Blog Ki Slamet 42: Guru SMPIT Annur Cimande Menulis
Sabtu, 21 Maret 2020 - 05.25 WIB
Sabtu, 21 Maret 2020 - 05.25 WIB
6.
Acara
Resital
Acara hidangan atau program ini seringkali penting
kedudukannya di dalam memberi penilaian, sampai di manakah kemampuan seorang
solis dalam menghadapi publik. Publik yang musikal, sebelum mengunjungi suatu
resital, tentu ingin mengetahui buah-buah musik apa saja yang akan dihidangkan.
Dengan membaca programnya saja sepintas lalu, orang akan sudah dapat menduga,
apakah resital itu akan menarik atau tidak. Di dalam menyusun suatu progranma,
pemain biasanya mengerjakan isi acaranya itu sedemikian rupa, agar publik dapat
menilai kemampuan dan citarasa musiknya.
Pada umumnya, dalam programa pemain diberi waktu
kira-kira sepuluh menit seperempat jam untuk mengaso. Buah-buah musik yang
berat biasanyadtempatkan sebelum waktu istirahat, sedangkan nomor-nomor sesudah
istirahat diisi dengan musik yang sifatnya tidak begitu berat. Titikberatnya
lebih diberikan kepada nomor-nomor yang secara teknisyang secara teknis
menarik.virtuositas dapat diperlihatkan sesudah waktu istirahat.
Sudah menjadi kebiasaan, bahwa publik minta tambahan
hidangan sesudah nomor dalam acara dimainkan. Minta “encore”. ( baca: “angkor”,
dari bahasa Perancis yang berarti “lagi” ).
Biasanya, ada juga yang berteriak: “bis,
bis, bis!” maksudnya minta diulangi. Membacanya
bukan seperti kita meanggil bis angkutan penumpang, melainkan, “biis, biis, biis”.
Maka dari itu, selain nomor-nomor yang tercantum dalam
programa, seorang solis harus pula menyediakan beberapa buah nomor lagi, cukup
yang pendek saja, akan tetapi yang mempesonakan agar memenuhi harapan publik
akan “encore”. Biasanya lagu-lagu
tambahan penuh dengan permainan-permainan dengan teknik yang sukar. Akan tetapi
oleh solis harus dapat dikerjakan seperti mudah sekali memainkannya.
Di sinilah biasanya letak daya tarik untuk publik.
Sedikit “show” (pamer!) tidak akan mengurangi
mutu permainan. Jangan dilupakan, bahwa solis harus menghidangkan semua nomor
itu “di luar kepala”. Tidak boleh membaca. Hanya pengiringnya saja, yang
memainkan piano, boleh membaca dari buku.
7. Permainan
Solistis Dalam Orkes
Adakalanya permainan solistis diperlukan
dalam suatu orkes. Umpamanya permainan dalam orkes yang disebut “orkes kamar”. Atau dalam memainkan
ssebuah konserto, yaitu buah musik
untuk seorang solis yang diiringi sebuah orkes simponi. Dengan sendirinya,
seorang solis harus memenuhi syarat-syarat teknis serta musikal yang lebih
berat daripada seorang pemain biasa dalam orkes simponi.
Bagian yang dimainkan solis disusun oleh
komponis sedemikian rupa, sehingga bagian itu seakan-akan merupakan suatu jalan
yang jelas kelihatan menerobos suatu hutan yang lebat. Permainan solis dapat
diumpamakan jalan itu. Hutannya adalah permainan orkes simponi yang
mengiringinya dalam sebuah konserto.
Perhatian publik khuusnya tentu ditujukan ke
arah permainan solis. Memang solislah yang dalam sebuah konserto dikemukakan.
Dengan sendirinya hanya permain-permain nomor wahid sajalah yang dapat memegang
peranan sebagai solis. Sedikit saja permainan solis kurang cermat, kekurangcermatannya
itu akan mudah terdengar. Padahal, publik tidak begitu terganggu
pendengarannya, kalau misalnya salah
seorang dari antara begitu banyak pemain biola dalam sebuah orkes imponi
melakukan kesalahan sedikit. Hal ini tentu tidak berlaku untuk pemain hobo, seruling atau korno. Di dalam suatu
orkes simponi, seorang pemain hobo atau seruling atau korno, kalau membuat
kesalahan, lebih mudah diketahui. Oleh karena warna suara alat-alat tersebut
memang agak mandiri. Yang paling baik tentunya, pemain hendaknya jangan membuat
kesalahan samasekali. Maka dari itu, berlatih terus-menerus diperlukan,
sehingga nantinya takan membuat kesalahan sedikit pun.
