Selasa, 28 Januari 2020

The Liang Gie : "FILSAFAT KEINDAHAN 5"

Blog Ki Slamet 42 : Guru SMPIT Annur Cimande Menulis
Rabu, 29 Januari 2020 - 09.48 WIB


I.        TEORI KEINDAHAN

A.     Tori Obyektif dan Teori Subyektif

Estetik kadang-kadang dirumuskan pula sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan teori keindahan (theory of beauty). Kalau definisi keindahan memberi tahu orang mengenali apa keindahan itu, maka teori keindahan menjelaskan bagaimana keindahan itu. Salah satu persoalan pokok dari teori keindahan ialah mengenal sifat dasar dari keindahan. Apakah keindahan merupakan sesuatu yang ada pada benda indah ataukah hanya terdapat dalam alam pikiran orang yang mengamati benda tersebut? penjelasan terhadap problim ini dalam sejarah estetik menimbulkan dua kelompok teori yang terkenal sebagai teori obyektif dan teori subyektif tentang keindahan atau nilai estetis. Kelompok teori obyektif dianut oleh Plato, Hegel dan Bernard Bosanquet, sedang kelompok teori subyektif didukung antara lain oleh Henry Home, Earl of Shaftesbury (Lord Ashley) dan Edmund Burke. Para filsuf itu disebut juga objective aestheticiants (ahli-ahli estetik obyektif) dan subjective aestheticians (ahli-ahli estetik sebyektif). Di antara dua kelompok yang saling bertentangan penuh itu terdapat pendapat-pendapat campuran dan pelbagai variasi pemikiran yang condong kepada salah satu teori.

Teori obyektif berpendapat bahwa keindahan atau ciri-ciri yang menciptakan nilai estetis adalah sifat (kwalita) yang memang telah melekat pada benda indah yang bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya. Pengamatan seseorang hanyalah menemukan atau menyingkapkan sifat-sifat indah yang sudah pada sesuatu benda dan sama sekali tidak berpengaruh untuk mengubahnya. Yang menjadi persoalan dalam teori ini ialah ciri-ciri khusus manakah yang membuat sesuatu benda menjadi indah atau dianggap bernilai estetis. Salah satu jawaban yang telah diberikan selama berabad-abad menyatakan bahwa ciri tersebut ialah perimbangan antara bagian-bagian dalam benda indah itu. Pendapat lain dari sebagian filsuf seni dewasa ini menjawab bahwa nilai estetis itu tercipta dengan terpenuhinya asas-asas tertentu mengenai bentuk pada suatu benda (khususnya karya seni yang diciptakan oleh seseorang).

Berlawanan dengan apa yang dikemukakan oleh teori obyektif, teori subyektif menyatakan bahwa ciri-ciri yang menciptakan keindahan pada sesuatu benda sesungguhnya tidak ada. Yang ada hanyalah tanggapan perasaan dalam diri seseorang yang mengamati sesuatu benda. Adanya keindahan semata-mata tergantung pada pencerapan dari sipengamat itu. Kalaupun dinyatakan bahwa sesuatu benda mempunyai nilai estetis, hal ini diartikan bahwa seseorang pengamat memperoleh suatu pengalaman estetis sebagai tanggapan terhadap benda itu.

Masih ada lagi pendapat sebagian ahli pikir yang menyatakan bahwa keindahan terletk dalam suatu hubungan di antara sesuatu benda dengan alam pikiran seseorang yang mengamatinya seperti misalnya yang berupa menyukai atau menikmati benda itu. Jadi sesuatu benda mempunyai ciri tertentu dan ciri itu dengan melalui pencerapan muncul dalam kesadaran seseorang sehingga menimbulkan rasa menyukai atau menikmati benda itu. Teori hubungan ini pada umumnya digolongkan sebagai teori subyektif pula walaupun kiranya tidak begitu tepat, karena hubungan itu menyangkut keduanya baik obyek (benda) maupun subyek (pengamat). Ini mungkin lebih tepat dianggap sebagai teori campuran.

