dalam proses penciptaannya.
—KSP—
Senin,09 Maret 2020 – 10.41 WIB
REFERENSI:
Sumaryo L.E.
Komponis, Pemain Musik dan Publik
Pustaka Jaya – Jakarta 1978
Tidak ada komentar:
Posting Komentar