Minggu, 08 Maret 2020

"BIDANG PENCIPTAAN MUSIK 3" By Sumaryo L.E.

Blog Ki Slamet 42: Guru SMPIT Annur Menulis
Senin, 09 Maret 2020 - 10.30 WIB
 
Menyanyi Tro dengan membaca notasi

Fungsi notasi dalam kehidupan musik

Ki Slamet 42
Hampir semua remaja yang pernah sekolah, sedikit banyak dapat membaca notasi musik. Paling, mengerti bagaimana mempergunakannya. Yang dibiasakan dalam sekolah-sekolah umum adalah umum adalah membaca notasi musik yang mempergunakan angka ( systim solfa atau sistim Cheve ). Akhir-akhir ini, di beberapa sekolah sudah menggunakan pelajaran membaca paranada.
Sebetulnya belajar membaca notasi angka pun sama sukarnya atau sama mudahnya dengan belajar paranada. Masalahnya adalah soal kebiasaan. Orang yang dapat membaca paranada pun banyak yang kikuk menghadapi notasi angka, apalagi pada waktu memainkannya dengan alat musik.
Untuk memainkan alat musik, pada umumnya orang lebih mudah melakukannya kalau notasi dibuat dengan paranada. Sebab paranada secara teknis lebih banyak membantu para pemain alat musik untuk mengenakan nada-nada yang dibaca. Akan tetapi harus diingat, bahwa kepandaian membaca paranada belum tentu berarti orangnya musikal. Paranada hanyalah alat belaka, bukan musiknya itu sendiri. Alat yang menguntungkan dan praktis untuk mengembangkan bakat musikal seseorang. Dengan pengetahuan mengenai paranada, orang sedikit banyak dapat terjun ke dalam alam pikiran serta perasaan komponis. Sebaliknya orang yang tidak dapat membaca paranada, jangan dianggap kurang musikal daripada orang yang menguasai pengetahuan paranada.
Bahwasannya seorang yang musikal yang juga trampil membaca paranada, akan lebih cepat berkembang dalam memupuk bakat musikalnya, itu jelas. Perkenalan serta pengetahuan kehidupan musik di seluruh dunia akan lebih terbuka untuknya. Khususnya dalam menyelami apa yang terkandung dalam jiwa komponis, yang bersembunyi di belakang nada-nada dalam ciptan-ciptaannya.
Paranada sudah berabad-abad dipergunakan manusia, dengan perkembangannya melalui berbagai bentuk, sehingga sampai kepada bentuk yang sekarang ini. Dengan paranada, seorang komponis, secara musikal, ingin menyatakan secara tertulis apa yang terkandung dalam hatinya, dan sekaligus memperkenalkannya kepada masyarakat. Buah kreasinya diharapkan akan menjadi kegiatan para pemain musik, di samping menjadi obyek penikmatan musikal masyarakat.
Daya kreasi komponis dituliskan dalam bentuk paranada, meskipun tidak seluruh gelora musikalnya dapat dituliskan. Akan tetapi ciptaan musik yang ditulisnya, dalam batas-batas kemampuan segala tanda yang ada dalam paranada, diharapkan oleh komponis akan diikuti secermat mungkin oleh pemain musik sebagai hak ciptanya. Tentu saja dengan memberi kebebasan yang terbatas kepada penghidangnya. Notasinya seratus persen bersifat preskriptif. Pemain tidak tidak diberi kesempatan untuk menggunakan daya kreasinya sendiri. Pemain hanya diberi kesempatan “mencipta kembali” dengan kebebasan-kebebasan yang terbatas, sehingga hidangannya tidak menyimpang dari ide komponis.
Dalam suatu masyarakat yang mempergunakan notasi musik yang bersifat preskriptif, kreatifitas adalah memonopoli komponis. Dalam suatu masyarakat yang tidak mengenal tulisan musik yang preskriptif, atau yang tidak memiliki cara notasi musik samasekali, kreativitas lebih banyak dinyatakan oleh pemain-pemainnya. Pemain yang kreatip biasanya mencipta sebuah lagu secara improvisatoris, yang diambil alih oleh pemain-pemain lain dengan memberi hiasan-hiasan musikal menurut selera musika masing-masing. Pola komposisi yang asli biasanya tetap diperkembangkan, akan tetapi rakyat pada umumnya bebas untuk menambah atau menguranginya sesuai dengan seleranya. Pemikiran mengenai hak cipta perseorangan tidak disadari dan tidak dihiraukan. Di dalam perkembangan ciptaan demikian selanjutnya, masyarakat atau rakyat pada umumnya yang membentuk pernyataan musikal tadi. Demikianlah proses terciptanya musik rakyat. Seniman kreatip dalam masyarakat demikian adalah terutama pemain musik atau penyanyi dengan hidangan-hidangannnya yang biasanya penuh dengan tambahan hiasan-hiasan musikal disertai dengan perobahan melodi yang tidk banyak menyimpang dari pola melodi asli menurut selera tiap penyanyi.
Demikianlah pula umumnya yang kita alami dalam kehidupan musik tradisionil di Indonesia, dan mungkin di negeri-negeri Asia lainnya pun demikian pula halnya. Artis kreatip adalah terutama pemain atau penyanyi.
Musik kaeawitan Indonesia pun mengenal pula tulisan musik. Biasanya yang ditulis hanya balungannya atau tema pokoknya saja, dan tidak seluruh melodinya. Tulisan ini biasanya dikerjakan sebagai pencatatan mengenai dasar-dasar melodi yang sudah ada. Notasinya biasanya dipergunakan untuk mengingat-ingat perkembangan melodinya. Jadi, bersifat deskriptip. Akan tetapi tidak jarang pula, notasi demikian dipergunakan untuk menyajikan musik. Titinada yang dicatat sesuai dengan tema pokok lagu tetap harus diikuti, akan tetapi penyaji mempunyai kebebasan terbatas untuk ”menggarap” melodinya dengan hiasan-hiasan, yang merupakan ungkapan kreatip pemain atau penyanyi itu sendiri.
Dalam soal kebebasan mengadakan interpretasi, musik jazz lebih jelas lagi menunjukkan pemain atau penyaji Jazz sebagai artis yang kreatip. Pemain atau penyanyi Jazz lebih bebas daripada pemain Karawitan dalam menggarap melodi tertulis yang berasal dari komponi, asal tidak menyimpang dari pola harmonis yang asli.