B.     Teori Perimbangan

Teori obyektif memandang keindahan sebagai suatu kwalita dari benda-benda. Kwalita bagaimana yang menyebabkan sesuatu benda disebut indah telah dijawab oleh Bansa Yunani Kuno dengan teori perimbangan yang bertahan sejak abad 5 sebelum Masehi sampai abad 17 di Eropa. Teori perimbangan tentang keindahan ( the proportion theory of beauty) oleh Wladyslaw Tatarkiewicez disebut the Great Theory of Beauty (Teori Agung tentang keindahan) atau dapt juga the Great Theory of European aesthetics (Teori Agung mengenai estetik Eropa)

Teori agung tentang keindahan menjelaskan bahwa :
“beaty consists in the proportion of the parts, more precisely in the proportion and arrangement of the parts, or still more precisely, in the size, equality, and number of the parts and their interrelatonship.”
(keindahan terdiri dari perimbangan dari bagian, lebih tepat perimbangan dan susunan dari bagian-bagian, lebih tepat perimbangan dan susunan dari bagian-bagian atau lebih tepat lagi terdiri dari ukuran, persamaan dan jumlah dan jumlah dari bagian-bagian serta hubungan-hubungannya satu sama lain.)

Sebagai contoh dalam arsitektur oleh orang-orang Yunani dulu dikemukakan bahwa keindahan dari sebuah atap tercipta dari ukuran, jumlah dan susunan dari pilar-pilar yang menyangga atap itu. Pilar-pilar itu mempunyai perimbangan  tertentu yang tepat dalam pelbagai dimensinya. Ini dapat terlihat pada bangunan Candi Parthenon berikut dari zaman Yunani Kuno dulu.
         Gambar 1 Candi Parthenon
Salah satu contoh penerapan
teori perimbangan dalam arsitektur

teori perimbangan tentang keindahan dari Bangsa Yunani dulu dipahami pula dalam arti yang lebih terbatas, yakni secara kwantitatif yang diungkapkan dengan angka-angka. Keindahan dianggap sebagai kwalita dari benda-benda yang tersusun (yakni mempunyai bagian-bagian). Hubungan dari bagian-bagian itu yang menciptakan keindahan dapat dinyatakan sebagai perimbangan atau perbandingan angka-angka. Jadi Bangsa Yunani menemukan bahwa hubungan-hubungan matematis yang cermat sebagaimana terdapat dalam ilmu ukur dan pelbagai pengukuran proporsi ternyata dapat diwujudkan dalam benda-benda tersusun yang indah. Bahkan Mazhab Pythagoras yang mencetuskan teori proporsi itu menemukan bahwa macamnya ada yang dikeluarkan oleh seutas senar tergantung pada panjangnya senar itu dan bahwa   sekumpulan sena akan menghasilkan susunan nada yang selaras (yakni indah didengar) apabila panjangnya masing-masing senar itu mempunyai hubungan perimbangan bilangan-bilangan yang kecil seperti misalnya 1 : 1, 1 : 2, 2 : 3 dan seterusnya. Jadi menurut teori proporsi keindahan terdapat dalam sesuatu benda yang bagian-bagiannya memiliki hubungan satu sama lain sebagai bilangan-bilangan kecil. Sebagai contoh visuil untuk perimbangan yang menyenangkan dilihat dan karenanya disebut indah oleh Bangsa Yunani dulu ialah bentuk empat persegi dan elips yang masing-masing mempunyai proporsi 1 : 1,6  . . . .  (atau kalau dijadikan angka bulat, 3 : 5) seperti terlihat di bawah ini. Perimbangan itu terkenal dengan golde ratio (perbandingan keemasan). Perbandingan antara lebar dan panjang yang lebih besar atau lebih kecil daripada bilangan tersebut di atas akan membuat bentuk itu terlampau kurus atau memanjang dan kurang kokoh atau seimbang sehingga tidak menyenangkan dipandang.

Gambar 2 “Perbandingan Kemasan”
Penerapan teori proporsi menurut perbandingan keemasan

Teori keindahan yang berdasarkan perimbangan didukung oleh para filsuf dan dipraktikkan oleh para seniman sejak Zaman Yunani Kuno melalui  zaman Romawi, dan Abad Tengah sampai zaman modern. Teori agung itu berkuasa dalam sejarah estetik selama 22 abad. Dalam abad 18 teori tersebut runtuh karena desakan dari filsafat empirisme dan aliran-aliran romantik dalam seni. Para ahli pikir mengecam keindahan yang obyektif. Bagi mereka keindahan hanyalah kesan yang subyektif sifatnya. Keindahan itu hanya dalam alam pikiran orang yang merenungkannya dan setiap pikiran melalui suatu keindahan yang berbeda-beda. Para seniman romantik umumnya berpendapat bahwa keindahan sesungguhnya tercipta dari tidak adanya ketaraturan (yang menjadi inti teori proporsi), yakni tersusun dari daya hidup, penggambaran, kelimpahan dan pengungkapan perasaan. Oleh karena keindahan bersifat subyektif dan relatif, sebagian filsuf berpendapat bahwa tidaklah mungkin disusun suatu teori umum tentang keindahan. Teori yang mungkin dicari ialah suatu teori tentang proses bagaimana keindahan itu dialami dalam pikiran orang.

