Blog Ki Slamet 42: Guru SMPIT Annur Cimande Menulis
Rabu, 18 Maret 2020 - 16.07 WIB
Rabu, 18 Maret 2020 - 16.07 WIB
1.
Kedudukan
Pemain
Aktrasi biola |
Yang kita kita
maksudkan dengan penyajian musik di sini, ialah kegiatan memainkan musik yang
menyebabkan komposi-komposisi yang tertulis itu menjadi kenyataan. Pemain
adalah tukang memperkenalkan komponis kepada publik dan sekaligus menjadi
jurubicaranya. Dia mempunyai fungsi mengabadikan pesan musikal komponis .
padahal komponisnya sendiri kadang-kadang sudah meninggal beberapa aba
sebelumnya. Bukan main kedudukan pemain musik dalam dunia kehidupan musik.
Pemain dapat mengharumkan nama komponis dengan
permainannya yang artistik. Atau sebaliknya, dia dapat juga mencemarkan nama
komponis dengan hidangannya yang tidak artistik dan tidak musikal, dan dengan
demikian sekaligus mencemarkan namanya sendiri juga.
Seorang pemain yang baik akan menyadari dengan
sungguh-sungguh tanggung jawab yang dilimpahkan kepadanya di dalam
berbaga-macam fungsi sebagaimana tersebut di atas tadi. Dengan sendirinya tidak
sembarang orang mempunyai minat dan bakat musikal sedemikian besarnya, sehingga
mencapai kedudukan pemain atau artis seperti yang dimaksudkan itu.
Pada setiap orang mungkin ada keinginan untuk menjadi
pemain, akan tetapi kemauan, ketekunan, kerajinan, bakat serta disposisinya
belum mencukupi untuk itu. Sebab, untuk disebut artis yang baik tidak semudah
yang digambarkan orang. Risikonya terlalu berat.
Meskipun artis pemain musik yang baik tidak banyak
jumlahnya, tapi tidak sedikit pula di antaranya, yang menjadi pemain musik
hanya oleh karena mereka mencintai musik, dan bukan sebagai mata pencaharian.
Betul bakat serta disposisinya tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi
seorang artis yang baik, namun tipe pemain-pemain demikian, sebagai suatu
golongan dalam masyarakat, penting pula kedudukannya dalam pertumbuhan musik.
Mereka ini biasanya kita sebut pemain amatir.
Suatu masyarakat tanpa pemain amatir dan pencinta musik
akan kurang sempurna pertumbuhan musiknya. Kita jangan terlalu lekas meremehkan
kedudukan pemain-pemain amatir ini. Karena kadang-kadang ada juga terjadi,
bahwa seorang atau dua orang di antara para amatir itu permainan musiknya atau
menyanyinya malahan tidak kalah mutunya oleh pemain profesional.
2.
Pendidikan
Seorang Calon Artis Musik
Pada waktu kita mendengarkan permainan biola, yang
sangat mempesonakan hati kita misalnya, biasanya kita tidak sadar, bahwa
nada-nada indah yang keluar dengan mudah dari
biolanya itu, adalah hasil suah payah, ketekunan, kerajinan, semangat, bakat,
cinta, rasa pengabdian serta mungkin pula hasil studi yang tekun selama
bertahun-tahun, disertai dengan idealisme yang besar.
Untuk menjadi seorang artis musik, kita tidak cukup
hanya mempunyai minat dan bakat saja. minat dan bakat hanya baru merupakn
modal. Modal itu tidak akan berbunga, kalau kita tidak mau mengadakan studi dan
melatih keahlian serta ketrampilan teknis kita.
Studi dan latihan ketrampilan teknis ini tidak dapat
dilakukan hanya beberapa hari atau beberapa minggu saja, melainkan, basanya
bertahun-tahun. Lamanya belajar ini tergantung dari banyak faktor; Pertama-tama,
tentu adanya alat musik yang kita pilih.
Kedua, adanya penyesuaian jasmani serta jiwa
kita terhadap alat yang kita pilah. Ketiga, penggunaan yang dipakai untuk melatih diri. Keempat, ketekunan studi hingga selesai pada
tingkat tertentu.