Pemain-pemain untuk musik kamar, yang
terdiri dari ansambel kecil, seperti kwartet gesek, piano-trio dan sebagainya,
masing-masing perlu merupakan pemain-pemain yang slistis pula. Sebab meskipun
main dalam hubungan orkes, permainannya satu per satu kedengaran jelas.
Sebuah orkes simponi, yang dimainkan dengan
puluhan pemain musik, memerlukan seorang dirigen, yang berfungsi sebagai
jurubicara komponis yang ciptaannya sedang dimainkan oleh orkes simponi itu. Sebaliknya
musik kamar tidak memerlukan dirigen seperti itu. Pimpinan permainan biasanya
diletakkan pada pundak pemain biola pertama, kalau ada dimainkan biola. Ini
tidak selalu demikian. Dari sejumlah pemain musik kamar, biasanya yang tertua
dan yang paling berpengalamanlah yang ditunnjuk sebagai pemimpinnya, atau
pemain yang dianggap paling pintar.
Di dalam sebuah orkes simponi pun, biasanya
pemain biola pertama yang paling berpengalaman dan paling berpengalaman dan paling
baiklah yang menjadi apa yang disebut consert-master,
pengetua konser. Tempat duduknya, dalam orkes, selalu dekat dengan tempat
dirigen berdiri. Di sebelah kiri dirigen kalau orkes sedang bermain.
Consert-masterlah yang bertugas
menjaga adanya kesatuan dan tata-tertib di antara anggota-anggota orkes. Dia
adalah orang kedua sesudah dirigen. Dia punserinkali mengatur latihan
sehari-hari, yang membagi para pemain dalam seksi-seksi. Ada seksi tiup, seksi
gesek dan lain-lain, yang berlatih sendiri-sendiri. Kalau semua seksi sudah
merasa menguasai apa yang kan dihidangkan, biasanya barulah semuanya berlatih
di bawah dirigen. Consert-master,
praktis adalah juga penghubung antara anggota-anggota dan dirigen.
Sesudah mengadakan hidangan konser, dirigen
mengucapkan selamat kepada concert-master dengan berjabatan tangan. Dan
concert-master sebaliknya, memberi ucapan selamat kepada dirigen. Ini termasuk
suatu kode etik dalam dunia kehidupan musik. Juga untuk publik kelihatannya
bagus sekali. Ditambah lafi dengan kebiasaan dirigen untuk dengan isyarat
tangan menunjuk kepada pemain orkes, kalau ada tepuk tangan. Seperti mau
menjelaskan, bahwa tepuk tangan ini seharusnya ditujukan kepada para pemain!
Segala sesuatunya memberi kesan adanya suatu kerjasama yang erat antara semua
artis menurut fungsinya masing-masing dalam orkes.
Publik yang menyaksikan peristiwa itu, tak
mengetahui prestasi concert-master karena tidak pula kedengaran atau kelihatan,
lain halnya misalnya denganfungsi seorang solis dalam suatu konserto yang
diiringi oleh orkes simponi.
Sesudah publik bertepuk tangan menandakan
kepuasannya terhadap permainan solis, jabatan tangan antara dirigen dan solis
terjadi pula. Akan tetapi berlainan antara berjabatan tangan antara dirigen dan
concert-master; prestasi solis dapat didengar, sedangkan prestasi
concert-master, hanya dirigenlah yang mengetahuinya.
Siapa di sini sebetulnya yang mendapat tepuk
tangan? Dirigenkah atau soliskah? Sebetulnya kedua-duanya. Dirigen karena
mengusahakan adanya perpaduan permainan antara orkes dan solis. Dan solis
karena prestasinya prestasinya sendiri. Seorang solis yang baik dan tahu diri
tentu akan menganggap dirinya sebagai seorang yang harus dihormatinya.
