Blog Ki Slamet 42 : Guru SMPIT Annur Cimande Menulis
Rabu, 29 Januari 2020 - 09.48 WIB
Rabu, 29 Januari 2020 - 09.48 WIB
I.
TEORI
KEINDAHAN
A.
Tori
Obyektif dan Teori Subyektif
Estetik
kadang-kadang dirumuskan pula sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan
teori keindahan (theory of beauty). Kalau definisi keindahan memberi tahu orang
mengenali apa keindahan itu, maka teori keindahan menjelaskan bagaimana
keindahan itu. Salah satu persoalan pokok dari teori keindahan ialah mengenal
sifat dasar dari keindahan. Apakah keindahan merupakan sesuatu yang ada pada
benda indah ataukah hanya terdapat dalam alam pikiran orang yang mengamati
benda tersebut? penjelasan terhadap problim ini dalam sejarah estetik
menimbulkan dua kelompok teori yang terkenal sebagai teori obyektif dan teori
subyektif tentang keindahan atau nilai estetis. Kelompok teori obyektif dianut
oleh Plato, Hegel dan Bernard Bosanquet, sedang kelompok teori subyektif
didukung antara lain oleh Henry Home, Earl of Shaftesbury (Lord Ashley) dan
Edmund Burke. Para filsuf itu disebut juga objective aestheticiants (ahli-ahli estetik obyektif) dan subjective
aestheticians (ahli-ahli estetik sebyektif). Di antara dua kelompok yang saling
bertentangan penuh itu terdapat pendapat-pendapat campuran dan pelbagai variasi
pemikiran yang condong kepada salah satu teori.
Teori obyektif
berpendapat bahwa keindahan atau ciri-ciri yang menciptakan nilai estetis
adalah sifat (kwalita) yang memang telah melekat pada benda indah yang
bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya. Pengamatan seseorang
hanyalah menemukan atau menyingkapkan sifat-sifat indah yang sudah pada sesuatu
benda dan sama sekali tidak berpengaruh untuk mengubahnya. Yang menjadi
persoalan dalam teori ini ialah ciri-ciri khusus manakah yang membuat sesuatu
benda menjadi indah atau dianggap bernilai estetis. Salah satu jawaban yang
telah diberikan selama berabad-abad menyatakan bahwa ciri tersebut ialah
perimbangan antara bagian-bagian dalam benda indah itu. Pendapat lain dari
sebagian filsuf seni dewasa ini menjawab bahwa nilai estetis itu tercipta
dengan terpenuhinya asas-asas tertentu mengenai bentuk pada suatu benda
(khususnya karya seni yang diciptakan oleh seseorang).
Berlawanan dengan
apa yang dikemukakan oleh teori obyektif, teori subyektif menyatakan bahwa
ciri-ciri yang menciptakan keindahan pada sesuatu benda sesungguhnya tidak ada.
Yang ada hanyalah tanggapan perasaan dalam diri seseorang yang mengamati
sesuatu benda. Adanya keindahan semata-mata tergantung pada pencerapan dari
sipengamat itu. Kalaupun dinyatakan bahwa sesuatu benda mempunyai nilai
estetis, hal ini diartikan bahwa seseorang pengamat memperoleh suatu pengalaman
estetis sebagai tanggapan terhadap benda itu.
Masih ada lagi
pendapat sebagian ahli pikir yang menyatakan bahwa keindahan terletk dalam
suatu hubungan di antara sesuatu benda dengan alam pikiran seseorang yang
mengamatinya seperti misalnya yang berupa menyukai atau menikmati benda itu.
Jadi sesuatu benda mempunyai ciri tertentu dan ciri itu dengan melalui
pencerapan muncul dalam kesadaran seseorang sehingga menimbulkan rasa menyukai
atau menikmati benda itu. Teori hubungan ini pada umumnya digolongkan sebagai
teori subyektif pula walaupun kiranya tidak begitu tepat, karena hubungan itu
menyangkut keduanya baik obyek (benda) maupun subyek (pengamat). Ini mungkin
lebih tepat dianggap sebagai teori campuran.
B.