Bentuk musik dan skema bentuk
Baik, sekarang kita pilih sebuah lagu yang sudah amat terkenal bahkan sampai ke mancanegara, “Bengawan Solo” karya sang Maestro Gesang . lagu ini mendapatkan bentuknya justru oleh karena di diciptakan. Bentuk sebagai suatu pernyataan dapat indh, kurang indah, jelek, jelek sekali dan seterusnya. Inilah yang kita maksudkan dengan bentuk tadi. Lebih jelas lagi apa yang kita maksud sebetulnya, kalau kita namakan bentuk tadi “bentuk pernyataan”. Ada juga yang menyebutnya “wujud atau “perwujudan”. Akan tetapi, ada soal lain lagi yang dalam peristilahan musik juga disebut bentuk, yaitu “pola” atau “skema” bentuk itu.
Dalam hubungan ini, kita kembali kepada contoh lagu tadi, “Bengawan Solo”. Kalau kita perhatikan lagu ini, ternyata bahwa lagu “Bengawan Solo” mengikuti polatertentu. Coba kita nyanyikan, “Bengawan Solo..., Riwayatmu ini..., Sedari dulu..., jadi..., perhatian insani . . . “
Kita mengenal kata-kata ini sebagai kalimat-kalimat bahasa, yang mempunyai arti. Sesuai dengan sebutan tadi, melodi yang dilagukan juga merupakan kalimat musik. Kalimat musik ini kita namakan “tema. Oleh karena tema itu tema pertama, kita sebut saja tema A.
Orang yang mengenal tema A ini untuk pertama kali sebagai perkenalan, biasanya ingin mengenalnya lebih dekat lagi. Oleh karena itu, tema ini untuk kedua kalinya dilagukan lagi, yaitu dari mulai “Musim Kemarau . . . . . . “
Nah, tentu pembaca akan melihat, bahwa ternyata masing-masing nada terakhir dari kedua kalimat yang sama itu, tidak serupa. Namun, kedua tema tadi “maknanya” sama. Tema ulangan yang kedua kalinya ini kita sebut juga temaa “A”. Tema A yang pertama berakhir dengan nada; sol fa sol mi. Tema A yang  kedua dengan; sol fa mi do’. Bagaimanakah sekarang perkembangan kalimat-kalimat musik ini seterusnya?
Kalau kita ulangi kalimat A tadi sekali lagi, tentu pendengarnya akan menjadi bosan. Oleh karena itu, lagu ini kita lanjutkan dengan tema lain. Tema yang sifatnya bertentangan dengan tema A tadi. Dimulai dengan kata-kata; “Mata airmu dari Solo”, melodinya berganti menduduki dasar nada yang lain, seluruhnya seperti bersifat menentang. Tema baru ini merupakan kontras terhadap tema A tadi. Iringan lagunya pun demikian, umpamanya diiringi dengan gitar, sudah bersifat lain.
Kalau tema A umpamanya menggunakan dasar iringan yang berpusat pada nada dasar C (Naturel dalam istilah populernya), maka yang merupakan kontras memakai nada dasar F (istilah populernya = 1 mol).  Tema baru ini kita namakan tema “B”. Dengan menggunakan tema B ini, orang sudah diajak menginjak ke alam lain, yang beda suasana dengan asal mulanya.
Lagunya dengan sendirinya tidak dapat berakhir di situ. Bagaimanapun sebuah melodi di dalam perkembangannya melarikan diri dari temannya yang asli, dia akhirnya akan pulang kembali ke asalnya. Kalau tidak begitu, maka ada rasa mengembara di dalam hati kita yang harus diselesaikan.
Tadi kita sudah berkenalan dengan tema pertama (tema A), yang sampai dua kali dilagukan. Kemudian kita diperkenalkan kepada tema B, yang menentang tema tema A. Kita merasa bahwa A-lah kenalan kita yang pertama dan kenalan yang utama pula, sedangkan tema B hanya merupakan kenalan sambil lalu saja. orang sekarang berada di persimpangan jalan, yang minta penyelesaian.
Untuk menjelaskan tema B ini sebagai tema kontras, maka orang lalu menutup lagunya dengan kembali ke tema A. Dimulai dengan kata-kata dari nyanyian; “Itu perahu . . . . . . “.