8. Hubungan
Pemain Misik dan Komposisi
Bahan untuk pemain musik dalam latihan atau
hidangan publik adalah buah ciptaan komponis atau juga buah ciptaannya sendiri,
kalau pemain itu sendiri juga komponis. Akan tetapi yang tersebut belakangan
ini jarang ada. Karena itu, kebanyakan pemain menghidangkan ciptaan orang lain.
Di manakah letak perbedaan antara pemain A dan pemain B, seandainya
kedua-duanya harus memainkan buah ciptaan yang sama? Justru di sinilah
ketinggian mutu seorang pemain harus kita cari. Sekarang mari kita tinjau
komposisi yang tertulis tadi.
Komposisi tertulis terdiri dari catatan
nada-nada yang disebut titinada. Komponis
dapat menulis titinada menurut tinggi nada masing-masing. Tinggi tiap-tiap nada
yang dicatat oleh komponis oleh pemain tidak boleh ditawar-tawar. Kalau
komponis mencatata titinada yang tingginadanya berturut-turut c, e, g, pemain tidak boleh memainkan
titinada lain selain daripada c-e-g itu juga.
Memang tinggi nada adalah suatu sifat yang
penting, kalau tidak yang terpenting, dari suatu nada musikal. Mengapa kita harus
menyebutnya nada musikal? Oleh karena
tidak semua nada yang terdengar oleh telinga kita dipakai untuk nada dalam
musik. Menurut “ilmu akutiska”
musikal, yaitu suatu cabang ilmu yang menyelidiki soal nada musikal, yaitu
suatu cabang ilmu yang menyelidiki soal nada musikal, suara yang terdengar oleh
telinga manusia adalah suara yang mempunyai getaran sebanyak 16 sampai 16.000
kali per getik. Atau suara yang mempunyai
frekuensi antara 16 dan
16.000. yang dipakai untuk keperluan musik berkisar di antara nada-nada dengan frekuensi 32 dan 4000. Di
luar jelajahan suara itu, nada-nadanya sudah tidak dapat lagi dinikmati sebagai
nada musikal.
Nada musikal, selain mempunyai ketinggian
tertentu, masih memiliki tiga sifat lagi dalam musik. Yaitu, lamanya nada berlangsung berlangsung,
kekerasannya dan warnanya. Jadi,
keempat sifat nada musikal;
1.
Tingginya,
2.
Lamanya
berlangsung,
3.
Kekerasannya,
dan
4.
Warnanya.
Sifat-sifat
ini dapat ditulis oleh komponis.
Metronome |
Tinggi
nada, oleh
komponis dapat ditetapkan secara tepat. Juga untuk lamanya nada-nada berlangsung ada tanda-tandanya, yang memberi
isyarat lamanya berlangsung di dalam hubungannya dengan nada-nada lain.
Lagipula dia dapat memberi tanda di atas komposisinya, umpamanya M.M. ᖱ = 40. Artinya,
bahwa lama berlangsungnya nada dengan nilai (ᖱ) adalah 1/40 menit. M.M. adalah singkatan
dari Maelzel’s Metronome. Maelzel ialah
nama orang yang menemukan alat pengukur tempo yang disebut Metronome seperti pada contoh gambar beriku ᗔ
Akan tetapi, seorang pemain musik akan
menjadi sebuah otomat belaka, kalau di dalam memainkan sebuah komposisi dia
harus mengikuti tempo menurut menurut metronome setepat mungkin. Dan itu tentu
saja bukan maksud si sang komponis. Komponis hanya memberi isyarat, agar kompoosisinya
jangan dimainkan terlampau cepat atau terlampaulambat. Jadi si pemain musik
sebetulnya tidak begitu terikat pada tempo yang diisyratkan oleh si komponis.
Komponis juga dapat memberi tanda lain untuk
tempo. Yaitu dengan mempergunakan istilah-istilah yang sudah lazim, seperti: Presto (cepat ),
moderato ( sedang ), lento (
sedang ), dan lain-lain lagi, yang
dapat pembaca temukan sendiri dalam buku-buku teori musik. Belakangan ini
banyak komposisi yang diberi tanda tempo dalam bahsa komponis sendiri. Kalau
kita yang menjadi komponisnya, ya kita pergunakan petunjuk-petunjuk seperti: cepat, cepat sekali, lambat sekali, dan
sebagainya. beberapa cepat dan berapa lambat, itu terserah pada pemain.
