Minggu, 15 Maret 2020

"BIDANG PENYAJIAN MUSIK 4" By Sumaryo L.E

Blog Ki Slamet 42: Guru SMPIT Annur Menulis
Senin, 16 Maret 2020-11.51 WIB


 S u a r a  M a n u s i a
 
Drs. Slamet Priyadi
Bicara tentang suara manusia sebagai suatu unsur dalam dunia penciptaan musik, kita perlu lebih mendekati persoalan ini. seorang komponis yang ingin membuat kreasi musik dengan mempergunakan manusia sebagai salah satu unsur musikalnya, perlu mengetahui betul mengenai suara manusia dan sifatnya. Paling sedikitnya dia harus tahu, bahwa ada perbedaan antara menggarap suara pria dan suara wanita. Dan bahwa suara-suara itu menurut jenisnya mempunyai wilayah atau jelajah suara tertentu.
Suara wanita terdiri dari suara soprano, yaitu suara wanita tertinggi. Soprano itu pun menunjukkan sifat khas masing-masing pada setiap penyanyi. Ada soprano koloratur, soprano liris, soprano dramatis, dan sebagainya.
Soprano koloratur adalah soprano yang sangat tinggi dan bersifat dinamis, banyak geraknya, sedangkan soprano yang liris tidak begitu tinggi dan gelisah. Soprano yang dramatis lebih mementingkan suara yang ekspresip, perperasaan. Soprano dramatis pun tidak begitu tinggi seperti soprano koloratur, akan tetapi warna suaranya lebih penuh, lebih mengesankan adanya sesuatu yang terjadi pada pendengarnya, ya nampak lebih ekspresip. Memang sukar sekali untuk menjelaskan tiap-tiap sifat itu dengan kata-kata. Untuk mengetahuinya, pembaca lebih baik terjun sendiri ke dalam lingkungan pendidikan musik vokal.
Istilah koloratur berasal dari kata “colour”, yaitu warna. Jadi suara yang berwarna. Suara demikian dapat dipergunakan untuk hiasan dekor sesuatu. Dan oleh karena itu, suaranya perlu mempunyai aneka warna kemungkinan secara teknis.
Suara wanita, selain daripada soprano yang tinggi, selanjutnya dibagi lagi dalam suara wanita yang rendah, yaitu jenis suara alto. Di antara suara soprano dan alto masih ada lagi suara wanita yang lain, yaitu mezzo-soprano. Suara wanita yang lebih rendah letaknya daripada alto disebut, kontra alto.
Dengan sendirinya, suara alto tidak dapat sampai pada nada tertinggi yang dapat dicapai oleh suara soprano. Sebaliknya, suara soprano sebaiknya janganlah diberi nada yang termasuk alto, di luar jelajah suara soprano itu sendiri. Seorang komponis vokal perlu memperhatikan soal wilayah jelajah suara ini, umpamanya waktu menyusun paduan suara antara soprano dan alto.
Suara pria pun mempunyai pembagian wilayah jelajah suara. Ada dua jenis suara yang pokok. Yang tinggi disebut tenor , yang rendah disebut bas. Di antara kedua jenis tersebut masih disediakan tempat untuk suara yang disebut bariton.
Sekarang, janganlah kita membuat kekeliruan-kekeliruan lagi dalam menyebut jenis suara wanita dan jenis suara pria. Meskipun  kadang-kadang masih ditemukan dalam koran atau majalah dalam hal sebutan suara-suara wanita dan pria ini. jadi, suara wanita terbagi dalam;  soprano, mezzo-soprano, alto, kontra alto. Sedangkan untuk jenis wilayah jelajah suara pria terbagi dalam; tenor, bariton dan bas. Kontra bas tidak ada.
Dalam dunia musik vokal, pembagian suara seperti tersebut di atas kiranya perlulah diperhatikan. Khususnya pada waktu seorang pencipta musik vokal membuat komposisi untuk paduan suara.
Dalam dunia musik populer sebaliknya memang ada kebiasaan untuk membuat susunan paduan suara dari suara penyanyi-penyanyi yang sukar digolongkan ke dalam suara soprano, tenor, alto dan bas. Untuk keperluan itu, biasanya ditempuh suatu kebijaksanaan membuat paduan suara yang walayah jelajahsuaranya dari yang rendah sampai yang tinggi tidak melebihi satu oktaf.
Misalnya kita berhadapan dengan empat orang penyanyi wanita. Yang suara pertama diberi nada e, ketiga nada g, dan yang keempat nada a,  atau c’.  Atau dengan sistim do-re-mi, keempat penyanyi tadi bersama-sama diberi nyanyian dalam batas-batas jelajahan suara akor, yang pada suatu waktu tertentu terdiri dari nada-nada do-mi-sol-la atau do-mi-sol-do’. Tidak melebihi satu oktaf. Cara membuat paduan suara demikian dinamakan membuat “harmoni tertutup” atau “harmoni diperdekat”. Istilahnya dalam bahasa Inggris “closed harmony”. Nada-nadanya dalam paduan suara diperdekatkan satu sama lan.

