Blog Ki Slamet 42: Guru SMPIT Annur Cimande Menulis
Selasa, 10 September 2019 - 15:57 WIB
Selasa, 10 September 2019 - 15:57 WIB
Dr. Sa'id Bin Ali |
Hukumnya adalah sunnah nu’akkad, sunnah yangditekankan untuk dilakukan di segala waktu,
siang maupun malam. Dasarnya adalah hadits Abu Hurairah yang artinya sebagai
berikut:
“Bahwa Nabi pernah
berkata kepada Bilal pada waktu shalat Shubuh, ‘Wahai Bilal, ceritakan kepadaku
amal yang paling diharapkan pahalanya yang telah engkau kerjakan dalam Islam?
Karena aku mendengar suara terompahmu di hadapanku di surga (dalam mimpi tadi
malam).’ Bilal berkata, ‘Aku tidak pernah amal yang lebih memiliki harapan
pahala (selain kebiasaanku) bahwa setiap kali berwudhu di siang maupun malam
hari, pasti aku shalat dengan wudhu itu sebatas yang ditentukan bagiku’.” *1
Imam an-Nawawi mengungkapkan, “Hadits ini
mengandung penjelasan tentang keutamaan shalat sesudah wudhu, bahwa hukumnya
adalah sunnah, dan itu boleh dilakukan di waktu larangan, ketika matahari
terbit, di waktu istiwa’, ketika
matahari tenggelam, sesudah shalat Shubuh dan sesudah shalat Ashar. Karena ia
termasuk shalat yang memiliki sebab tertentu. *2
Penulis pernah mendengar Syaikh Abdul Aziz
bin Baz menyatakan, “Hadits ini secara tegas menjelaskan bahwa shalat wudhu ini
boleh dilakukan kapan saja, iang dan malam. *3
Sunnah yang mulia ini lebih ditegaskan lagi
oleh hadits Utsman yang ketika itu berwudhu dengan sempurna. Usai berwudhu,
Utsman berkata, “Aku pernah melihat Nabi berwudhu sebagaimana aku berwudhu
sekarang ini, lalu beliau bersabda yang artinya sebagai berikut:
“Barang siapa
berwudhu sebagaimana aku berwudhu sekarang ini, kemudian ia shalat dua rakaat
tanpa berbicara pada dirinya sendiri, pasti akan Allah ampuni dosa-dosanya yang
telah lalu.” *4
Dari Uqbah bin Amir diriwayatkan dari Nabi,
bahwa beliau bersabda yang artinya sebagai berikut:
“Tidaklah seorang
Muslim berwudhu lalu dia memantapkan wudhunya, kemudian ia bangkit melakukan
shalat dua rakaat dengan menghadapkan hati dan wajahnya (Kepada Allah) dalam
keduanya, kecuali pasti dia mendapatkan surga.” *5
Di antara yang membuktikan bahwa sunnah
wudhu itu dilakukan pada setiap waktu adalah hadits Buraidah yang menceritakan
yang artinya sebagai berikut:
“Pada suatu pagi,
Rasulullah memanggil Bilal seraya
berkata,’ Hai Bilal! Dengan apa engkaku mendahuluiku ke surga? Tidaklah setiap
kali aku masuk surga, kecuali aku mendengar suara terompahmu di hadapanku. Tadi
malam aku juga masuk surga, dan aku pun mendapatkan suara terumpahmu di
hadapanku.’ Bilal menjawab, ‘Ya Rasulullah, tidaklah aku adzan kecuali pasti
shalat dua rakaat setelahnya, dan tidaklah aku terkena hadats kecuali aku
berwudhu saat itu juga, dan aku berpandangan bahwa Allah memiliki hak dua
rakaat atasku.’ Dengan kedua rakaat itulah engkau mendahuluiku ke surga’. *6
Al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan, “Hadits itu
menunjukkan bahwa Bilal biasa mengimbangi hadatsnya dengan kembali berwudhu,
lalu melanjutkan wudhunya dengan shalat, kapan saja. *7
Itulah pendapat yang diambil oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, yakni bahwa shalat sunnah wudhu itu boleh dilakukan kapan
saja, meskipun dalam waktu larangan. *8
___________________________________
*1).
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan
Muslim. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab
at-Tahajjud, Bab Fadhl ath-Thuhur bi al-Lail wa an-Nahar,no. 1149.
Diriwayatkan pula oleh Muslim dalam kitab Fadha‘il ash-Shahabah, Bab Min Fadha’il Bilal, no. 2458.
*2).
Syarah
Muslim oleh an-Nawawi, 15/246. Lihat juga Fath al-Bari oleh Ibnu Hajar.3/35
*3). Penulis mendengarnya dari ketika beliau
menjelaskan Shahih al-Bukhari, no.
1149.
*4). Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Musli.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab
al-Wudhu’, Bab al-Madhmadhah fi al-Wudhu’, no. 164. Diriwayatkan oleh
Muslim dalam Kitab ath-Thaharah, Bab
Wujub ath-Thaharah, Bab adz-Dzikir al-Mustahab li ash-Shalah, no. 226.
*5). Diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab ath-Thaharah, Babadz-Dzikr al-Mustahab
Aqiba al-Wudhu’, Aqiba al-Wudhu’, no. 234.
*6). Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam Kitab al-Manaqib, Bab Manaqib Umar bin
al-Khaththab, no. 3689. Diriwayatkan oleh Ahmad. 5/360. Dishahihkan oleh
al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi, 3/205,
dan Shahih at-Targhih, 1/87. no. 196.
*7). Lihat Fat
al-Bari oleh Ibnu Hajar, 3/35.
*8). Lihat al-Ikhtiyyarat
alFiqhiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal. 101.
Sumber:
Dr.
Sa’id Bin Ali Bin Wahf Al-Qahthani,
“Shalat
Sunnah dan Keutamaannya”
Penerbit:
Darul
Haq Jakarta 2018
“Shalat
Sunnah dan Keutamaannya”
Penerbit:
Darul
Haq Jakarta 2018
—KSP42—
Selasa, 10 September 2019 – 16:06
WIB
Bumi Pangarakan, Lido - Bogor