Memang betul dalam dunia musik diatonis ada
kebiasaan, bahwa istilah-istilah untuk tempo itu mempunyai kecepatan tempo yang
sudah ditentukan. Meskipun demikian, sekali lagi, segala sesuatu tentu tidak
boleh mengikat pemain secara mutlak.
Selanjutnya, ada juga tanda-tanda yang
dipergunakan komponis untuk menetapkan kekuatan
nada. Yaitu nada keras, keras sekali,
lemah, lemah sekali, bertambah kekerasannya, berkurang kekerasannya dan
seterusnya. Tanda-tanda untuk mengisyaratkan kekuatan nada-nada ini disebut
disebut tanda-tanda dinamik, misalnya:
piano = lemah, pianisimo = lemah sekali, forto
= kuat, fortissmo= kuat sekali, crescendo = makin lama makin kuat, descescendo = makin lama makin melemah,
dan masih beberapa lagi. Akan tetapi berapa persis kuatnya nada yang harus
dimainkan, tidaklah dapat ditulis dengan tepat. Keras atau tidaknya, dan berapa
lemahnya, itu semua terserah pada citarasa si pemain sendiri.
Mengenai warna
nada yang dimaksud oleh komponis,
ini oleh pemain sedapat mungkin harus dikuti secara mutlak, agar mendekati
aspirasi komponisnya. Kalau sebuah melodi ditetapkan untuk dimainkan dengan
biola dan korno, itu sudah jelas demikian
maksud komposisinya.
Dari uraian tadi ternyata, bahwa dalam
tulisan musik hasil ciptaan seorang komponis, dalam komposisinya ada
unsur-unsur yang harus mutlak diikuti oleh pemain, dan ada pula unsur-unsur
lain yang tidak dapat dengan tepat betul ditulis oleh komponis. Mengenai
unsur-unsur belakangan ini, citarasa pemain yang menetapkan sampai
seberapa-jauhkah isyarat-isyarat komponis itu disuarakan.
Unsur-unsur yang tidak dapat ditawar-tawar
lagi di dalam menyuarakan tulisan sesuatu ciptaan musik, disebut unsur-unsur
yang konstuktip atau unsur-unsur yang
mutlak. Unur-unsur lain yang memberi
kebebasan terbatas epada si pemain di dalam menyuarakannya, dinamakan
unsur-unsur dekoratip.
Seorang pemain terikat secara mutlak pada
unsur-unsur yang konstruktip dalam komposisi, sedangkan unsur-unsur yang
bersifat dekoratip memberikan kepada pemain kesempatan untuk sedikit banyak
menyatakan sedikt banyak menyatakan citarasa musiknya sendiri. Justru di dalam
kebebasan yang diberikan kepada seorang pemain dalam menghidangkan suatu
komposisi itulah terletak sebagian besar nilai artistik permainannya.
Pemain tidak menghidangkan suatu
komposisipersis sebagaimana tertulis seperti mesin, sehingga permainannya lebih
merupakan rentetan nada yang mengisi ketengan udara belaka. Sebagaimana kita
seringkali dalam suatu keluarga diberi pameran “bagaimana si kecil Anu itu baru
belajar berapa bulan saja sudah bisa bermain piano!” oleh nyonya rumah yang
kita dengarkan itu tentunya tidak lebih daripada beberapa nada yang tertulis
dalam buku musik yang dibunyikan berturut-turut , sehingga dalam pendengaran
kita, buah musik komponis yang dimainkannya hanya merupakan jumlah nada-nada
belaka. Padahal maksud seorang komponis dengan ciptaannya, ialah ia ingin
menyatakan bahwa komposisinya itu lebih dripada nada-nadanya saja.
Adalah tugas pemain untuk memperdengarkan
kelebihan ini. kelebihan ini dapat dihidangkan dengan kwalitas nada yang hidup,
dengan perlakuan suatu rentetan nada menjadi suatu kalimat yang berarti, yang
berkesan dan dengan cara-cara lain lagi yang tidak ternilai banyaknya.