 Wilayah jelajahan suara manusia
 
Suara manusia yang terendah pada umumnya mempunyai ketinggian yang sama dengan nada yang dihasilkan oleh 82 kali getaran dalam satu detik. Atau yang berfrekuesi 82. Yang tertinggi biasanya tidak melebihi frekuensi 1046. Jadi wilayah jelajahan suara manusia pada umumnya bergerak hanya di antara 82 sampai dengan 1046 getaran tiap detik. Atau kalau disebut nama nada-nadanya, dari E sampai c’’’. Dalam paranada digambarkan seperti ini,

Wilayah Jelajahan Suara Manusia

K e t e r a n g a n :
  Wilayah jelajah suara Bas  dari E  sampai dengan f’
 Wilayah jelajah suara Tenor dari c  sampai dengan c ‘’
  Wilayah jelajah suara Alto dari f  sampai dengan f’’
  Wilayah jelajah suara Soprano c’  sampai dengan c’’’

Mengenai komponis-komponis ternama

Sistim musik diatonis yang sekarang kita pakai, sejarahnya dapat diusut kembali sampai ke zamanYunani Kuno. Lebih dari dua puluh abad yang lalu. Sistim yang dipergunakan bangsa Yunani pada waktu itu untuk musiknya dianggap sebagai pangkaal perkembangan musik diatnis sampai sekarang. Tentu saja sistim yang sekarang sudah tidak lagi sama dengan sistim Yunani dulu.
Perkembangan sejarah musik diatonis di negara-negara Barat sampai sekarang yang usianya telah berabad-abad itu, dengan sendirinya telah menghasilkan komponis-komponis dengan kreasi-kreasi yang dalam dunia internasional diakui bermutu tinggi.
Perkembangan musik diatonis di Indonesia, apalagi yang telah menginjak zaman kreasi-kreasi, masih muda sekali, kalau dibandingkan dengan perkembangan di Barat. Zaman kemerdekaan di Indonesia memberi rangsangan yang besar kepada bangsa Indonesia untuk menghasilkan komposisi-komposisi diatnis sendiri. Malahan dalam zaman penjajahan pun sudah timbul beberapa buah ciptaan bangsa Indonesia sendiri, merekapun tidak banyak. Yang menonjol sekali pada pada zaman itu adalah buah-buah ciptaan Wage Rudolf Supratman. Di samping lagu-lagu “Mars KBI”, “Ibu Kartini” dan beberapa lagi lainnya yang bersifat cinta tanah air, “Indonesia Raya” merupakan ciptaannya yang paling terkenal. Dari lagu perjuangan, “Indonesia Raya” berkembang menjadi lagu Kebangsaan Indonesia. Lagu “Indonesia Raya” dalam bentuk aslinya, diciptakan oleh W.R. Supratman menjelang tahun bersejarah 1928, yaitu tahun diadakannya Kongres Pemuda Indonesia di Jakarta.
Zaman kemerdekaan memberi banyak kesempatan untuk berkreasi. Akan tetapi yang termasuk bermutu baru sedikit. Kebanyakan tenggelam ke dalam bentuk-bentuk pernyataan yang sangat dipengaruhi oleh bentuk-bentuk lagu Barat populer. Beberapa pencipta musik diatonis di Indonesia yang serius dapat disebut antara lain Cornel Simanjuntak, Mochtar Embut, Kusbini, Binsar Sitompul, Amir Pasaribu, Ismail Marzuki, dan beberapa lainnya lagi yang tidak kita sebutkan disini. Pada umumnya mereka ini berkreasi dengan mempergunakan kesadaran musikal yang, terutama, diilhami oleh bentuk pernyataan buah-buah musik seriosa Barat. Kemudian dicobanya diungkapkan dalam bahasa musikalnya masing-masing. Sebagian besar bergerak dalam ciptaan-ciptaan musik vokal. Cornel Simanjuntak dianggap sebagai seorang komponis Indonesia yang banyak memberi dorongan pada pencipta lagu-lagu yang kemudian secara populer, disebut: lagu-lagu seriosa. Kusbini lebih banyak bergerak dalam komposisi-komposisi yang mempergunakan bentuk keroncong sebagai dasar.
