Blog Ki Slamet 42: Guru SMPIT Annur Cimande Menulis
Kamis, 30 Januari 2020 - 10.26 WIB
Kamis, 30 Januari 2020 - 10.26 WIB
I.
PENGALAMAN
ESTETIS
A.
Pengertian
dan Ciri-ciri
Sesuatu benda baik
itu gejala alam maupun karya ciptaan manusia dapat disebut benda estetis
apabila memiliki nilai estetis. Dan benda itu dikatakan bernilai estetis
bilamana mempunyai kapasitas untuk menimbulkan tanggapan estetis pada diri
orang yang mengamatinya. Tanggapan estetis dalam bahasa Inggris disebut
aesthetic response. Tapi kini istilah aesthetic experience (pengalaman estetis)
lebih banyak dipakai untuk menyebut tanggapan seseorang terhadap benda yang
bernilai estetis itu. Jadi nilai estetis adalah kemampuan dari sesuatu benda
apapun untuk menimbulkan pengalaman estetis pada orang yang mengamati benda
itu.
Pengalaman estetis
dari seseorang adalah persoalan psikologis yang kini banyak pula dibahas dalam
estetik. Problem pokok yang dipersoalkan oeh ahli-ahli pikir ialah bagaimanakah
seseorang sebagai pengamat, menanggapi sesuatu benda indah atau karya seni?
Orang tidak lagi hanya membahas sifat-sifat yang merupakan kwalita dari benda
estetis itu. Terutama para ahli psikologi berusaha menguraikan dan menjelaskan
secara cermat dan lengkap semua gejala mental yang berhubungan dengan karya
seni. Yang diselidiki khususnya adalah pelbagai dorongan batin. Yang diselidiki
khususnya adalah dorongan batin, suasana kalbu, proses pengkhayalan dan
pencerapan inderawi secara terperinci yang menjadi syarat bagi terciptanya
maupun dinikmatinya karya seni itu.
Persoalan tentang
pengalaman estetis seseorang yang menikmati suatu hal yang indah seperti
misalnya pengamat dari suatu pemandangan, pendengar dari sebuah lagu dan
pembaca dari sejilid novel adalah serumit problem tentang keindahan. Pelbagai
pendapat yang saling berbeda atau bertentangan dikemukakan oleh ahli pikir,
bahkan ada pula yang berpendapat bahwa pengalaman khas yang bercorak estetis
sesungguhnya tidak ada. Suatu pendapat menyatakan bahwa pengalaman estetis
mempunyai corak seperti penyeimbangan dari dorongan-dorongan hati yang terjadi
karena menikmati suatu karya seni. Sebuah pendapat lain menganggap pengalaman
estetis sebagai suatu keselarasan dinamis dari perenungan yang menyenangkan,
dalam keselarasan itu seseorang memiliki perasan-perasaan seimbang dan tenang,
mencapai cita rasa dan sesuatu yang terakhir dan merasa hidup sesaat di
tengah-tengah kesempurnaan yang dengan senang hati ingin diperpanjangnya. Lebih
jauh lagi ada yang sampai menghubungkan saat-saat pengalaman estetis itu dengan
pandangan mistik, yakni apabila sipengamat menjadi satu dengan karya seni yang
dilihatnya, dan tak merasa adanya dirinya.