Bagaimanakah sikap kepribadian musikal
pemain yang dihadapkan pada kepribadian komponis, kalau ciptaannya
dimainkan?apakah seorang pemain harus melepaskan kepribadiannya sendiri di
dalam menghadapi kepribadian komponis?
Tentu tidak perlu demikian, sebab kalau
betul demikian, nanti suatu komposisi oleh semua pemain penghidangannya
diarahkan agar satu sama lain sama. Di dalam mengetengahkan kepribadian
sendiri, pemain sudah dibatasi permainannya dengan syarat-syarat mutlak seperti
yang diterangkan tadi.
Di dalam mempelajari suatu komposisi untuk
latihan, pemain mencoba mengetahui ide komponis melalui tulisan musiknya.
Tulisan musik tidak cukup sempurna untuk dapat menuliskan semua yang ingin
dinyatakan oleh komponis. Pemain harus mencoba menemukan, apakah yang
menggerakkan si komponis menulis komposisinya sebagaimana tertulis di depan
matanya. Mencoba meraba ke suasana artistik yang menggerakkan komponis membuat
ciptaannya.
Dengan cara demikian pemain mencoba
mengetahui peristiwa berlangsungnya kekuatan-kekuatan yang telah menggerakkan
komponis untuk mencipta musik demikian. Kalau ini udah dapat didekati, dengan
rasa gembira pemain akan mulai dengan latihan-latihannya dengan harapan, bahwa
publik akan menghargai ”penciptaan kembali”sesuatu komponis, di mana pemain
menjadi perantaranya, malahan jurubicaranya. Demikianlah cara kerja pemain
dalam menghadapi ciptaan-ciptaan yang padat berisi.
Kalau pemain yang satu mendapatkan semangat
kerjanya dengan mencoba mengetahui motip-motip yang terpendam dalam suatu ciptaan,
maka pemain yang lain mungkin akan cenderung ke arah menguasai
kesulitan-kesulitan teknis ciptaan, yang diharapkan nanti akan mempesonakan
publik. Ini pun bisa merupakan
kegembiraan kerja pada pemain-pemain tertentu. Dan berlatihlah ia
terus-menerus dengan semangat.
Orang kebanyakan tidak menyadari, bahwa
latihan merupakan suatu usaha yang vital untuk menjaga, agar kita terus-menerus
berada “dalam kondisi”. Seorang instrumentalis atau vkali tidak pernah dapat
meninggalkan kebiasaan berlatih ini untuk waktu yang agak lama. Oleh karena
itu,
seorang instrumentalis tidak dapat beristirahat agak lama ke tempat lain
misalnya, tanpa membawa alat musiknya, supaya dapat berlatih terus.
Seorang pemain klarinet yang tidak berlatih
kira-kira sepuluh hari lamanya misalnya, sudah akan merasa terbelakang, kalau
dia mulai dengan latihan-latihannya kembali. Berlatih itu tidak berarti, bahwa
dia hanya berlatih memainkan ciptaan-ciptaan yang disenanginya saja.
latihan-latihannya “Etuden”, artinya
buah-buah musik khusus untuk latihan. Kesukaran-kesukaran teknis dalam menyanyi
atau meainkan alat tidak boleh menjadi halangan bagi pemain bagi pengisian
emosi serta aspirasi musikal dalam hidangan-hidangannya.
Sampai sejauh ini uraian kita seakan-akan
hanya terfokus dengan sosok pemain yang mendapatkan sukses saja, yang
perkembangan kehidupan musiknya berlangsung secara lancar. Padahal jauh lebih
banyak jumlahnya yang tidak bahagia pemain-pemain yang digambarkan di atas
tadi.
9. Suka
Duka Seorang Pemain
Seorang pemain musik mendapatkan mendapatkan
kebahagiaan dalam suatu masyarakat , kalau masyarakat itu sendiri memberinya
kesempatan atau kelonggaran bekerja. Kota yang dilihat dari sudut perkembangan
kebudayaan dianggap penting, biasanya mempunyai suatu tempat masyarakat
berkumpul untuk mengadakan kegiatan kebudayaan. Umpamanya tempat untuk
mengadakan kegiatan-kegiatan tari, drama, rupa dan musik. Biasanya untuk
mengadakan konser, ada dibuatnya gedung tersendiri, yang pembuatannya serta
pemeliraannya diselenggarakan oleh pemerintah daerah setempat.