Dalam soal penciptaan musik di Indonesia, kita tidak dapatme lepaskan peranan RRI (Radio Republik Indonesia) dalam bidang kreasi musik. Penyelenggaraan sayembara dalam beberapa tahun terus-menerus untuk memenangkan julukan “Bintang Radio”, menyebabkan timbulnya komponis-komponis baru dalam bidang vokal, baik dalam jenis-jenis yang disebut seriosa, hiburan maupun keroncong, untuk dipergunakan sebagai nyanyian dalam sayembara-sayembara tersebut. dalam zaman Bintang Radio beberapa lagu, yang secara teknisvokal meminta syarat-syarat yang “lebih sukar” diciptakan. Umpamanya, susunan melodi untuk dinyanyikan dengan mempergunakan beberapa modulasi (pergantian tangganada atau permainan dengan kromatik dan sebagainya).
Sesudah tahun enampuluhan, bidang kreasi di Indonesia sedikit demi sedikit beralih ke bidang penciptaan musik vokal hiburang yang condong ke sifat komersial. Masuknya musik Barat yang disebut “Kultur Kosmopolitan” merupakan sebab utamanya. Musik Beatles menaklukkan seluruh remaja di dunia, di Indonesia tidak terkecuali. Ciptaan musik yang yang bernafas pendek, dari yang sentimentil “cengeng” sampai kepada yang “panas bergelora” dan “tenggelam dalam suasana”, menguasai jiwa remaja serta dunia penciptaannya. Kreasi musik yang serius jauh terdorong ke belakang. Musik yang berseni tidak laku.
Sadar akan keharusan memberi sesuatu yang bersifat Indonesia di tengah-tengah serangan musik yang serba kosmopolitan itu, dunia kreatip di Indonesia menemukan tematik-tematik  baru, yang tersimpan dalam lagu-lagu daerah yang tersebar di seluruh Nusantara. Dengan berisi tematik-tematik lagu-lagu daerah atau paling sedikitnya mempergunakan melos yang ada dalam lagu-lagu daerah di Indonesia, timbul seperti jamur di waktu hujan ciptaan-ciptaan lagu-lagu dengan aneka sifat kedaerahan. Lagu-lagu Minang, Sunda, Betawi, Jawa Tengah, Jawa Timur, sebagian besar dalam bentuk langgam keroncong. Untuk bahan perbandingan, bagaimanakah perkembangan dunia kreasi diatonis di negara-negara Barat?
Perkembangan dunia penciptaan musik diatonisyang pada umumnya terkenal di Indonesia, adalah mulai dari zaman perkembangan – apa yang biasa kita sebut – Musik Klasik Barat. Yaitu kreasi musik yang menghias sejarah musik diatonis di Barat mulai abad ke-18. Yang termasuk Musik Klasik Barat sesungguhnya adalah komposisi-komposisi Haydn, Mozart dan Beethoven. Juga komponis Johann Sebastian Bach, khususnya dalam kreasi-kreasinya yang terakhir, dianggap termasuk komponis klasik. Musik sebelum zaman itu, untuk kebanyakan dari kita, kurang dikenal, dan oleh karenanya mungkin kurang dapat kita nikmati.
Kata “klasik” kemudian dipergunakan pula terhadap semua jenis musik yang dianggap sebagai contoh yang baik dan yang bermutu tinggi dari suatu jenis gaya tertentu. Jenis gaya tersebut disebut juga “genre”(baca: syangre). Umpamanya dipakai juga untuk menyebut “genre” musik kamar, genre hiburan dan lain-lain. Dalam hal ini orang memasukkan juga : Jazz Klasik ke dalamnya. Salah satu contoh Jazz Klasik misalnya ialah: lagu “Mood Indigo” ciptaan Duke Ellington.
