Blog Ki Slamet 42: Guru SMPIT Annur Cimande Menuis
Jumat, 30 Agustus 2019 - 16:25 WIB
Jumat, 30 Agustus 2019 - 16:25 WIB
1.
Dua
rakaat sebelum Shubuh
Shalat sunnah
sebelum Shubuh ini adalah sunnah mu’akkad
yang paling ditekankan di antara
sunnah-sunnah rawatib. Hal ini disebabkan beberapa hal:
Pertama,
Karena Rasulullah
amat ulet melakukannya. Itu menunjukkan bahwa shalat tersebut memang agung
sekali. Yakni berdasarkan hdits Aisyah ketika ia menceritakan, yang artinya
sebagai berikut:
“Nabi tidak pernah lebih disiplin melaksanakan
sunnah sebagaimana kedisiplinan beliau melaksakan dua rakaat sebelum Shalat
Shubuh. *76.
( Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab
al-Tahajjud, Bab Ta’ahudi Rak’atai al-Fajr wa man Sammaha Tathawwu’an no.
1169. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab
Shalat al-Musafirin, Bab Istihbab Rak’atai al-Fajr, no. 724. )
Kedua,
Rasulullah sendiri telah menjelaskan keutamaan
shalat itu. Dari Aisyah diriwayatkan bahwa ia menceritakan dari Nabi,
bahwawasannya beliau bersabda, yang artinya sebagai berikut:
“Dua
rakaat sunnah Fajar sebelum shalat Shubuh lebih baik dari dan seisinya.*77. (Diriwayatkan
oleh Muslim dalam Kitab al-Musafirin, Bab
Istihbab Sunnah Rak’atai al-Fajri, no. 724.)
Ketiga,
Disunahkan
untuk dilakukan dengan ringkas, berdasarkan hadits Aisyah bahwa ia menceritakan
yang artinya sebagai berikut:
“Rasulullah biasanya meringkas dua rakaat
sunnah sebelum shalat Shubuh, sampai-sampai aku (pernah) bertanya-tanya (dalam
hati), ‘Apakah beliau membaca al-Fatihah (atau tidak)’ *78. ( diriwayatkan oleh
al-Bukharidalam Kitab at-Tahajjud, Bab Ma
Yuqra’ fi Rak’atai al-Fajr, no. 1171. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab Shalat al-Musafirin, Bab Istihbab
Rak’tai Sunnah al-Fajr, no. 724.
Keempat,
Waktunya yang
dilaksanakan antara adzan dan iqamah, berdasarkan hadits Hafshah Ummul
Mukminin, yang artinya sebagai berikut:
“Bahwasannya Rasulullah biasanya apabila
muadzin sudah berhenti beradzan untuk shalat Shubuh dan waktu Shubuh
benar-benar telah jelas, beliau melaksanakan shalat dua rakaat sunnah dengan
ringan sebelum shalat Shubuh dilaksanakan. *79 ( Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan
Muslim. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab
al-Adzan Bab al-Adzan Ba’da al-Fajr, no. 616. Diriwayatkan oleh Muslim
dalam Kitab Shalat al-Musafirin, Bab
Istihbab Rak’atai al-Fajr wa al-Hatsi Alaihima, no. 723. )
Juga berdasarkan
hadits Aisyah bahwa ia menceritakan , yang artinya sebagai berikut:
“Nabi biasa melakukan dua rakaat ringan
antara adzan dan iqamah dan shalat Shubuh. *80
( Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab
al-Adzan, Bab al-Adzan Ba’da al-Fajr, no. 619. Diriwayatkan oleh Muslim
dalam Kitab Shalat al-Musafirin, Bab
Istihbab Rak’atain al-Fajr wa al-Hatsi Alaihima, no. 724. )
Kelima,
Tidak ada shalat
sesudahnya selain shalat Shubuh yang diwajibkan, berdasarkan hadits Hafshah
Ummul Mukminin bahwa ia menceritakan, yang artinya sebagai berikut:
“Biasanya
Rasulullah apabila telah terbit fajar, beliau tidak shalat kecuali dua rakaat
ringan. *81
(Diriwayatkan
oleh Muslim dalam Kitab Shalat
al-Mushafirin, Bab Istihbab Rak’atai Sunnah al-Fajr wa al-Hatsi Alaihima, no.