Alat musik yang kita pilh dengan sendirinya membawa
pengaruh pada lamanya studi. Pada umumnya alat-alat musik yang memerlukan
banyak latihan jari yang rumit, paling lama pendidikannya, seperti misalnya
biola, cello, gitar, piano dan sebagainya. ditambah lagi dengan bahan
“literatur musik” yang tersedia yang ada hubungannya dengan alat musik
tertentu. Yang dimaksud dengan istilah “literatur musik” di sini, ialah semua
bahan cetakan komposisi dan notasi untuk dimainkan dan dipelajari.
Pada umumnya alat-alat musik yang sudah berabad-abad
lamanya dipergunakan dan banyak dipergunakan, seperti misalnya piano, biola dan
sebagainya, mempunyai persediaan literatur musik yang luas. Biasanya orang
bertanya: Berapa lamakah belajar musik? Pertanyaan yang bersifat umum ini tentu
tidak begitu mudah dijawab. Sebab belajar muik memang tidak akan ada
habis-habisnya. Karena itu biasanya diadakan tingkatan-tingkatan pelajaran. Ada
tingkat persiapan, tingkat lanjutan, dan tingkat artis.
Secara normal, seorang calon pemain biola atau piano
yang belajar sampai menyelesaikan tingkat tinggi, memerlukan waktu pendidikan
paling cepat sepuluh tahunan. Sebaliknya calon pemain musik mulai belajar pada
waktu masih muda sekali, umpamanya pada umur 5 atau 6 tahun. Maksudnya agar
syarat fisik sudah dapat dipenuhi sejak kecil.
Mulai belajar piano atau biola pada umumur yang agak
lanjut tidak memungkinkan urat dan tulang, mudah menyesuaikan diri dengan
syarat-syarat permainan alat yang dimaksud, sebab sudah kaku.
Lama pendidikan alat-alat tiup yang terbuat dari kayu,
seperti seruling, klarinet, hobo, fagot dan sebagainya tidak memerlukan waktu
begitu lama seperti yang diperlukanuntuk biola atau piano misalnya.untuk
alat-alat tiup, ltihan yang bersifat fisik sebagai persiapan, tidak memerlukan
waktu begitu banyak. Meskipun demikian, untuk mencapai suatu permainan alat
tiup kayu tingkat tinggi, orang toh masih memerlukan waktu paling sedikitnya 7
atau 8 tahun pelajaran.
Syarat yang penting pula untuk calon pemain alat tiup,
adalah adanya disposisi fisik serta mental untuk memainkan alat tersebut. Pertama-tama
tentu tentu syarat fisik seperti keadaan gigi, bibir serta kesehatan paru-paru.
Semudah berlatih beberapa lama, maka kita akan
mendapatkan “embouchure” (dari kata bouche
(Pr) = mulut) yang diperlukan, yaitu penyesuaian fisik mulut dapat dengan
mudah membunyikan alat tiup. Pada waktu latihan-latihan meniup permulaan ini,
bibir kita biasanya menjadi bengkak sedikit. Sesudah lebih lama berlatih,
bengkaknya baru terasa berkurang, sehingga akhirnya hilang samasekali. Anan
tetapi urat-urat dan pertulangan
sekkitar mulut serta pada paru-paru dan sekitarnya telah mengalami
penyesuaian dengan keperluan meniup.
Lamanya belajar alat tiup dari logam sedikit kurang
daripada lamanya belajar alat-alat tiup dari kayu. Kira-kira satu atau setengah
tahun lebih cepat. Ini disebabkan antara lain oleh karena mekanik untuk melatih
jari-jari lebih sederhana daripada mekanik alat tiup kayu. Lagipula literatur
musik untuk alat tiup dari logam tidak sebanyak literatur musik untuk alat-alat
yang disebut sebelumnya. Juga tidak begitu banyak buah musik yang perlu
dipelajari yang bersangkutan dengan tingkatan tekniknya. Maksudnya, untuk
pelajaran biola umpamanya, lebih banyak buah musik yang “lebih sukar” dilihat
dari sudut teknik daripada untuk trompet atau trombon.