 Bentuk lagu yang biasa
Kita lihat sudah, bahwa lagu “Bengawan Solo” tadi melewati pola atau skema tertentu secara wajar. Pola itu :  A – A – B – B – A. Pola ini disebut “bentuk lagu”. Bentuk lagu yang sederhana ini populer sekali. Sebab merupakan bentuk musik, baik musik vokal maupun musik instrumental, untuk menyatakan perasaan-perasaan yang sederhana, yang tidak terlalu dalam. Dan tidak pula menimbulkan persoalan-persoalan kejiwaan yang terlampau rumit. Cocok untuk mencurahkan rasa lirik sambil lalu, pertentangan-pertentangan batin yang ringan, rasa sentimentil remaja yang tidak terlalu mencekam, rasa terpesona, rasa cinta selayang pandang dan sebagainya.
Hal ini mungkin boleh kita sejajarkan dengan penggunaan bentuk cerpen dalam bidang sastra. Kalimat untuk perasaan-perasaan serta persoalan-persoalan, keadaan jiwa yang meluas dan mendalam berikut akibat-akibatnya yang tragis, liris, epis atau dramatis, dalam bidang sastra pun memerlukan bentuk yang lebih luas. Misalnya bentuk roman atau novel. Demikian pula halnya dengan musik, untuk keperluan yang sama di sini pun memerlukan bentuk yang luas, seperti misalnya sonata, simponi, konserto dan lain-lain, yang biasanya dilakukan oleh pencipta-pencipta musik seriosa.
Di Indonesia, bentuk AABA ternyata banyak digunakan dalam hampir semua lagu nyanyian populer. Sampai sekarang, di negeri kita pada umumnya, yang disebut dunia penciptaan musik, kebanyakan baru berada dalam tingkat bentuk penciptaan musik untuk dinyanyikan. Ciptaan-ciptaan instrumental jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Suara instrumental sebagai suara musikal yang otonom (yang berdiri sendiri), agaknya belum mendapat “pasaran” sebagaimana mestinya.
Pembaca mungkin ada yang belum dapat membayangkan, betapa pencipta-pencipta yang sudah mempunyai nama internasional yang tinggi dapat mencapai pernyataan musikal yang luhur justru dalam ungkapan-ungkapan instrumental, tentunya di samping bentuk-bentuk vokal pula.
Pembuatan komposisi intrumental memang memerlukan suatu keahlian khusus dari pencipta. Yaitu pengetahuan tentang sifat alat musik yang dipilih untuk komposisinya. Sama saja dengan seorang penciptabuah-buah musik vokal, yang perlu mengetahuisebaik mungkin sifat suara manusia. Kalau tidak begitu, besar kemungkinan komposisinya yang dibuat untuk permainan trompet misalnya, akhirnya tidak dapat dimainkan orang. Umpamanya saja, nada-nada yang ditulisnya untuk trompet terlalu tinggi atau terlalu rendah, sehingga peniup trompet tidak sanggup memainkan komposisinya. Di sini jelas diperlukan adanya pengetahuan komponis mengenai jelajahan nada-nada yang secara normal dapat ditiup oleh manusia pada trompet. Meskipun untuk pemain-pemain yang virtuos (pemain yang sudah menguasai teknik permainan yang tinggi, pemain ulung) memang kadang-kadang dibuatkan juga komposisi-komposisi yang melebihi syarat-syarat teknis yang normal.
Akan tetapi pada umumnya, pencipta komposisi untuk trompet harus mengetahui pula kesukaran-kesukaran teknis apa saja yang biasa terdapat pada permainan trompet. Pencipta untuk trompet tentu tidak akan menulis nada-nada yang akhirnya ternyata hanya bisa dimainkan oleh pemain biola misalnya.
Biasanya pencipta komposisi untuk suatu alat tertentu, apa saja, misalnya, klarinet atau biola, adalah seorang pemain klarinet atau pemain biola sendiri. Kalau tidak demikian halnya, seringkali terjadi, bahwa seorang komponis minta bantuan seorang pemain alat musik, untuk meminta petunjuk-petunjuk yang bersifat teknis.
Akan tetapi, yang terutama diperlukan, adalah pengetahuan mengenai sifat teknis dan musikal alat-alat musik pada umumnya. Kalau tidak, bagaimana mungkin seorang komponis akan dapat membuat ciptaan untuk simponi. Suatu bentuk komposisi untuk permainan semua anggauta keluarga alat musik. Dari yang digesek, dipetik, ditiup sampai kepada alat-alat musik yang dipukul. Yang dapat dimainkan bersama oleh puluhan sampai ratusan pemain!
Betapa hebat kedengarannya! Dan betapa kejadian seperti itu merupakan suatu kegiatan manusia-manusia yang berbudaya. Puluhan sampai ratusan manusia bersusah payah sarta berkumpul untuk bersama-sama menyajikan suatu hasil seorang komponis, hanya semata-mata untuk memenuhi syarat sebagai manusia yang berbudaya.