723
Keenam,
Bacaannya adalah: “Qul Ya Ayyuhal Kafirun,” dan “Qul
Huwallahu Ahad,” berdasarkan hadits Abu Hurairah, yang artinya sebagai
berikut:
“Bahwasannya Rasulullah biasa membaca, “Qul Ya
Ayyuhal Kafirun (surat
al-Kafirun),” dan “Qul Huwawallahu Ahad (Surat
al-Ikhlas),” pada dua rakaat
sunnah(sebelum) Shubuh.” *82
( Diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab al-Musafirin, Bab Istihbab Rak’atai
Sunnah al-Fajar wa al-Hatstsi Alaihima, no. 726. )
Atau pada rakaat
pertama membaca, yang artinya sebagai berikut:
“Katakanlah
(hai orang yang Mukmin), ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan
kepada kami...’.” (Al-Baqarah:136),
dan pada rakaat yang lain (kedua) membaca, yang artinya sebagai berikut:
“Kami
beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang berserah diri.” (Ali Imran:52).”
Dalam riwayat Ibnu
Abbas diceritakan, yang artinya sebagai berikut:
“Rasulullah
pernah membaca pada dua rakaat Shubuh, ‘Katakanlah (hai orang-orang Mukmin),
‘Kami beriman kepada Allah dan apa-apa yang diturunkan kepada kami...,’ dan
ayat yang terdapat pada surat Ali Imran, ‘Marilah (berpegang) kepada suatu
kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu...’ (Ali Imran: 64).”
Ketujuh,
Memiringkan badan
sesudah shalat, berdasarkan hadits Aisyah, yang artinya sebagai berikut:
“Bahwa
Nabi apabila usai shalat sunnah Shubuh, beliau membaringkan badan beliau ke
sebelah kanan. *83
( Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab at-Tahajjud, Bab adh-Dhaj’ah Ala
asy-Syiqqi al-Aiman Ba’da Rak’atai al-Fajr, no. 1160, dan lafazh ini adalah
lafazh al-Bukhari. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab Shalat al-Musafirin, Bab Shalat al-Lail wa Adadiha, no. 736.
)
Dalam lafazh lain
oleh Muslim dinyatakan, yang artinya sebagai berikut:
“...apabila
muadzin telah selesai mengumandangkan adzannya dari Shalat Shubuh dan waktu
fajar sudah jelas baginya, lalu muadzin mendatangi beliau, beliau langsung
shalat dua rakaat ringan, kemudian berbaring ke sebelah kanan, hingga muadzin
datang kepada beliau (meminta izin) mengumandangkan iqamah. *84 (Diriwayatkan oleh
Musim, Kitab Shalat al-Musafirin, Bab
Shalat al-Lail wa Adadiha, no. 736.)
Kedelapan,
Tidak ditinggalkan, baik pada saat
berpergian, apalagi ketika bermukim, berdasarkan
hadis
Aisyah, yang artinya
sebagai berikut: “Beliau
(Rasulullah) tidak pernah meninggalkan keduanya samasekali.” *85
( Diriwayatkan oleh
al-Bukhari dan Muslim. Diriwayatkan oleh
al-Bukhari dan ini lafazhnya dalam Kitab
at-Tahajjud, Bab al-Mudawamah Ala
Rak’atai al-Fajr, no. 1159. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab Shalat al-Musafirin, Bab Istihbab
Rak’atai Sunnah al-Fajr al-Hatstsi Alaihima, no. 724. )
Hal tersebut
menunjukkan bahwa Rasulullah secara rutin melaksanakan dua rakaat sunnah Shubuh
itu, baik ketika bermukim maupun ketika bepergian. *86
( Lihat al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 3/196,
2/540, juga Zad al-Ma’ad oleh Ibnul
Qayyim, 1/315, dan Fath al-Basri oleh
Ibnu Hajar, 3/43 serta Majmu’ al-Fatawa
wa Makalat Ibni Baz, 11/390, dan ars-Syarh
al-Mumti’ oleh Muhammad Utsaimin, 4/96. )
Kesembilan,
Diqadha’ nya sunnah Shubuh bila tertinggal.