Pendapat yang banyak
dikemukakan tentang ciri-ciri pengalaman estetis menyatakan bahwa syarat yang
menentukan adanya pengalaman estetis ialah sifat tidak berkepentingan
(disinterested) dari pengamatan yang bersangkutan, yaitu pengamatan terhadap
benda estetis tanpa sesuatu tujuan apa pun di luar perbuatan pengamatan itu
sendiri. John Hospers menyebut perbuatan yang demikian itu mencerap demi
pencerapan (perceive for perceiving’s sake) atau juga pencerapan demi untuk
pencerapan itu sendiri (perceiving for its own sake) dan tidak untuk keperluan
sesuatu maksud yang lebih jauh. Pengamatan yang demikian itu terjadi
berdasarkan sikap yang bukan sikap praktis, sikap ilmiah maupun sikap
melibatkan diri. Apabila seseorang
mengamati indah dari suatu teluk dengan maksud untuk membangun hotel hotel dan memajukan pariwisata, ini adalah sikap
praktis yang bertalian dengan kegunaan dari pantai itu. Bilamana seseorang
mendengarkan sebuah lagu zaman dulu untuk diselidiki asal-usulnya dari bangsa
mana, abad berapa dan dengan alat musik apa, ini yang bertalian dengan kegunaan
dari pantai itu. Bilamana seseorang mendengarkan sebuah lagu zman dulu untuk
diselidiki asal-usulnya dari bangsa mana, abad berapa dan dengan alat musik
apa, ini merupakan sikap ilmiah yang menyangkut penambahan pengetahuan
seseorang. Akhirnya kalau seseorang membaca sebuah novel dan mempersamakan
nasibnya dengan kemalangan seseorang yang diceritakan dalam karya sastra itu,
maka ini adalah sikap melibatkan diri yang akan merintangi pengalaman estetis.
Ketiga macam sikap itu bukanlah tanggapan yang menimbulkan pengalaman estetis.
Dalam mencerap, menanggapi dan akhirnya mengalami secara estetis orang
mengarahkan perbuatannya dan mencerap apa-apa yang disajikan oleh benda estetis
yang bersangkutan. Jadi suatu pengalaman bersifat estetis bilamana dinikmati
sebagai pengalaman yang sudah lengkap dalam dirinya tanpa ada hubungan dengan
sesuatu di luarnya. Dalam hal ini pengalaman estetis lalu merupakan suatu nilai
intrinsik.
Pengalaman estetis
bukanlah sesuatu yang dengan sendirinya timbul atau mudah dipertahankan. Untuk
mendapatkannya orang harus memusatkan perhatiannya yang penuh dan kesadaran
inderawinya yang sungguh-sungguh terhadap suatu benda estetis berikut pelbagai
sifat di dalamnya dan bukan hubungan-hubungan benda itu dengan hal-hal lain di
luarnya. Terhadap hal ini terdapat banyak hambatan atau gangguan. Tiga
rintangan berupa sikap praktik, sikap ilmiah dan sikap melihatkan diri telah
disebutkan di atas. Masih ada gangguan-gangguan lainnya yang bersifat emosional
terhadap timbulnya perasaan estetis, yakni apabila pada seseorang terdapat
hasrat yang menyala-nyala untuk menikmati karya seni, kesadaran diri yang
berlebih-lebihan dalam penikmatan itu.
Pada benda estetis
sendiri, Stephen Pepper berdasarkan hampiran psikologis menyebutkan adanya dua
musuh dari pengalaman estetis, yaitu kesenadaan (monotny) dan kekacaubalauan
(confusion). Untuk mengatasi kedua faktor yang mencegah atau merusak pengalaman
estetis itu, dalam karya seni yang baik harus diusahakan adanya keanekaan
(variety) dan kesatuan (unity) yang seimbang. Minat seseorang terhadap suatu
benda estetis tidak dapat dipertahankan terus dengan pengulangan-pengulangan yang senada, karena itu harus diusahakan
keanekawarnaan. Tapi vapi variasi itu harus berdasarkan kesatuan tema, karena
keanekawarnaan yang semena-mena akan menimbulkan suasana kacaubalau. Jadi untuk
memelihara pengalaman estetis seseorang dalam menikmati sesuatu benda estetis,
faktor kesenadaan harus diimbangi dengan variasi, sedang faktor kekacaubalauan
diatasi dengan kesatuan.
B.