Bentuk komposisi yang besar
Di atas, kita telah berkenalan dengan bentuk-bentuk komposisi yang kecil, yang sederhana, akan tetapi tidak kecil isi serta fungsinya. Sekarang mari kita beralih kepada pola-pola ciptaan musik yang lebih besar. Ciptaan-ciptaan yang kadang-kadang dapat kita dengar pula lewat RRI atau televisi, yang dimainkan oleh orkes simponi RRI, dan kadang-kadang juga oleh oleh orkes tamu dari mancanegara.
Juga dalam bentuk ciptaan yang besar, pencipta selalu mendasarkan vitalitas komposisinya pada adanya kontras, yaitu pertentangan-pertentangan. Persis seperti dalam pola bentuk lagu. Tanpa kontras, komposisinya tidak akan menunjukkan gaya hidup. Sama dengan sebuah lukisan, kalau tidak terdapat pertentangan-pertentangan di dalamnya, seperti pertentangan garis-garis yang melintang dan sebagainya, lukisan akan matii. Hidup itu sendiri adalah suatu kompleks pertentangan yang ada di dalamnya. Terutama pertentangan antara hidup dan mati.
Salah satu bentuk komposisi yang besar, yang sudah menjadi klasik dalam musik diatonis adalah bentuk sonata. Bentuk ini hingga sekarang masih saja dipergunakan di seluruh dunia yang musik diatonisnya telah berkembang dengan pesat. Bentuk sonata adalah khusus bentuk instrumental, yaitu untuk permainan sebuah alat musik atau beberapa alat musik. Pola sonata terdiri dari tiga buah gerak, movements dalam bahasa Inggris. Yaitu adanya contras ; gerak cepat, gerak lambat dan kembali ke gerak cepat lagi.
Bentuk ciptaan sonata biasanya dibuat untuk permainan sebuah alat musik atau lebih, akan tetapi tidak dalam jumlah yang terlalu besar. Kalau dimaksudkan untuk permainan sesuatu alat, biasanya pianolah yang dipilih. Di samping itu, ada juga ssonata untuk permainan biola, diiringi atau tidak diiringi piano. Ciptaan yang demikian disebut sonata untuk biola. Di samping itu ada sonata untuk cello, untuk hobo, komo, untuk klarinet atau alat-alat lain. Mungkin sementara pembaca ada juga yang tidak mengenal alat-alat tersebut. untuk keperluan itu mengenai berbagai-bagai alat musik akan diuraikan dengan agak lebih diperinci.
Di atas sudah diuraikan, bahwa sonata terdiri dari tiga bagian, atau tiga gerak. Bagian yang pertama biasanya yang disebut mempunyai pola sonata. Tentu saja, pola sonata dalam arti yang sempit. Disebut dalam arti yang sempit, oleh karena keseluruhannya, yaitu ketiga bagiannya pun disebut sonatajuga.
Pola bentuk sonata yang khusus itu (yaitu bagian pertama atau gerak pertama) mempunyai konstruksi berdasarkan prinsip A – B – A. Di sini kita teringat lagi kepada pola bentuk lagu. Jadi bagian pertama dari sonata itu dalam keseluruhannya sudah terdiri dari tiga bagian; A – B – A.
Bagian pertama “A” disebut pameran, atau eksposisi.