C.     Teori Bentuk Estetis

Walaupun kini teori obyektif tentang keindahan yang berdasarkan perimbangan tidak dapat dipertahankan lagi karena banyak segi keindahan tidak ada hubungannya dengan proporsi, namun sebagian ahli estetik dewasa ini tetap mempertahankan bahwa benda-benda mempunyai suatu segi yang menyenangkan dan karenanya bernilai estetis atau dapat disebut indah. Ini lebih-lebih untuk karya-karya seni yang merupakan hasil ciptaan para seniman. Segi yang berhubungan  dengan nilai estetis itu ialah bentuk estetis (aesthetic form) dari benda yang bersangkutan.

Ciri-ciri dari bentuk estetis pada umumnya, terutama yang terkandung pada karya seni yang telah dibahas oleh ahli estetik DeWitt H. Parker, dalam bukunya The Analysis of Art. Sebuah buku lain yang ditulisnya ialah The Principle of Aesthetics (1920). Sarjana ini memeras ciri-ciri umum dari aesthetic form itu sehingga menjadi 6 asas berikut :
1)           The principle of organic unity ( Asas kesatuan utuh)
Asas ini berarti bahwa setiap unsur dalam suatu karya seni adalah perlu bagi nilai  karya itu dan karya tersebut adalahtidak memuat unsur-unsur yang tidak perlu dan sebaliknya mengandung semua yang diperluka. Nilai dari suatu karya sebagai keseluruhan tergantung pada hubungan timbal-balik dari unsur-unsurnya, yakni setiap unsur memerlukan, menanggapi dan menuntut setiap unsur lainnya. pada masa yang lampau asas ini disebut kesatuan dalam keanekaan (unity in variety). Ini merupakan asas induk yang membawahkan asas-asas lainnya.
2)           The principle of theme (Asas tema)
Dalam setiap karya seni terdapat satu (atau beberapa) ide induk atau peranan yang unggul berupa saja (bentuk, warna, pola irama, tokoh atau makna) yang menjadi titik pemusatan dari nilai keseluruhan karya itu. Ini menjadi kunci bagi penghargaan dan pemahaman orang terhadap karya seni itu.
3)           The principle of thematic variation (Asas variasi menurut tema)
Tema dari sesuatu karya seni harus disempurnakan dan diperbagus dengan terus-menerus mengumandangkannya. Agar tidak menimbulkan kebosanan pengungkapan tema yang harus tetap sama itu perlu dilakukan dalam pelbagai variasi.
4)           The principle of balance (Asas keseimbangan)
 Keseimbangan adalah kesatuan dari unsur-unsur yang berlawanan atau bertertangan. Dalam karya seni walaupun unsur-unsurnya tampak bertentangan tapi sesungguhnya saling memerlukan karena bersama-sama mereka menciptakan satu kebulatan. Unsur-unsur yang saling berlawanan itu tidak perlu hal yang sama karena ini lalu menjadi kesetangkupan, melainkan yang utama ialah kesamaan dalam nilai. Dengan kesamaan dari nilai-nilai yang saling bertentangan terdapatlah keseimbangan secara estetis.

5)           The principle of evolition (Asas perkembangan)
Dengan asas ini dimaksudkan oleh Parker kesatuan dari proses yang bagian-bagian awalnya menentukan bagian-bagian selanjutnya dan bersama-sama menciptakan suatu makna yang menyeluruh. Jadi misalnya dalam sebuah cerita hendaknya terdapat suatu hubungan sebab dan akibat antau rantai tali-temali yang perlu yang cirinya pokok berupa pertumbuhan atau penghimpunan dari makna keeluruhan.