Di Indonesia sendiri ada dipergunakan pula istilah: lagu-lagu tradisional klasik. Yaitu lagu-lagu tradisionil yang telah mengalami perkembangan sedemikian rupa sehingga bermutu tinggi, misalnya musik karawitan di Indonesia. Lalu istilah klasik dihubungkan pula dengan musik yang tidak jelas mempergunakan beat, yaitu pukulan birama yang tetap. Umpamanya ada orang berkata: Lagu “Bengawan olo” yang biasanya dihidangkan dengan pukulan birama yang ajeg, yaitu secara langgam keroncong, kali ini disajikan tanpa beat.
Di dalam sejarah musik diatonis Barat, sesudah zaman Klasik itu, kita kemudian menginjak abad ke-19. Disebut zaman Romantik yang berlangsung kira-kira 50 tahun lamanya. Yaitu dimulai kira-kira tahun 1800 hingga 1850. Pribadi komponis mulai berbicara di dalam segala bentuk vokal maupun instrumental.
Komponis-komponis yang terutama yang pantas kita ketahui sebagai salah seorang romantikus adalah Beethoven yang – seperti tadi pun sudah disebutkan termasuk pula seorang komponis klasik. Komponis romantis kedua adalah Schubert, termashur oleh karena menjadi pencipta bentuk pernyataan vokal yang artistik, yaitu bentuk “song” atau “lied”.
Selanjutnya dapat disebut pula komponis-komponis opera yang termahsur seperti Weber dan Meyerbeer. Opera adalah sebuah bentuk pernyataan musik vokal dan intrumental, yang diilhami oleh suatu cerita yang didalam penghidangannya dimainkan sebagai drama yang dinyanyikan di atas panggung. Isinya terdiri terutama dari nyanyian-nyanyian. Suatu hidangan yang merupakan suatu kehidupan musik khusus di Eropa Barat.
Pengaruh bentuk opra ini juga pernah merembes ke Indonesia di awal tahun 20-an. Namanya di Indonesia “Opera Bangsawan” atau “Stambul”. Pada waktu itu “Komedi Stambul” ini sangat populer. Ceritanya kebanyakan diambil dari cerita Seribu Satu Malam. Salah sebuah cerita Indonesia yang pada waktu itu digubah dalam bentuk “Komedi Stambul” adalah Nyai Dasimah. Pada waktu itu rupanya sudah menjadi mode untuk menyuguhkan suatu pertunjukan dengan cerita yang memilukan hati kepada publik. Para wanita yang menonton jadi menangis. Demikian pula dengan para prianya.
Kembali pada pembicaraan kita mengenai zaman Romantik di Eropa Barat, kita tidak dapat mengabaikan nama dua komponis Romantik yang ternama, yaitu: Chopin (dibaca: Syopeng), dan Liszt keduanya merupakan komponis untuk piano. Kemudian seorang komponis biola yang termashur: Peganini. Ia sendiri  adalah seorang vistous, permainan biolanya begitu mempesonakan, sehingga pada waktu itu orang menganggap Paganini bersekongkol dengan Syaitan! Anggapan seperti itu sangat karakteristik untuk zaman Romantik pada waktu itu.
Komponis Romantik lainnya yang tersohor selanjutnya ialah: Berlios (baca: Berdio) yang terkenal dengan apa yang disebut”musik panorama”. Yaitu musik yang “menceritakan”, yang diilhami oleh soal-soal yang tidak termasuk dalam musik itu sendiri. Musik yang mencoba “menggambarkan” sesuatu. Di sini penggunanan warna alat-alat musik yang dimainkan, lebih diberi tekanan. Dalam karya-karya seperti ini, komponis Wagner terkenal sekali. Dia menjadi mashur oleh karena “drama musiknya”. Yaitu suatu bentuk opera, di mana semua unsur-unsur diperlakukan sama; baik teks, dekor, akting, maupun plot cerita dan sebagainya. Wagner sangat terkenal dengan salah satu “drama musik”-nya, “Ring des Nibelungen”.  