Orang yang tertinggal shalat sunnah Shubuh disyariatkan melakukannya usai
shalat atau hingga matahari meninggi, berdasarkan hadits Qais bin Amr
diriwayatkan ia berkata, yang artinya sebagai berikut:
“Rasulullah
pernah keluar, lalu iqamah dikumandangkan, lalu aku pun turut shalat Shubuh
bersama beliau. Usai shalat, beliau bubar dan mendapatkanku sedang melakukan
shalat. Maka beliau bertanya, ‘Sebentar wahai Qais, apakah ada dua shalat yang
dilakukan bersamamu?’ Aku menjawab, ‘Wahai Rasulullah,, tadi aku belum sempat
melakukan dua rakaat sunnah Shubuh.’ Sabda beliau, ‘Kalau begitu tidak masalah’.
*87
( Diriwayatkan oleh
at-Tirmidzi dalam Kitab ash-Shalah, Bab
Ma Ja’a Fi Man Tafutuhu ar-Rak’tan Qabla al-Fajr, no. 422, dishahihkan oleh
al-Albani dan Shahih Sunan at-Tirmidzi, 1/133.
)
Demikian juga
berdasarkan hadits Qais yang lain, diceritakan yang artinya sebagai berikut:
“Rasulullah
pernah melihat seorang lelaki sedang shalat dua rakaat sesudah shalat Shubuh,
maka Rasulullah bersabda, ‘Tadi aku tidak sempat melakukan dua rakaat sebelum
shalat Shubuh (Ya, Rasulullah), maka aku melakukannya sekarang.’ Maka
Rasulullah terdiam.” *88
( Diriwayatkan oleh
Abu Dawud dala Kitab at-Tathawwu’, Bab
Man Fatathu Mata Yaqdhihima no. 1267, lafazh ini adalah lafazh Abu Dawud.
Dikeluarkan juga oleh Ibnu Majah dalam Kitab
Iqamah ash-Shalah, Bab Ma ja’a fi Man Fatathu ar-Rak’atan Qabla Shalat al-Fajr
Mata Yaqdhihima, no. 1154, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan
Abi Dawud, 1/136 dan Shahih Ibnu Majah, 1/190.
)
Sedang dalam lafazh
Ibnu Majah menyatakan, yang artinya sebagai berikut:
“Apakah
shalat Shubuh dua kali?” *89 (Diriwayatkan oleh
Ibnu Majah, no. 1154, telah ditakhrij sebelum
ini.
Bisa juga
mengerjakannya setelah matahari meninggi, berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwa
Rasulullah bersabda, yang artinya sebagai berikut:
“Barang
siapa yang tidak sempat shalat dua rakaat sunnah (sebelum) Shubuh, hendaknya ia
mengerjakannya setelah matahari terbit. *90
( Diriwayatkan oleh
at-Tirmidzi, Kitab ash-Shalah, Bab Ma
Ja’a Fi Fadatihimu Ba’da Thuwu’ asy-Syams, no. 423; Ibnu Mibban dalam Shahihnya, no. 4272; al-Hakim dan
dishahihkan olehnya, 1/382-383; al-Baihaqi, 2’482 dan dishahihkan oleh
al-Albani dala Shahih Sunan at-Tirmidzi, 1/133.
Lihat al-Mughni olehIbnu Qudamah,
2/531. )
Telah diriwayatkan dengan shahih dari
Nabi, bahwa beliau juga pernah mengqadha’
sunnah rawatib Shubuh itu bersamaan dengan shalat Shubuhnya, ketika beliau
tertidur hingga lewat waktu shalat Shubuh dalam perjalanan. Beliau shalat
sunnah fajar dahulu sebelum shalat Shubuh, dan itu dilakukan setelah matahari
meninggi.*91, yakni dalam hadits Abu Hurairah, yang artinya sebagai berikut:
“Bahwasannya
Nabi pernah tertidur hingga tidak sempat melakukan shalat sunnah Shubuh, maka
mengqadha’nya setelah matahari terbit. *92
_____________________________
*91. Dikeluarkan
oleh Muslim dalam Kitab al-Masaajid, Bab
Qadha’ ash-Shalat al-Fa’itah, no. 681.
*92. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Kitab Iqamah ash-Shalah wa as-Sunnah Fiha, no.1155, dishahihkan oleh al-Albani
dalam Shahih Sunan Ibni Majah, 1/190.
2.