Meskipun demikian kita tidak boleh beranggapan, bahwa
pemain trompet kedudukannya lebih rendah dari pada pemain biola. Masing-masing
pemain, apa pun yang menjadi pegangannya, mempunyai fungsinya sendiri-sendiri
dalam kehidupan artistik. Seorang pemain trompet memilih untuk mempeajari alat
itu, tidak dengan perhitungan oleh karena alat itu lebih mudah dipelajari
daripada alat musik lainnya, tapi oleh karena hatinya tertarik olehnya karena
kondisi badannya memang paling sesuai untuk alat musik yang dipilihnya itu.
Sebagai seorang solis (pemain tunggal), serang pemain trompet dapat mencapai
tingkat penghargaan yang tidak kalah dengan penghargaan yang diberikan terhadap
pemain alat-alat musik lainnya.
Ada dua cara untuk belajar musik, khususnya untuk
belajar secara privat, yaitu cara belajar
pertama adalah belajar pada seorang yang kita anggap sebagai guru. Guru
biola, guru piano, guru klarinet, atau guru alat musik lainnya. atau guru vokal
untuk melatih suara kita agar menjadi penyanyi kelak. Pada umumnya guru-guru
privat hanya memberi pelajaran praktek dengan teori seperlunya. Pelajaran
privat pada tingkat permulaan biasanya dilaksanakan untuk memberi pelajaran
kepada pemain-pemain amatir.
Cara belajar kedua, adalah masuk
sekolah musik. Akademi atau Konservatori musik. Biasanya dalam lembaga-lemabaga
seperti ini, calon-calon pemain diberi pelajaran yang sifatnya menyeluruh, yang
diperlukan untuk membentuk artis-artis yang kultural dan artistik dapat
dipertanggungjawabkan.
Lembaga-lembaga pendidikan musik ini, pada umumnya
dimaksudkan untuk mendidik calon-calon profesional. Meskipun demikian, banyak
lulusan yang tidak memilih dunia profesional sebagai bidang kehidupannya.
Biasanya wanita.
3.
Cara
Mendidik Calon Artis Musik
Pada umumnya, orang tidak mempunyai gambaran, bagaimana
sebetulnya cara mendidik calon-calon artis musik dalam lembaga-lembaga
pendidikan musik. Cara yang dipakai di tiap-tiap lembaga pendidikan musik pada
umumnya tidak sama. Tujuan pendidikan musikal antara lain yang terpenting
adalah memberi suatu kemampuan kepada calon untuk mengembangkan pendengaran
musiknya. Yaitu mendengar dan mengerti apa yang didengar. Kemudian calon harus
dapat menempatkan pendengaran mentalnya di dalam arus yang dialaminya dari
musik sebagai pernyataan seuatu.
Selanjutnya, lembaga-lembaga memberi pendidikan, baik
untuk calon-calon pemain musik, maupun untuk calon-calon komponis dan dirigen.
Malahan akhir-akhir ini, dalam beberapa lembaga ada kesempatan untuk memberi
pendidikan kepada para pendengar musik, yang tidak ingin menceburkan diri dalam
dunia penyajian artistik.
Di mana bisa, pelajaran musik diberikan secara klasikal,
yaitu serombongan calon artis sekaligus diberi pelajaran. Akan tetapi di dalam
pelajaran-pelajaran yang agak menjurus, mereka diberi pelajaran secara
perseorangan.
Mata pelajaran pada umumnya terdiri dari teori musik yang memuat latihan-latihan
pula untuk mengenal serta membiasakan diri pada notasi musik yang begitu luas
sifatnya. Kemudian mengenai penggunaan serta arti istilah-istilah musik yang
biasa dipergunakan dalam praktek, baik sebagai pencipta kelak atau sebagai
pemain musik. Pelajaran mengenai notasi dan istilah ini biasanya memakan
beberapa tahun.
Calon artis harus membiasakan diri, dengan hanya membaca
notasinya dapat menangkap wujud pernyataan musik, yang dalam hati sudah harus
dapat berbunyi. Dengan hanya melihat saja, para calon harus sudah dapat
mendengar tinggi nada-nada yang ditulis dalam kesadarannya. Pendidikan untuk
mendengar dari kesan-kesan visual ini disebut “solfeggio” . lama pelajaran ini hampir tidak ada akhirnya. Para
calon selanjutnya dilatih kesadarannya mengenai irama, melodi, harmoni,
bentuk-bentuk pernyataan serta gaya musik.