Keadaan itu, yaitu komponis mencari kekuatannya juga di dalam berbagai macam hal di luar musiknya itu sendiri, dengan sendirinya memancing suatu reaksi. Ialah timbulnya musik absolut, musik mutlak. Musik absolut hanya mempergunakan unsur-unsur musikal saja untuk menyatakan konsepsi musikalnya. Tidak terpengaruh oleh kesusastraan atau mengambil ilham dari unsur-unsur yang bukan musik. Contoh terkenal dari komponis jenis ini adalah: Brahms, dengan dengan simponi-simponinya.
Kemudian timbul aliran Impresionisme dengan tokoh komponisnya yang sangat menonjol yaitu: Debussy. Musiknya biasanya sukar diikuti melodinya, karena di sini, tekanan lebih diberikan kepada harmoni. Sama dengan Impressionisme dalam senirupa, yang lebih mengutamakan warna, sedangkan detail dihilangkan. Melodi dalam musik, seperti garis-garis dalam lukisan yang tidak begitu dikemukakan.
Untuk memberi impresi (kesan) musik gamelan umpamanya, Debussy mempergunakan skala dengan nada, yang hanya terdiri dari nada-nada penuh, misalnya:  c, d, e, fis, gis, ais, ci’. Mungkin maksudnya ingin memberi kesan warna seperti yang dihasilkan oleh laras selendro dalam gamelan. Tentu saja tangganadanya tidak ama dengan tangganada selendro. Dan memang maksudnya pun hanya untuk memberi kesan saja, untuk memberi impresi.
Permulaan abad ke-20 menghasilkan komponis-komponi yang radikal sekali dalam musik absolut ini. seperti milhaud (baca:Miyoo) dan schonberg, yang digolongkan ke dalam aliran Ekspresionisme (dari kata ekspresi yang artinya pernyataan).
Mendengarkan musik demikian, kalau belum terbiasa, hati bisa menjadi gelisah. Komponis yang membuat sebuah orkestrasi dengan cara mempergunakan bermacam-macam nada dasar untuktiap-tiap alat musiknya. Disebut komponis yang beraliran politonalitas, (Poli = banyak. Tonalitas kira-kira sama dengan Laras yang mempergunakan nada dasar tertentu.)
Di dalam politonalitas dengan sendirinya dipergunakan beberapa nada dasar sekaligus. Pendengar musik demikian terpaksa mempertajam pendengarannya agar dapat menangkap keindahan musiknya. Sebab, musik yang demikian tentu tidak mengelus pendengaran kita. Kita masih perlu membiasakan diri. Kalau sudah terbiasa, pendengar mungkin lambat-laun dapat juga menangkap adanya kewajaran di dalamnya, menangkap sesuatu yang logis.
Komponis-komponis absolut yang radikal seperti tersebut di atas, di antaranya ada pula yang ingin menambah ekspresi musiknya dengan tidak menggunakan nada dsar sama sekali. Sebagai contoh misalnya: komponis Schnberg dan Alban Berg. Komposisi-komposi mereka seperti itu disebut “atonal” . yaitu tidak pakai tonalitas, tidak pakai nada dasar. Aliran ini disebut aliran Atonalitas.
Bentuk musik yang biasa kita dengar biasanya mempergunakan nada-nada dalam suatu tangga nada tertentu. Perkembangan nada-nadanya dalam suatu melodi selalu mempunyai kenderungan untuk kembali ke nada tertentu. Nada dasar di sini mempunyai kekuatan menarik gerak-gerik nada dalam melodi kembali kepadanya. Dan pendengar merasa puas. Dalam atonalitas semua nada yang ada dalam melodi mempunyai fungsi yang sama, juga nada-nada kromatisnya. Tidak ada nada yang menarik perkembangan nada kembali ke nada dasarnya. Bukan lagi penggunakan nada: c, d, e, f, g, a, b, c’  dengan c sebagai penutup melodi, melainkan penggunaan nada-nada c, cis, d, dis, e, fis, dan seterusnya ( do, di, re, ri, mi, fa, dan seterusnya ), yaitu tangganada kromatis.