Teori
Pengalaman Estetis
Karena tdak puas
dengan teori-teori keindahan yang ada, ahli-ahli estetik mencari pula teori
mengenai pengalaman estetis untuk untuk menjelaskan perasaan puas atau menyenangkan yang dinikmati seseorang
bilamana mengamati suatu benda estetis. Salah satu pendapat yang sangat
terkenal dan selama puluhan tahun mempunyai pengaruh besar dalam estetik ialah
teori tentang Einfühlung. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh seorang
gurubesar Jerman Friedrich Vischer (1807-1887) dan kemudian dikembangkan
selengkapnya oleh Theodor Lipps (1851-1914) dalam bukunya berjudul Aesthetic (2 jilid).
Istilah Einfühlung
kini telah lazimditerjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi empathy .
istilah-istilah lainnya yang pernah dipakai ialah introjection,
autoprojection dan symbolic symphaty.
Einfühlung berarti keadaan merasakan diri sendiri ke dalam sesuatu hal, yakni
dari tata kerja sich einfühlen (to feel oneself into) yang artinya merasakan
diri sendiri ke dalam (sesuatu). Pada pokoknya teori Einfühlung adalah suatu
teori tentang pemancaran perasaan diri sendiri ke dalam benda estetis.
Menurut pendapat Vischer
seorang pengamat karya seni (atau benda estetis apapun) cenderung untuk
memancarkan atau memproyeksikan perasaannya ke dalam benda itu, menjelajahi
secara khayal bentuk dari benda tersebut dan dari kegiatan itu menikmati suatu
rasa menyenangkan.
Berdasarkan ide
pokok itu Lipps mengembangkan lebih lanjut secara terperinci teori Einfühlung.
Bagi Lipss proses pemancaran perasaan ke dalam suatu benda itu tidak
semata-mata bersifat subyektif yang tergantung pada si pengamat, melainkan juga
obyektif berdasarkan sifat-sifat dari karya seni yang bersangkutan. Dalam garis
besarnya teori Lipss menyatakan bahwa kegiatan estetis adalah kegiatan
seseorang yang memproyeksikan perasaannya ke dalam suatu karya seni dan dari
situ timbul suatu emosi estetis khas yang terjadi karena perasaan itu menemukan
suatu kepuasan atau kesenangan yang disebabkan oleh bentuk obyektif dari karya
seni tersebut. kegiatan pengamat itu adalah suatu aktivita psikis yang
berlangsung dalam suatu situasi psikologis, yakni seseorang berhadapan dengan
sebuah karya seni. Nilai dari tanggapan subyektif orang itu tergantung pada
kwalita obyektif dari benda estetis yang ersangkutan.
Dalam buku E.F.
Carrit (The Theory of Beauty) inti
teori Lipss itu dirumuskan sebagai berikut :
“Aesthetic pleasure is an enjoyment of our own activity
in an object. This statement, apparently a contradiction in terms, is explained
to mean that we enjoy ourselves as objectfied, or enjoy an object so far as we
live in it.”
( “Kesenangan estetis adalah suatu
penikmatan dari kegiatan kita sendiri di
dalam suatu benda. Pernyataan ini yang kelihatannya merupakan
suatu pertentangan dalam kata-kata, sebagaimana diterangkan berarti bahwa kita
menikmati diri kita sendiri bilamana diobyektifkan, atau menikmati suatu benda
sejauh kita hidup di dalamnya.”)