Pengetahuan tentang sejarah musik serta ilmu jiwa musik,
khususnya tentang filsafat musik yang ditimbulkan menjadi latar belakang yang
penting di dalam pendidikan kulturalnya. Pendidikan tersebut untuk mendasari
latihan teknis alat musiknya sebagai alat pernyataan kultur musik yang telah
lampau dan sekaligus merupakan alat pernyataan artistik pemainnya.
Selain daripada latihan-latihan alat musik yang
dipilihnya (disebut mata pelajaran mayor),
para calon diwajibkan pula mengikuti pelajaran apa yang biasa disebut “piano kontemporer”. Pelajaran piano
seperti ini dimaksudkan untuk melengkapi pendidikan alat musik lain yang
dipilihnya. “Piano komplementer” tidak memberi syarat untuk menjadi syarat
menjadi artis piano.
Untuk menempatkan permainan alat musik pilihannya,
misalnya biola, sebagai pembawa melodi dalam rangka harmoni harmoni yang
dimaksudkan, diperlukan pernyataan keseluruhan dari suatu komposisi lengkap
dengan suara harmoni yang mengikutinya. Untuk keperluan itu, calon pemain biola
perlu mencoba komposisinya pada piano, yang sekaligus dapat menyuarakan melodi,
irama dan harmoni komposisi.
Dengan sendirinya, calon yang memilih piano sebagai alat
musik pokok, tidak perlu lagi mendapat pelajaran piano komplementer. Ada
kalanya calon artis piano memilih alat lain juga di samping piano sebagai mata
pelajaran mayor. Dan pelajaran alat musik kedua ini disebut mata pelajaran minor (minor = kecil, mayor = besar). Alat pilihan kedua itu
tentunya bukan terdiri dari alat-alat seperti biola atau cello, yang memerlukan
teknik yang lama dan mendalam.
Tentu saja dia mempelajari alat kedua tadi paling
sedikitnya harus dengan persetujuan guru pianonya. Kesempatan itu hanya
dipertimbangkan untuk dirikan kepada mereka yang biasanya mempunyai bakat untuk
mempelajari alat kedua pilihannya secara baik dan cepat. Yang dipilih biasanya
alat tiup seperti hobo, korno, fagot. Jelasnya
adalah alat-alat musik yang jarang dipilih calon sebagai alat pokok. Karena
itu, tidakllah mengherankan kalau pemain hobo, fagot, korno dan lain-lainalat
ini dalam masyarakat jarang ditemukan, karena alat-alat tersebut dianggap tidak
begitu banyak diminta, dianggap kurang komersial. Sebaliknya dalam sebuah orkes
simponi atau orkes tiup yang menghidangkan apayang disebut “musik kamar” yaitu musik untuk ansambel
(rombongan orkes kecil yang biasanya
dimainkan dalam kamar yang tidak begitu besar seperti ruangan konser untuk
orkes simponi), alat-alat musik tadi malahan seringkali mutlak diperlukan. Oleh
karena itu, tidak jarang pemain hobo atau timpani dan alat-alat perkusi lainnya
mendapat honorarium yang agak tinggi karena jarangnya.
Pelajar main alat musik mempergunakan hampir seluruh
waktunya yang terluang untuk melatih diri. Tidak jarang diperlukan 4 jam atau
lebih sehari untuk berlatih di rumah. Segalanya itu agar dapat mengakhiri
pelajarannya dalam jangka waktu yang telah direncanakan.
Dengan mencurahkan banyak tenaga untuk latihan-latihan
musik, orang ingin mengetahui, bagaimana pendidikan musik yang bertingkat
tinggi dihubungkan dengan pelajaran umum yang harus diakhiri dengan tingkat
Sekolah Menengah Atas (SMA).
Beginilah cara yang lazim dipraktekkan di beberapa
negara yang sudah mempunyai pengalaman lama dalam pendidikan musikal. Di samping
sekolah umum seperti tingkat Skolah Dasar dan lanjutannya, diadakan sekolah
musik pada waktu sore, yang menerima murid-murid yang berbakat dan berminat
musik dari sekolah umum tadi. Murid-murid belajar pada waktu pagi di sekolah
umum dan pada sore harinya di sekolah musik. Pendidikan musik dalam
sekolah-sekolah musik sore itu dilakukan sedemikian rupa, sehingga tidak banyak
mengurangi waktu anak didik dalam mendapatkan pendidikan umum.