Melodi musik yang atonal, untuk mereka yang belum terbias mendengarnya, sunguh-sungguh membingungkan. Kita sudah biasa mengikuti sebuah melodi yang berakhir dengan nada dasar. Coba kita bayangkan. Pada waktu kita berhadapan dengan musik yang tanpa nada dasar ini, kita terus-menerus ingin menangkap nada yang menyelesaikan musiknya. Akn tetapi nada dasar itu tidak kunjung tertangkap. Kadang-kadang kita kira tahu atau dapat kita ikuti sebagian dari melodi atonal itu menuju ke arah suatu nada dasar, tetapi tiba-tiba nada dasar tidapat kita temukan kembali.
Musik seperti itu untuk kebanyakan orang mungkin tidak dapat mengharukan. Musiknya memberi kesan seperti kita menghadapi soal ilmu pasti, yang harus kita tinjau berulang-ulang, untuk dapat menangkap hasil yang dimaksudkan. Mungkin kalau kita membiasakan diri mendengarkan musik demikian, lama-lama kita dapat juga menemukan logikanya.
Dewasa ini , belum banyak manusia musikal yang sudah dapat menikmati musik atonal seratus persen. Kebanyakan masih menganggapnya sebagai suatu pernyataan yang berarantakan, memusingkan. Tapi ini pun akhirnya soal kebiasaan juga. Siapa tahu, tidak lama lagi musik demikian sudah dianggap sebagai pernyataan biasa.
Sama halnya dengan musiknya Debussy. Sekarang kalau kalau kita mendengar musik Debussy, kita menganggapnya sebagai barang biasa saja, hanya agak lain dari yang biasa kita dengar. Padahal pada permulaan abad ke-20, waktu Debussy memperkenalkan komposisinya kepada publik dengan menghidangkannya sendri, publik mengerutkan keningnya, mereka menganggap sebagai musik seorang komponis yang tidak sehat otaknya!
Demikianlah kira-kira bila kita tinjau selayang pandang perkembangan musik diatonis di negara-negara Barat yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya. Sejarah musik itu banyak gunanya bagi kita, kalau kita nanti hendak menyusun sejarah perkembangan musik kita sendiri. Khususnya kalau kita nanti sesekali menemukan unsur-unsur pergantian bentuk pernyataan musik dalam perkembangan sejarah. Ada aksi, yang kemudian diikuti oleh reaksi.
Untuk dapat mengetahui bagaimana sifat reaksi itu, mari kita tinjau kembali sejarah musik diatonis Barat ini. dimulai dari komponis-komponis klasik kira-kira tahun 1750 sampai sekarang, sudah du abad lebih.
Zaman komposisi-komposisi yang disebut Klasik. Sifat musiknya objektip. Memuat unsur-unsur keindahan, yang seakan-akan hidup dan bergerak di luar diri kita. Susunan nada-nadanya sendirilah yang menetapkan keindahan. Seakan-akan  kita sebagai pendengar, mengalami suatu keindahan yang berlangsung di depan kita. Di dalam musik klasik Barat, pemakaian berbagai alat musik tidak banyak mempengaruhi musiknya itu sendiri.
Sebuah simponi ciptaan Mozart (simponi adalah bentuk musik yang mempergunakan semua jenis alat musik yang tersedia), tidaklah akan banyak berkurang keindahannya, kalau musik itu dibuat transkripsinya menjadi, misalnya, sebuah susunan musik untuk piano-tunggal saja.