Dalil tentang
kesenangan estetis tersebut di atas dapatlah dijelaskan dengan contoh-contoh
yang berikut. Apabila seseorang mengamati sebuah tiang yang besar dan kokoh
dari suatu gedung dan memancarkan perasaannya ke dalam tiang itu sehingga
seolah-olah hidup di dalamnya, maka ia akan merasakan bahwa dirinya juga besar
dan kokoh serta menikmati rasa senang sebagai pengalaman estetisnya. Contoh
lain bilamana seseorang memproyeksikan dirinya ke dalam perahu dan nelayan yang
sedang diombang-ambingkan oleh gelombang besar seperti terlihat misalnya pada
karya seni ukiran kayu yang diberi judul “Ombak Besar” karya Katsushika Hokusai
(1760 – 1840) di bawah ini. Ia juga lalu
merasakan bahaya yang mengamuk, ketegangan batin dan rasa takut yang
berlangsung. Perasaan simpatinya terhadap kemalangan para nelayan itu
menimbulkan kesenangan estetis yang bersumber pada Einfühlung
Gambar 4 “Ombak Besar”
Ukiran kayu berwarna karya Katsushika
Hokusai (1760-1840)
Teori Einfühlung
atau emphaty itu dalam perkembangan selanjutnya mempunyai variasi penjelasan
dari bebeberapa ahli estetik lain. Misalnya ada penjelasan dari beberapa ahli
estetik lain. Misalnya ada penjelasan bahwa benda estetis yang memenuhi
asas-asas perimbangan dan kesetangkupan umumnya disukai orang karena dianggap
indah, tapi sebaliknya bentuk-bentuk yang tak seimbang atau tak pasti akan
menimbulkan perasaan tegang atau tekanan kebingungan dalam diri seseorang
karenanya dianggap tidak menyenangkan. Dalam sebuah buku istilah empatthy
diberi batasan sebagai “the emotional
identification of one’s self with the perceived objects” (penyamaan diri
sendiri secara emosionil dengan benda-benda yang dicerap.)
Sebuah teori lain
yang namanya dan penjelasannya berlawanan dengan teori tentang pemancaran diri
ke dalam benda ialah teori tentang jarak psikis ( psychical distance) dari
Edward Bullough dalam tulisannya “Psychical
Distance as a Factor in Art and
Aesthetic Principle”. Dengan mempergunakan pula metode intropeksi dari
psikologi (yakni pengamatan diri dengan jalan merenungkan pengalaman-pengalaman
sendiri ). Bullough berpendapat bahwa untuk menumbuhkan pengalaman yang
berhubungan dengan seni orang justru harus menciptakan jarak psikiss di antara
dirinya dengan hal-hal apa pun yang dapat mempengaruhi dirinya itu. Hal-hal
yang dapat mempengruhi diri seseorang misalnya ialah segi-segi kegunaan dari
sesuatu benda untuk keperluan atau tujuan orang itu. Kebutuhan dan tujuan
praktis itu harus dikeluarkan agar perenungan dan tinjauan seseorang secara
estetis terhadap bendanya itu semata-mata menjadi mungkin. Dalam kata-kata
Bullough jarak psikis itu mempunyai peranan rangkap yang berikut :
“The working of Distance is, accordingly, not simple,
but highly complex. It has a negative, inhibitory aspect – the cutting –
out of the practcal sides of things and
of our practical attitude to them – and a positive side – the elaboration of
the experience on the new basis created by the inhibitory action of distance.”
( Bekerjanya Jarak itu tidaklah sederhana
melainkan sangat rumit. Ini mempunyai segi negatif yang merintangi – yaitu
peniadaan segi-segi praktis dari benda-benda dan sikap praktis kita terhadap
benda-benda itu – dan suatu segi positif – yakni penyempurnaan terhadap pengalaman
berdasarkan landasan baru yang diciptakan oleh tindakan peniadaan dari jarak
itu).
Menurut Bullough psychical
distance itu dapt dianggap sebagai salah satu ciri pokok dari kesadaran
estetis. Kesadaran ini ialah sikap mental terhadap dan tinjauan yang khusus
mengenai pengalaman yang memperoleh pengungkapanya yang paling subur dalam
pelbagai bentuk seni.
— Ki Slamet 42 —
Kamis, 30 Januari 2020 – 08.48 WIB
R e f e r e n s i :
The Liang Gie, GARIS BESAR ETETIK (Filsafat Keindahan)
Fakultas Fisafat Universitas Gajah Mada, Jogyakarta 1976
Tidak ada komentar:
Posting Komentar