Selesai Sekolah Lanjuta Atas, calon musikus itu
kira-kira sudah mempunyai kepandaian praktek serta teori sedemikian rupasehingga
dapat meneruskan bakatnya pada Akademi Musik atau Konservatori Musik. Memang,
pendidikan calon artis mussik sebaiknya dimulai dari usia muda; kecuali
pendidikan vokal, yang dimulai kalau anak sudah berumur 17 tahun ke atas. Dalam
hubungan ini perlu dijelaskan, bahwa apa yang kita pelajarkan di
sekolah-sekolah umum bukanlah pendidikan vokal, melainkan peljaran bernyanyi.
Dalam peljaran menyanyi anak hanya dididik untuk dapat
menyanyikan sejumlah lagu. Sedangkan dalam pendidikan vokal yang
sungguh-sungguh diperlukan banyak latihan untuk membentuk suara, sehingga
secara teknis dapat dipergunakan untuk menyajikan lagu-lagu yang “sukar”. pendidikan vokal untuk anak-anak
di bawah umur dianggap belum waktunya. Suara anak di dalam perkembangannya
hingga pada ambang pintu kedewasaan masih berganti-ganti register suaranya.
Demikianlah secara singkat sekali suatu ikhtisar
mengenai pendidikan musik. Memang dalam pendidikan musik, yang dapat
membosankan adalah latihan-latihannya yang dijalankan secara metodologis,
kebanyakan latihan-latihan yang bersifat teknis. Latihan jari-jari, latihan
memainkan suatu bentuk melodi yang termasuk sukar. Latihan-latihan demikian
tentu lain sifatnya dengan melatih sebuah lagu misalnya. Latihan lagu pasti
lebih menyenangkan, oleh karena dengan langsung
menghasilkan sesuatu yang memang dimaksudkan.
Alangkah senangnya seseorang yang dalam waktu yang tidak
begitu lama sudah dapat memainkan lagu yang sudah dapat dinikmati, persis
seperti seorang artis saja. teman-temannya dapat dibuat kagum karenanya. Dan
tetangganya di kiri dan kan rumah mungkin sudah pula ikut menikmati
permainannya, permainan seorang “musikus”. Si pemain musik sudah besar hatinya,
kalau teman-teman dan tetangga-tetangganya menyebutnya “seniman” atau “artis”.
Keadaan seperti ini tidak jarang disalahgunakan oleh sementara guru musik yang
ingin perguruannya cepat menjadi laku.
Guru-guru musik sepertiini banyak membiarkan murid-muridnya berlatih sebanyak mungkin
lagu. Latihan-latihan untuk menambah ketrampilan teknis sedikit sekali
dikerjakan. Karena murid-muridnya memang
lebih senang berlatih senang berlatih secara demikian.
Makin lama, si murid makin lebih banyak dapat memainkan
lagu daripada meningkat ke arah penguasaan lagu-lagu yang lebih tinggi tingkat
tekniknya. Perkembangan murid-muridnya lebih bersifat kwantitatip daripada
bersifat kwalitatip. Akan tetapi tidak dapat disangkal, bahwa cara demikian –
sekali-kali – memang lebih laris dijual.
Pada waktu kita mendidik calon artis, kadang-kadang ada
juga terjadi, bahwa di antara calon-calon artis yang diberi pendidikan musiknya
secara normal, satu atau dua anak mempunyai kepandaian yang menakjubkan,
anak-anak ajaib. Pada waktu umur 5 atau 6 tahun mereka sudah luar biasa trampil
memainkan alat musik. Anak-anak luar biasa ini ini tentu saja termasuk
kekecualian. Dan biasanya timbul dalam bidang musik, senirupa atau ilmu pasti.
Keluarbiasaannya itu pada umumnya lebih menampakkan dirinya dalam bidang
teknis.