Teori
Perimbangan
Teori obyektif
memandang keindahan sebagai suatu kwalita dari benda-benda. Kwalita bagaimana
yang menyebabkan sesuatu benda disebut indah telah dijawab oleh Bansa Yunani
Kuno dengan teori perimbangan yang bertahan sejak abad 5 sebelum Masehi sampai
abad 17 di Eropa. Teori perimbangan tentang keindahan ( the proportion theory
of beauty) oleh Wladyslaw Tatarkiewicez disebut the Great Theory of Beauty
(Teori Agung tentang keindahan) atau dapt juga the Great Theory of European aesthetics
(Teori Agung mengenai estetik Eropa)
Teori agung tentang
keindahan menjelaskan bahwa :
“beaty consists in the proportion of the parts, more
precisely in the proportion and arrangement of the parts, or still more
precisely, in the size, equality, and number of the parts and their
interrelatonship.”
(keindahan terdiri dari perimbangan dari
bagian, lebih tepat perimbangan dan susunan dari bagian-bagian, lebih tepat
perimbangan dan susunan dari bagian-bagian atau lebih tepat lagi terdiri dari
ukuran, persamaan dan jumlah dan jumlah dari bagian-bagian serta
hubungan-hubungannya satu sama lain.)
Sebagai contoh dalam
arsitektur oleh orang-orang Yunani dulu dikemukakan bahwa keindahan dari sebuah
atap tercipta dari ukuran, jumlah dan susunan dari pilar-pilar yang menyangga
atap itu. Pilar-pilar itu mempunyai perimbangan
tertentu yang tepat dalam pelbagai dimensinya. Ini dapat terlihat pada
bangunan Candi Parthenon berikut dari zaman Yunani Kuno dulu.
Gambar 1 Candi Parthenon
Salah satu contoh
penerapan
teori perimbangan
dalam arsitektur
teori perimbangan
tentang keindahan dari Bangsa Yunani dulu dipahami pula dalam arti yang lebih
terbatas, yakni secara kwantitatif yang diungkapkan dengan angka-angka.
Keindahan dianggap sebagai kwalita dari benda-benda yang tersusun (yakni
mempunyai bagian-bagian). Hubungan dari bagian-bagian itu yang menciptakan
keindahan dapat dinyatakan sebagai perimbangan atau perbandingan angka-angka.
Jadi Bangsa Yunani menemukan bahwa hubungan-hubungan matematis yang cermat
sebagaimana terdapat dalam ilmu ukur dan pelbagai pengukuran proporsi ternyata
dapat diwujudkan dalam benda-benda tersusun yang indah. Bahkan Mazhab
Pythagoras yang mencetuskan teori proporsi itu menemukan bahwa macamnya ada
yang dikeluarkan oleh seutas senar tergantung pada panjangnya senar itu dan
bahwa sekumpulan sena akan menghasilkan
susunan nada yang selaras (yakni indah didengar) apabila panjangnya
masing-masing senar itu mempunyai hubungan perimbangan bilangan-bilangan yang
kecil seperti misalnya 1 : 1, 1 : 2, 2 : 3 dan seterusnya. Jadi menurut teori
proporsi keindahan terdapat dalam sesuatu benda yang bagian-bagiannya memiliki
hubungan satu sama lain sebagai bilangan-bilangan kecil. Sebagai contoh visuil
untuk perimbangan yang menyenangkan dilihat dan karenanya disebut indah oleh
Bangsa Yunani dulu ialah bentuk empat persegi dan elips yang masing-masing
mempunyai proporsi 1 : 1,6 . . . . (atau kalau dijadikan angka bulat, 3 : 5)
seperti terlihat di bawah ini. Perimbangan itu terkenal dengan golde ratio
(perbandingan keemasan). Perbandingan antara lebar dan panjang yang lebih besar
atau lebih kecil daripada bilangan tersebut di atas akan membuat bentuk itu
terlampau kurus atau memanjang dan kurang kokoh atau seimbang sehingga tidak
menyenangkan dipandang.
Gambar 2 “Perbandingan Kemasan”
Penerapan teori
proporsi menurut perbandingan keemasan
Teori keindahan yang
berdasarkan perimbangan didukung oleh para filsuf dan dipraktikkan oleh para
seniman sejak Zaman Yunani Kuno melalui
zaman Romawi, dan Abad Tengah sampai zaman modern. Teori agung itu
berkuasa dalam sejarah estetik selama 22 abad. Dalam abad 18 teori tersebut
runtuh karena desakan dari filsafat empirisme dan aliran-aliran romantik dalam
seni. Para ahli pikir mengecam keindahan yang obyektif. Bagi mereka keindahan
hanyalah kesan yang subyektif sifatnya. Keindahan itu hanya dalam alam pikiran
orang yang merenungkannya dan setiap pikiran melalui suatu keindahan yang
berbeda-beda. Para seniman romantik umumnya berpendapat bahwa keindahan
sesungguhnya tercipta dari tidak adanya ketaraturan (yang menjadi inti teori
proporsi), yakni tersusun dari daya hidup, penggambaran, kelimpahan dan
pengungkapan perasaan. Oleh karena keindahan bersifat subyektif dan relatif,
sebagian filsuf berpendapat bahwa tidaklah mungkin disusun suatu teori umum
tentang keindahan. Teori yang mungkin dicari ialah suatu teori tentang proses
bagaimana keindahan itu dialami dalam pikiran orang.