Bagian yang kedua “B” dinamakan divertimento, yaitu hiburan. Bagian “B” ini terdiri dari bagian-bagian yang diambil dari tema-tema yang dipamerkan dalam bagian A. Disadur  menurut konsepsi artistik sang pencipta sendiri, di sana-sini disambung dengan melodi yang bebas sifat-sifatnya.
Bagian ketiga, yaitu yang disebut “A” lagi, dinamakan reprise, atau juga reeksposisi, pameran ulangan. Bagian ketiga ini sebetulnya juga ulangan dari bagian pertama dan biasanya diberi bentuk variasi atau hiasan-hiasan yang bebas menurut rasa artistik penciptanya. Dalam bagian ketiga ini makna konsepsi bagian pertama harus dengan mudah dapat dikenal kembali.
Masing-masing bagian tentu terdiri dari tema-tema, yang dengan sendirinya harus merupakan kontras lagi satu sama lain. Bagian kesatu biasanya jelas merupakan permainan kontras tema-tema ini. caranya membuat kontras, biasanya tema kesatu sifatnya kuat, keras suaranya atu juga iramanya; dan tema kedua  diambil yang berkesan halus, lembut, gerak lagunya melodis sekali.
Sampai sekarang kita baru membicarakan gerak pertama saja dari suatu sonata. Gerak pertama ini pun sudah terdiri dari tiga bagian, yang masing-masingmengandung tema-tema yang bertentangan.
Gerak kedua dari sonata keseluruhannya biasanya dibuat dalam bentuk lagu. Seringkali dengan saduran-saduran atau variasi-variasi dengan mempergunakan tangganada-tangganada berlainan, yang satu sama lain masih ada hubungannya. Umpamanya tema yang pada permulaan ditetapkan dalam tangganada mayor selanjutnya diberi variasi dalam tangganada minor yang bersangkutan. Semuanya ini merupakan bagian kedua dari sonata.
Sekarang gerak ketiga. Gerak ketiga ini disebut juga finale, maksudnya; bagian terakhir  atau bagian penutup. Bentuk yang dipilih kebanyakan bentuk Rondo. Rondo andalah bentuk musik untuk mengiringi tarian.
Pembaca mungkin agak merasa sedikit sukar untuk mengikuti jalan piliran pola komposisi sonata ini. akan tetapi buat pencipta-pencipta yang berbakat, perkembangan proses penciptaan seperti diuraikan tadi tidak terasa sebagai hukum-hukum yang mengikat. Hukum-hukum atau pola-pola itu memang tidak dibuat dulu oleh suatu panitia apa pun untuk memberi petunjuk cara membuat suatu komposisi. Hukum-hukum serta kebiasaan-kebiasaan itu justru tadinya timbul secara wajar oleh karena pola-pola itu merupakan perkembangan dari bentuk-bentuk komposisi-komposisi yang sudah ada sebelumnya.
Tidak ada seorang pun komponis yang terikat secara kaku dalam mencipta sebuah sonata. Di dalam sejarah perkembangan bentuk sonata, tidak jarang kita menemukan poa-pola yang menyimpang. Apalagi dalam zaman Romantik Barat. Sama saja sebetulnya dengan pola lagu, yang dalam sejarah perkembangannya tidak selalu mempertahankan bentuk yang sudah klasik itu. Bagaimanapun juga, prinsip kontrastik yang begitu esensial dalam suatu bentuk pernyataan ini tetap dipertahankan. Yaitu prinsip konstruksi A – B – A.