Nanti akan kita lihat, pada bentuk-bentuk pernyataan ciptaan dalam zaman Romantik, yaitu sesudah zaman Klasik, justru alat-alat musiklah yang dipergunakan untuk menyatakan ekspresi tertentu.
Zaman Romantik yang berlansung kira-kira 50 tahun lamanya dalam sejarah musik. Dari tahun 1800 sampai kira-kira tahun 1850. Di dalam 50 tahun itu, Romantik dengan sendirinya mengalami perkembangannya sendiri secara gradual. Musik menjadi tempat pencipta menyatakan diri. Dengan berbagai-macam jalan. Dengan penggunaan berbagai macam alat musik. Dengan pemakaian unsur-unsur dinamik, harmoni dan lain-lain lagi. Dengan sendirinya, pernyataan pribadi demikian lama-kelamaan dapat menuju ke arah kebebasan dari ikatan-ikatan norma yang berlaku pada waktu itu. Yang dimaksud di sini tentu saja: norma-norma musikal. Misalnya, pencipta membuat simponi yang terdiri dari lima bagian, menyimpang dari kebiasaan empat bagian.
Dalam bidang musik eksekutip, musik yang dihidangkan, virtuositas mulai mendapat perhatian dan penghargaan. Paganini  dan Liszt  adalah dua contoh yang menonjol dalam permainan instrumen masing-masing secara virtuos. Paganini dengan biolanya, Liszt pada pianonya.
Kekuatan warna alat-alat musik dieksploitir habis-habisan (Wagner!). kebalikan daripada musik yang disebut klasik, musik Wagner misalnya yang berbentuk komposisi untuk orkes, akan hilang kekuatannya atau ekspresinya, kalau dibuatkan transkripsi dari komposisinya itu untuk permainan piano-tunggal. Musik Romantik terang bersifat subjektip, sebab perasaan diri komponis sendirilah yang banyak ditonjolkan.
Sesudah zaman Romantik, yang berlangsung cukup lama, kira-kira 50 tahun, timbul reaksi. Orang lari ke musik absolut , musik mutlak. Orang kembali mencari kekuatan dalam unsur-unsur musikal itu sendiri yang harus merupakan dasar keindahan musik (Brahms, Debussy, Regers). Mulai tahun 1900, musik absolut menjadi lebih radikal.
Timbulnya atonalitas, politonalitas, poliritmik dan sebagainya adalah kecenderungan manusia untuk menemukan  rangsangan-rangsangan baru. Dengan meningkatnya kemajuan teknologi, manusia tidak merasa puas lagi dengan soal-soal yang biasa. Apalagi manusia sekarang berlebih waktu terluang yang harus diisi. Timbul bentuk-bentuk orkes yang baru, yang alat-alatnya sedapat mungkin semuanya diperkuat suaranya dengan mempergunakan daya listrik, seperti band-band sekarang. Pemain musik remaja ingin melepaskan diri dari norma-norma yang dirasakan mengikat dirinya. Pemain musik dalam band-band populer misalnya, berpakaian seenaknya sendiri. Kebiasaan-kebiasaan ini cepat menular ke seluruh dunia. Dengan digunakannya daya listrik untuk alat-alatnya, yang dapat mengeraskan suara, sifat musiknya menjadi lebih agresip lagi.
Di dalam dunia komposisi musik yang serius, komponis juga mencari rangsangan-rangsangan baru. Dengan cara sintetis, ditemukan warna-warna suara, yang sebelumnya tidak pernah bisa dihasilkan oleh alat-alat musik biasa. Dengan demikian timbul komposi-komposisi yang elektronis, yang memerlukan alat-alat elektronis, yang memerlukan alat-alat elektronis pula. Musik seperti ini belum sampai menjadi populer di Indonesia.