Agar perkembangan kebudayaan tetap menarik
perhatian masyarakat, tiap-tiap pemerintah daerah biasanya memberi bantuan
keuangan atau lain-lain yang berupa
materi, sebagian atau seluruhnya, kepada orkes simponi di daerahnya
kelangsungan hidupnya tidak terganggu.
Pada umumnya, tidak ada suatu orkes simponi,
sebagai suatu lembaga pembawa kebudayaan, dapat hidup dengan ongkos sendiri.
Yaitu dari keuntungan-keuntungan finansial yang didapatkan dari uang masuk
minus ongkos-ongkos untuk menghidupi orkes. Ongkos pemeliharaan gedung,
mebiler, alat-alat musik, hnorarium artis-artisnya terlalu banyak.
Meskipun demikian, adanya sebuah orkes
simponi yang besar menandakan adanya kesadaran yang besar pula dari pemerintah
daerah serta penduduknya akan perlunya suatu kehidupan kebudayaan lewat musik
sebagai suatu faktor stabilisasi peradaban bangsa. Manusia beradab akan
tergores hati kebudayaannya , kalau dia dapat menyaksikan begitu banyak
artis-artis berkumpul, bekerja keras untuk bersama-sama membawakan suatu karya
seniman kreatip. Publik yang cinta musik akan terharu oleh karena. Masyarakat
yang menyaksikannya akan melihat hari depannya dengan lebih banyak kepercayaan
akan sifat-sifat baik manusia.
Kalau ada kehidupan musik demikian dalam
masyarakat, manusia-manusia yang berbakat dan yang dianugerahi dengan
kepandaian (talent) akan dapat
mengisi kehidupan musik itu dengan tenaganya. Lulusan-lulusan lembaga
pendidikan musik akan lebih banyak mendapat motivasi untuk bekerja keras. Sebab
sudah kelihatan ke depan akan membawa cahaya yang menyegarkan raga dan jiwanya.
Kompetisi antar artis satu ama lain di dalam kemahiran musikalnya akan
merupakan jaminan dipertahankannya nilai-nilai tinggi dalam pernyataan
musikalitasnya. Dan ini akan sangat banyak memberi pengaruh kepada penilaian
masyarakat dan publik itu sendiri. Pemain musik dapat hidup dari hasil energi
musikalnya yang telah mendapat gemblengan begitu lama. Pemain musik profesional
akan mendapat perangsang yang sehat.
Kalau dalam masyarakat demikian sudah
memberi kelonggaran hidup untuk pemain-pemain orkes serta pemain-pemain
solisnya, hingga senantiasa dapat meningkatkan nilai aetistiknya, maka situasi
demikian itu selanjutnya akan memberi perangsang yang kuat pada peningkatan penilaian
artistik publiknya. Syarat-syarat yang diminta dari artis akan lebih
ditingkatkan.
Tentu tidak semua pemain musik selalu dapat
tertampung dalam keadaan masyarakat yang demikian itu. Di antara pemain-pemain
tentu ada juga yang dianggap kurang nilai permainannya. Ada juga yang memang
bernasib sial. Lalu, kebanyakan lari ke perguruan musik, dengan mendirikan
kursus-kursus musik. Mereka harus dapoat hidup juga dari kepandaiannya. Tidak
sedikit pula yang mencoba nasibnya dalam bidang musik populer. Bidang ini pun
membuka kemungkinan-kemungkinan baru, juga di Indonesia. Biasanya tidaklah
begitu mudah untuk merobah mental musik klasik menjadi mental musik populer.
Yang menjadi pelicin dalam merobah mental klasik ke mental populer adalah
musikalitas pemain itu sendiri.
10.
Musik
Populer
Sebagian besar masyarakat berpendapat,
musyik populer adalah musyik yang “mudah” diterima oleh kebanyakan orang dan
oleh karenanya masyarakat banyak yang menyukainya. Bukan dengan maksud agar
diresapkan keindahannya menurut ukuran-ukuran norma-norma keindahan musikal
yang tinggi, tetapi lebih condong pada sekedar untuk memberi hiburan untuk
melupakan sebentar kesibukan-kesibukan rutin, untuk memberi hiasan dan dekorasi
pada suatu kegiatan tertentu di luar musik. Umpamanya, untuk diperdengarkan pad
waktu pesta perkawinan, saat mengendarai mobil menuju ke kampung halaman saat
hari raya lebaran, dan sebagainya.