C.
Teori
Bentuk Estetis
Walaupun
kini teori obyektif tentang keindahan yang berdasarkan perimbangan tidak dapat
dipertahankan lagi karena banyak segi keindahan tidak ada hubungannya dengan
proporsi, namun sebagian ahli estetik dewasa ini tetap mempertahankan bahwa
benda-benda mempunyai suatu segi yang menyenangkan dan karenanya bernilai
estetis atau dapat disebut indah. Ini lebih-lebih untuk karya-karya seni yang
merupakan hasil ciptaan para seniman. Segi yang berhubungan dengan nilai estetis itu ialah bentuk estetis
(aesthetic form) dari benda yang bersangkutan.
Ciri-ciri
dari bentuk estetis pada umumnya, terutama yang terkandung pada karya seni yang
telah dibahas oleh ahli estetik DeWitt H. Parker, dalam bukunya The Analysis of Art. Sebuah buku lain
yang ditulisnya ialah The Principle of
Aesthetics (1920). Sarjana ini memeras ciri-ciri umum dari aesthetic form
itu sehingga menjadi 6 asas berikut :
1)
The
principle of organic unity ( Asas kesatuan utuh)
Asas ini berarti
bahwa setiap unsur dalam suatu karya seni adalah perlu bagi nilai karya itu dan karya tersebut adalahtidak
memuat unsur-unsur yang tidak perlu dan sebaliknya mengandung semua yang
diperluka. Nilai dari suatu karya sebagai keseluruhan tergantung pada hubungan
timbal-balik dari unsur-unsurnya, yakni setiap unsur memerlukan, menanggapi dan
menuntut setiap unsur lainnya. pada masa yang lampau asas ini disebut kesatuan
dalam keanekaan (unity in variety). Ini merupakan asas induk yang membawahkan
asas-asas lainnya.
2)
The
principle of theme (Asas tema)
Dalam setiap karya
seni terdapat satu (atau beberapa) ide induk atau peranan yang unggul berupa
saja (bentuk, warna, pola irama, tokoh atau makna) yang menjadi titik pemusatan
dari nilai keseluruhan karya itu. Ini menjadi kunci bagi penghargaan dan
pemahaman orang terhadap karya seni itu.
3)
The
principle of thematic variation (Asas variasi menurut tema)
Tema dari sesuatu
karya seni harus disempurnakan dan diperbagus dengan terus-menerus
mengumandangkannya. Agar tidak menimbulkan kebosanan pengungkapan tema yang
harus tetap sama itu perlu dilakukan dalam pelbagai variasi.
4)
The
principle of balance (Asas keseimbangan)
Keseimbangan adalah
kesatuan dari unsur-unsur yang berlawanan atau bertertangan. Dalam karya seni
walaupun unsur-unsurnya tampak bertentangan tapi sesungguhnya saling memerlukan
karena bersama-sama mereka menciptakan satu kebulatan. Unsur-unsur yang saling
berlawanan itu tidak perlu hal yang sama karena ini lalu menjadi kesetangkupan,
melainkan yang utama ialah kesamaan dalam nilai. Dengan kesamaan dari nilai-nilai
yang saling bertentangan terdapatlah keseimbangan secara estetis.
5)
The
principle of evolition (Asas perkembangan)
Dengan asas ini
dimaksudkan oleh Parker kesatuan dari proses yang bagian-bagian awalnya
menentukan bagian-bagian selanjutnya dan bersama-sama menciptakan suatu makna
yang menyeluruh. Jadi misalnya dalam sebuah cerita hendaknya terdapat suatu
hubungan sebab dan akibat antau rantai tali-temali yang perlu yang cirinya
pokok berupa pertumbuhan atau penghimpunan dari makna keeluruhan.