Q.          Istilah: gaya, corak, bentuk pernyataan

Pada waktu kita meninjau ciptaan musik seseorang, kadang-kadang kita mempergunakan istilah yang bermacam-macam. Istilah yang satu sama lain sesungguhnya sukar ditetapkan batas-batas artinya. Ada yang bilang: gaya atau sifat, selanjutnya orang yang mempergunakan kata corak, bentuk pernyataan dan lain sebagainya.
Mungkin orang mempergunakan berbagai istilah itu dengan maksud yang sama. Yaitu ingin menunjukkan tanda pengena yang bersifat khas terhadap suatu komposisi dibandingkan dengan komposissi yang lain.
Orang kebanyakan menggunakan istilah “gaya” untuk keperluan ini. dalam buku-buku atau tulisan-tulisan mengenai kesenian, kata “gaya” ini memang sering dipergunakan. Kita sendiri pun tentu saja mengerti apa yang dimaksud dengan “gaya” itu, tanpa perlu memusinkan kepala untuk meneliti, sampai di mana batas-batas arti “gaya” tersebut.
Namun demikian, tidak ada salahnya kalau kitamengetahui pula, bahwa istilah “gaya” itu dipergunakan dalam berbagai-bagai batas pengertian menurut pembidangannya.
Jika kita berpendapat, bahwa gaya seorang Kusbini lain kalau dibandingkan dengan seorang Ikandar dalam komposisi-komposisinya, ini tentu dihubungkan dengan cara pengungkapan aspirasi musikal Kusbini yang berbeda dengan cara Iskandar. “Gaya” di sini dihubungkan dengan sifat perseorangan.
Penggunaan istilah “gaya” yang lain misalnya juga begini: Musik zaman Romantik mempunyai gaya yang berbeda dengan musik zaman modern. Di sini “gaya” dipakai untuk memperlihatkan perbedaan antara musik yang dibuat dalam suatu zaman tertentu, dengan musik dari zaman yang lain.
Kemudian kata “gaya” masih dipergunakan juga untuk menunjukkan sifat khas musik suatu bangsa, yang berbeda dengan musik bangsa lain. Atau musik suatu daerah kalau dibandingkan dengan musik daerah lain. Umpamanya: Musik Itali mempunyai gaya yang dengan mudah dapat dibedakan dari musik gaya Jerman. Atau, musik Jepang tidak sama gayanya dengan musik Arab. Masih ada lagi: Musik Jawa Tengah dan Bali berbeda dalam gayanya. Di sini istilah “gaya” dipakai untuk menunjukkan sifat khas musik-musik berbagai-bagai bangsa, suku atau daerah.
Akhirnya, kata “gaya” masih juga dipergunakan untuk membedakan penggunaan atau fungsi sesuatu musik tertentu. Misalnya, dalam polemik yang pernah diadakan mengenai “gaya” ciptaan Cornel Simanjuntak, dipergunakan kata-kata “gaya gereja” . malahan lain fihak lagi memakai kata “gaya Jazz” yang dihadapkan dengan kata “gaya Neatles”. Di sini “gaya” dipergunakan khusus untuk menunjukkan cara khas dalam memainkan sesuatu.
Dari cntoh-contoh tadi, menjadi teranglah bahwa istilah “gaya” dipergunakan di dalam hubungannya di dalam pelbagai aspek. Untuk membatasi artinya, pada umumnya kata “gaya” dipergunakan hanya dalam 3 aspek. Yaitu gaya perseorang, gaya zaman, dan gaya nasional, kebangsaan atau juga kedaerahan.
Jadi, kita hanya boleh mengatakan: gaya Kusbini, gaya Romantik, gaya Arab, atau juga gaya Bali. Yang kita maksudkan dengan “gaya” hanya: sifat khas yang ada pada wujud pernyataan musik itu sendiri. Tanpa menghiraukan, apakah musik itu bagus atau jelek, untuk apa musik itu dipergunakan dan soal lain yang menyangkut penulisannya secara teknis, umpamanya orkestrasinya dan lain-lain.
Penelitian mengenai gaya sesuatu komposisi memerlukan sikap analitis dari penelitian serta kemampuan untuk membanding-bandingkan , yang  memang tidak begitu mudah. Karena itu lebih baik kita serahkan saja pekerjaan ini kepada para ahli ilmu musik (musikologi).



—KSP—
Kamis. 16 Maret 2020 – 11.58 WIB
REFERENSI:
Sumaryo L.E.
Komponis, Pemain Musik dan Publik
Pustaka Jaya – Jakarta 1978
 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"P U A S A" By Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayyid

http://kertasinga.blogspot.com-Senin, 05 April 2021-13:02 WIB Definisi Shiyam) 1 Shiyam dan shaum secara bahasa adalah menahan diri dari...

"KONTEN ENTRY BLOG"