Dengan sendirinya, norma-norma daya tarik
yang diterapkan pada musik populer pun tidak perlu sama dengan norma-norma
musik untuk musik ansich. Sebaliknya, ini juga tidak berarti bahwa untuk
memainkan musik populer syarat-syarat artistik diabaikan. Malahan belakangan
ini musik populer banyak yang ditujukan ke arah kegiatan artistik yang tidak
terbayangkan sebelumnya.
Dalam kehidupan musik, musik populer
merupakan suatu bidang yang mempunyai perkembangannya itu kadang-kadang menuju
ke arah unsur-unsur yang tidak termasuk musikal, akan tetapi yang digemari
masyarakat banyak. Kadang-kadang pula yang menjurus ke arah perkembangan artistik
musikal, tapi yang masih mendapat
simpati di kalangan masyarakat banyak.
Meskipun disebut musik populer, dari
pemain-pemainnya tetap diminta syarat-syarat musikalitas. Makin tinggi nilai
musikal, makin baik. Pemain musik populer tidak begitu merasa “tegang” seperti
pemain musik seriosa. Yang dimaksud dengan “tegang” di sini, ialah suatu rasa
tekanan atau ketegangan mental, yang disebabkan antara lain oleh adanya
konsentrasi yang penuh agar dapat memainkan musiknya dengan sebaik-baiknya.
Fungsi pemain musik populer lebih banyak
ditujukan kepada mengabdi pada kegemaran publik. Makin banya seorang pemain
condong ke sikap ini, biasanya makin kurang nilai artistiknya. Sebab pemain
demikian tidak jarang menunjukkan permainannya ke arah “pertunjukan” yang tidak
termasuk musikal. Hanya untuk dapat memenuhi selera publik yang tidak artistik
akan terhibur oleh permainannya, tetapi publik yang mempunyai selera musikal
yang baik jelas akan menggeleng-gelengkan kepala.
Sebab bagaipun juga, musik populer masih
tetap musik, bukan suatu pertunjukan dagelan atau modeshow. Akan tetapi, orang
biasanya bersedia juga untuk menutup mata kalau itu hanya sedikit, bumbu
lelucon atau show yang ditambahkan pada sajian musiknya tidak kebanyakan.
Terlalu banyak tambahan unsur-unsur yang non musikal hanya menandakan, bahwa
permainannya kurang menguasai permainannya secara musikal. Akan tetapi, suatu
gejala yang menggembirakan adalah kenyataan, bahwa ada beberapa orkes populer,
yang biasa disebut band, meskipun
agota-agotanya berpakaian aneh-aneh, tapi cenderung untuk tetap menjaga selera
artistik di dalam menghidangkan permainan-permainannya. Itulah sebabnya mengapa
ada yang menganggap perlu membuat piringan hitam atau rekaman untuk
permainannya.
Rekaman untuk permainan haruslah dijuruskan
ke arah permainan yang lebih memberi tekanan pada unsur-unsur yang musikal.
Sebab dalam permainan lewat perekaman baik itu lewat piringan hitam, kaset,
playdisk, dan sebagainya, soal-soal yang visual yang bersifat show, tidak dapat
dipamerkan, padahal popularitas harus dijaga terus. Dari sini ternyata, bahwa
pembuatan perekaman merupakan salah satu unsur yang penting untuk menambah
penggarapan musikal dalam band-band populer. Karena pertunjukan unsur-unsur yang
non musikal seperti berpakaian yang aneh-aneh dan gerak-geriknya yang ingin
menarik perhatian publik hanyalah dekorasi belaka, yang secara organik tidak
ada kaitannya dengan musikalitas itu sendiri.
—KSP42—
Jumat. 20 Maret 2020 – 18.05 WIB
REFERENSI:
Sumaryo L.E.
Komponis, Pemain Musik dan Publik
Pustaka Jaya – Jakarta 1978
Tidak ada komentar:
Posting Komentar