6)           The principle of hierarchy (Asas tatajenjang)
Kalau asas-asas variasi menurut menurut tema, keseimbangan dan perkembangan mendukung asas utama kesatuan utuh, maka asas yang terakhir ini merupakan penyusunan khusus dari unsur-unsur dalam asas-asas tersebut. dalam karya seni yang rumit kadang-kadang terdapat suatu unsur yang memegang kedudukan memimpin yang penting. Unsur ini mendukung secara tegas tema yang bersangkutan dan mempunyai kepentingan yang jauh lebih besar daripada unsur-unsur lainnya.

Demikianlah keenam asas di atas menurut Parker diharapkan menjadi unsur-unsur dari apa yang dapat dinamakan suatu logika tentang bentuk estetis ( a logic of aesthetic form).

Suatu teori lain dikemukakan oleh Monroe Beardsley (Aesthetics : Problems in the Phylosophy  of Criticism) yang menjelaskan adanya 3 ciri yang menjadi sifat-sifat membuat baik (indah) dari benda-benda estetis pada umumnya. Ketiga ciri termaksud ialah :

1)           Kesatuan (unity)
Ini berarti  bahwa benda estetis itu tersusun secara baik atau sempurna bentuknya.
2)           Kerumitan  (complexity)
Benda estetis karya seni yang bersangkutan tidak sederhana sekali, melainkan kaya akan isi maupun unsur-unsur yang paling berlawanan atau pun mengandung perbedaan-perbedaan yang halus.
3)           Kesungguhan (intensity)
Suatu benda estetis yang baik harus mempunyai suatu kwalita tertentu yang menonjol dan bukan sekedar sesuatu yang kosong. Tak menjadi soal kwalita apa yang dikandungnya (misalnya suasana suram atau gembira, sifat lembut atau kasar), asalkan merupakan sesuatu yang intensif atau sungguh-sungguh.

Ketiga ciri di atas kiranya tercermin pada contoh di bawah ini

Gambar 3 Sang Ahli Pikir (Le Penseur)
           Pahatan karya Auguste Rodin (1840-1917)

Akhirnya dapat dikemukakan dapat dikemukakan pada 4 ukuran dari Johannes Volkelt (1848-1930) yang menjadi tanda pengenal dari karya seni yang dianggap memuaskan secara estetis. Setiap ukuran itu menyangkut ( a ) bendanya itu sendiri, dan ( b ) segi subyektif dari pengalaman yang timbul pada sipengamat Norma-norma Volkelt itu berbunyi demikian :

1)           A satisfying work of art
(a)Expresses harmony of form with content, and
(b)Is emotionally picturesque; our contemplation of it is permeated with satisfying feeling.
2)           (a)It exhibits a plenitude of human significance, and
(b)enlarges our emotinal life
3)     (a)It inducts us into an ideal world of imagination, and
        (b)releases us from the sense or tension of everyday reality.
4)     (a) It presents an organic whole; and
        (b) stimulates the mind to mental synthesis.

1.      Sebuah karya seni yang memuaskan
a)            Mengungkapkan keselarasan antara bentuk dengan isi, dan
b)           Menarik menurut perasaan; perenungan kita terhadapnya diliputi dengan rasa puas.
2.      Karya ini
a)            Menunjukkan kekayarayaan akan hal-hal penting yang menyangkut manusia, dan
b)        Memperbesar kehidupan perasaan kita.
3.      Karya ini
a)            Membawa masuk kita ke dalam suatu dunia khayal yang dicita-citakan, dan
b)           Membebaskan kita dari ketegangan atau suasana realita sehari-hari.
4.      Karya ini
a)            Menjadikan suatu kebulatan yang utuh, dan
b)           Mendorong pikiran pada perpaduan mental.

Pendapat Volkelt tersebut di atas merupakan sebuah teori keindahan atau nilai estetis dari karya seni yang secara memadukan untuk estetis yang obyektif dan isi pengalaman yang subyektif.


    Ki Slamet 42  
Rabu, 29 Januari 2020 – 09.29 WIB
R e f e r e n s i :
The Liang Gie, GARIS BESAR ETETIK (Filsafat Keindahan)
Fakultas Fisafat Universitas Gajah Mada, Jogyakarta 1976





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"P U A S A" By Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayyid

http://kertasinga.blogspot.com-Senin, 05 April 2021-13:02 WIB Definisi Shiyam) 1 Shiyam dan shaum secara bahasa adalah menahan diri dari...

"KONTEN ENTRY BLOG"