Calon-calon artis yang sudah lanjut pendidikannya,
diberi pelajaran mengenai akutiska
musikal (hukum-hukum mengenai nada-nada musikal, keterangan secara
sistematis mengenai terjadinya berbagai macam tangganada, mengenai gejala oktaf
dan sebagainya), ilmu jiwa, tentunya
juga yang ada hubungannya dengan musik, estetika
musikal, yaitu teori-teori serta norma-norma mengenai keindahan dalam
musik, dan beberapa lagi lainnya sesuai rencana lembaga pendidikan
masing-masing.
Juga menjadi suatu kebiasaan, bahwa kepada calon-calon
artis yang mengakhiri pendidikannya dengan baik sekali, diberikan kesempatan
untuk meneruskan pelajarannya di bawah asuhan artis-artis yang ternama dan berpengalaman. Tingkat pendidikan itu
biasanya disebut kelas artis, yang
hanya menerima beberapa calon pilihan saja. mereka diberi tambahan pelajaran
untuk mematangkan kepandaiannya, khususnya digodog untuk menjadi calon solis
(pemain tunggal). Dengan sendirinya, seorang solis haruss memenuhi
syarat-syarat yang ebih berat daripadaa seorang pemain orkes atau seorang guru
musik biasa.
4.
Sekilas
Mengenai Kehidupan Seorang Musikus
Calon musikus sudah meninggalkan bangku sekolahnya. Dia
sudah boleh dinamakan seorang musikus (
bukan musisi, yang mempunyai arti
jamak ). Seorang musikus selamanya tidak akan merasa, bahwa dia telah mengakhiri
pendidikannya. Belajar dan terus belajar, berlatih terus, merupakan rencana
dalam kehidupannya sebagai artis musik. Orang kadang-kadang menyebutnya “seniman musik” , malahan”pemain musik” saja. Istilah-istilah ini
dalam kesadaran masyarakat kita mempunyai tingkat atau standingnya
sendiri-sendiri.
“Artis” dan “musikus” dihubungkan dengan mereka yang
dianggap memenuhi syarat-syrat artistik, seperti seorang pemain biola tunggal
atau piano tunggal misalnya, dengan publik yang mendengarkan. Istilah “pemain
musik” adalah sebutan umum, dan dihubungkan dengan mereka yang biasa main dalam
orkes. Kadang-kadang istilah-istilah itu dipakai begitu saja, tanpa membedakan
satu sama lain. Seorang musikus
dilepaskan dalam masyarakat. Dalam permulaan kariernya, basanya dia ingin
mengadakan tour dengan menghidangkan resital ( yaitu penyajian musik secara
solistis ) untuk suatu publik yang membayar.
5.
Impresariat
Untuk keperluan itu, dia mencari seorang impresario atau sponsor. Yaitu suatu
badan atau orang yang mengurus, mengatur serta membiayai segala ongkos untuk tour itu. Hubungan dengan impresario ini
dilakukan dengan kontrak. Dalam kontrak
itu oleh kedua pihak disetujui, bahwa nanti pada tanggal sekian, pihak
artis akan menghidangkan suatu acara resital untuk publik di tempat-tempat atau
gedung-gedung yang telah ditentukan.
Sebaliknya di situ disetujui pula, impresario akan
membayar sejumlah honorarium kepada sang artis. Kalau artis musik itu sorang
pianis, dia akan mengadakan resitalnya seorang diri. Kalau dia seorang pemain
biola, dia akan mencari seorang pianis yang cocok untuk mengirinya.
Seorang impresario dengan sendirinya harus
memperhitungkan sebelumnya, apakah dengan menghidangkan artis itu di depan
publik, usahanya akan membawa keuntungan atau tidak. Atau sedikitnya tidak
rugi, atau tidak rugi terlalu banyak. Kadang-kadang impresario sanggup juga
menderita sedikit, asal dengan dihidangkannya sesuatu resital itu akan berarti
terpenuhinya harapan sebagian besar pencinta musik dalam masyarakat. Rugi
materiil, akan tetapi untung nama dan prestise.
Ini juga dapat terjadi. Dengan cara itu dia mengharapkan tumbuhnya
kepercayaan publik pada segala yang akan dihidangkannya di hari-hari yang akan
datang.
—KSP—
Selasa. 117 Maret 2020 – 15.13 WIB
REFERENSI:
Sumaryo L.E.
Komponis, Pemain Musik dan Publik
Pustaka Jaya – Jakarta 1978
Tidak ada komentar:
Posting Komentar