Bentuk simponi
Kalau penciptaan suatu sonata sudah memberi kesan adanya daya upaya fisik serta spirituil dari komponisnya, daya upaya tadi di dalam isinya akan menjadi meluas lagi kalau kita meneliti suatu komposisi yang disebut simponi. Sebab karya simponi mempunyai bentuk seperti sonata, hanya saja sonata yang dapat dimainkan oleh semua keluarga alat-alat musik yang ada.
Dengan sendirinya dari komponis diminta adanya pengetahuan khusus mengenai semua alat musik yang dipergunakan untuk musik simponi. Terutama mengenai sifat-sifat alat musik, warna suara suatu alat musik, jelajahan suaranya, kemungkinan-kemungkinan teknis yang dapat dihasilkan oleh alat-alat itu, suatu citarasa yang baik mengenai pengetahuan perpaduan berbagai-bagai warna dari aneka alat musik, dan sebagainya.
Satu soal yang harus diperlihatkan dalam hal simponi. Kalau sonata terdiri dari tiga bagian, maka dalam hal simponi ia ditambah dengan satu bagian lagi. Jadi simponi biasanya terdiri empat bagian. Di antara bagian kedua dan bagian terakhir dari bentuk sonata, dalam simponi ditambahkan satu bagian lagi, atau disebut juga suatu gerak.
Bagian ketiga yang ditambahkan ini biasanya mengambil bentuk Minuet, suatu bentuk musik untuk mengiringi tarian Minuet. Komponis terkenal Beethoven adalah komponis pertama yang mengambil bentuk Scherzo untuk bagian ketiga ini dalam simponinya.
Istilah Minuet dan Scherzo sesungguhnya lebih ditujukan kepada suasananya daripada kepada pola komposisinya. Scherzo adalah suatu jenis musik yang memberi suasana jenaka yang bermain-main, akan tetapi tentu saja dalam rangka seriosa, yang berbeda dengan arti lucu seperti yang kita jumpai sehari-hari.
Musik simponi  oleh karena adalah suatu sonata untuk orkes. Sedangkan orkes adalah kesatuan alat-alat musik untuk dimainkan. Kesatuan itu bermacam-macam. Ada yang terutama terdiri dari alat-alat musik gesek, seperti biola, biola alto dan celo, disebut orkes gesek. Ada yang khusus terdiri dari alat-alat tiup, yang biasanya ditambah dengan alat-alat yang menghasilkan irama. Misalnya seperti tambur dan timpani. Orkes demikian disebut orkes tiup. Disebut orkes tiup. Dibsebutnya orkes fanfare. Dan, kalau orkes seperti itu dicampur dengan alat-alat yang tidak termasuk alat tiup, seperti kontrabas yang berdawai dan sebagainya, maka biasanya diberi nama orkes simponi. Kesatuan yang terdiri dari melulu gitar, seperti yang banyak kita jumpai sekarang, disebut orkes juga. Akan tetapi secara populer, orkes seperti itu sekarang disebut band, sedangkan bentuk lain yang mempergunakan alat-alat seperti piano, biola, saksofon dan trompet oleh umum malahan dinamakan orkes.
Kita perlu mengenal nama-nama berbagai macam jenis alat-alat musik dalam suatu orkes simponi agar kita mengetahui, bagaimana seorang komponis simponi itu harus berhadapan dengan berbagai soal di dalam proses penciptaannya.



—KSP—
Senin,09 Maret 2020 – 10.41 WIB
REFERENSI:
Sumaryo L.E.
Komponis, Pemain Musik dan Publik
Pustaka Jaya – Jakarta 1978
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"P U A S A" By Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayyid

http://kertasinga.blogspot.com-Senin, 05 April 2021-13:02 WIB Definisi Shiyam) 1 Shiyam dan shaum secara bahasa adalah menahan diri dari...

"KONTEN ENTRY BLOG"