6)
The
principle of hierarchy (Asas tatajenjang)
Kalau asas-asas
variasi menurut menurut tema, keseimbangan dan perkembangan mendukung asas
utama kesatuan utuh, maka asas yang terakhir ini merupakan penyusunan khusus
dari unsur-unsur dalam asas-asas tersebut. dalam karya seni yang rumit
kadang-kadang terdapat suatu unsur yang memegang kedudukan memimpin yang
penting. Unsur ini mendukung secara tegas tema yang bersangkutan dan mempunyai
kepentingan yang jauh lebih besar daripada unsur-unsur lainnya.
Demikianlah
keenam asas di atas menurut Parker diharapkan menjadi unsur-unsur dari apa yang
dapat dinamakan suatu logika tentang bentuk estetis ( a logic of aesthetic
form).
Suatu
teori lain dikemukakan oleh Monroe Beardsley (Aesthetics : Problems in the Phylosophy
of Criticism) yang menjelaskan adanya 3 ciri yang menjadi
sifat-sifat membuat baik (indah) dari benda-benda estetis pada umumnya. Ketiga ciri
termaksud ialah :
1)
Kesatuan
(unity)
Ini berarti bahwa benda estetis itu tersusun secara baik
atau sempurna bentuknya.
2)
Kerumitan
(complexity)
Benda estetis karya seni yang
bersangkutan tidak sederhana sekali, melainkan kaya akan isi maupun unsur-unsur
yang paling berlawanan atau pun mengandung perbedaan-perbedaan yang halus.
3)
Kesungguhan
(intensity)
Suatu benda estetis yang baik harus
mempunyai suatu kwalita tertentu yang menonjol dan bukan sekedar sesuatu yang
kosong. Tak menjadi soal kwalita apa yang dikandungnya (misalnya suasana suram
atau gembira, sifat lembut atau kasar), asalkan merupakan sesuatu yang intensif
atau sungguh-sungguh.
Ketiga ciri di atas kiranya tercermin
pada contoh di bawah ini
Gambar 3 Sang Ahli Pikir (Le Penseur)
Pahatan karya Auguste Rodin (1840-1917)
Akhirnya dapat
dikemukakan dapat dikemukakan pada 4 ukuran dari Johannes Volkelt (1848-1930)
yang menjadi tanda pengenal dari karya seni yang dianggap memuaskan secara
estetis. Setiap ukuran itu menyangkut ( a ) bendanya itu sendiri, dan ( b )
segi subyektif dari pengalaman yang timbul pada sipengamat Norma-norma Volkelt
itu berbunyi demikian :
1)
A satisfying work of art
(a)Expresses harmony
of form with content, and
(b)Is emotionally
picturesque; our contemplation of it is permeated with satisfying feeling.
2)
(a)It exhibits a plenitude of human
significance, and
(b)enlarges our emotinal
life
3)
(a)It inducts us into an ideal world
of imagination, and
(b)releases us from the sense or
tension of everyday reality.
4)
(a) It presents an organic whole; and
(b) stimulates the mind to mental
synthesis.
1. Sebuah
karya seni yang memuaskan
a)
Mengungkapkan keselarasan antara
bentuk dengan isi, dan
b)
Menarik menurut perasaan; perenungan
kita terhadapnya diliputi dengan rasa puas.
2. Karya
ini
a)
Menunjukkan kekayarayaan akan hal-hal
penting yang menyangkut manusia, dan
b) Memperbesar kehidupan perasaan kita.
3. Karya
ini
a)
Membawa masuk kita ke dalam suatu
dunia khayal yang dicita-citakan, dan
b)
Membebaskan kita dari ketegangan atau
suasana realita sehari-hari.
4. Karya
ini
a)
Menjadikan suatu kebulatan yang utuh,
dan
b)
Mendorong pikiran pada perpaduan
mental.
Pendapat
Volkelt tersebut di atas merupakan sebuah teori keindahan atau nilai estetis
dari karya seni yang secara memadukan untuk estetis yang obyektif dan isi
pengalaman yang subyektif.
— Ki Slamet 42 —
Rabu, 29 Januari 2020 – 09.29 WIB
R e f e r e n s i :
The Liang Gie, GARIS BESAR ETETIK (Filsafat Keindahan)
Fakultas Fisafat Universitas Gajah Mada, Jogyakarta 1976
Tidak ada komentar:
Posting Komentar