Shalat
rawatib setelah Jum’at empat rakaat
Adapun sebelum
Jum’at, seorang Muslim diisyaratkan melakukan shalat mutlak. Sementara sunnah qabliyah tidak disunnahkan secara
khusus, tetapi hendaknya ia menyibukkan diri dengan shalat sunnah mutlak dan
dzikir hingga imam datang. *93 ( Lihat Zat
al-Ma’ad, 1/277, 436, dan 378. )
Sedangkan sunnah
rawatib sesudah jumat, dasarnya adalah hadits Ibnu Umar yang menyebutkan, yang
artinya sebagai berikut:
“...dan
dua rakaat sesudah Shalat Jumat di rumah beliau. *94 ( diriwayatkan oleh
al-Bukhari, no. 182, telah ditakhrij sebelum
ini. )
Juga hadits Abu
Hurairah bahwa Rasulullah bersabda yang artinya sebagai berikut:
“Apabila
salah seorang di antara kalian telah shalat Jumat, maka hendaknya ia shalat
empat rakaat sesudahnya.”
Dalam lafazh lain
dinyatakan yang artinya sebagai berikut:
“Apabila
kalian shalat (sunnah) sesudah Jumat,
shalatlah empat rakaat.”
Dalam lafadz yang
lain lagi:
“Barangsiapa
di antara kalian yang shalat (sunnah) sesudah Jumat, hendaknya ia shalat empat
rakaat. *95
(Diriwiyatkan
oleh Muslim dalam Kitab al-Jumu’ah, Bab
ash-Shalah Ba’da al-Jumu’ah, no. 881.)
Suhail, salah seorang perawi hadits itu
berkomentar yang artinya sebagai berikut:
“Jika
ada sesuatu (urusan) yang membuatmu tergesa-gesa, maka shalatlah dua rakaat di
masjid dan dua rakaat bila engkau sudah pulang ke rumah.”
Dari Abdullah bin
Umar diriwayatkan yang artinya sebagai berikut:
“Bahwasannya
apabila beliau telah usai shalat Jum’at, beliau bubar lalu shalat dua rakaat di
rumahnya , kemudian beliau berkata, ‘Rasulullah biasa melakukan hal demikian’.”
*96.
( Diriwayatkan oleh
Muslim dalam Kitab al-Jumu’ah, Bab
ash-Shalah Ba’da al-Jumu’ah, no. 882. )
Para ulama berbeda
pendapat tentang sunnah rawatib setelah shalat Jum’at. Di antara mereka adalah
yang menyatakan, “Empat rakaat,” berdasarkan hadits Abu Hurairah. Ada juga yang
berpendapat hanya dua rakaat di rumah, berdasarkan hadits Ibnu Umar, dan juga perbuatan
Nabi. Imam Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa ia pernah mendengar gurunya Ibnu
Taimiyah menyatakan, “Kalau shalat di masjid, hendaknya ia shalat empat rakaat,
kalau shalat di rumah, hendaknya ia shalat dua rakaat.” Kemudian Ibnul Qayyim
sendiri menyatakan, “Demikianlah yang diindikasikan oleh hadits-hadits
tersebut. abu Dawud telah menyebutkan riwayat *97 dari Ibnu Umar bahwa ia
pernah shalat di masjid empat rakaat, namun kalau shalat di rumah hanya dua
rakaat. *98 Imam ash-Shan’ani menyebutkan, “Empat rakaat itu lebih utama
daripada dua rakaat, karena hal itu yang sebenarnya diperintahkan. *99
Penulis pernah
mendengar Syaikh Abdul Aziz bin Baz menyebutkan bahwa para ulama memang berbeda
pendapat dalam persoalan ini. Sebagian mereka menyatakan bahwa bila dilakukan
di masjid empat rakaat, dan bila dilakukan di rumah dua rakaat, untuk
menggabungkan pengertian riwayat-riwayat yang ada. Ada juga yang berpendapat
minimal bisa dilakukan dua rakaat, dan paling banyak empat rakaat. Tidak ada
bedanya bila dilakukan di rumah ataupun di masjid. Pendapat ini adalah yang
lebih tepat, karena ucapan lebih didahulukan daripada perbuatan. Namun empat
rakaat lebih utama daripada dua rakaat. Karena itulah yang lang sung berkaitan
dengan perintah yang ada. *100
Adapun shalat
sebelum Jum’at adalah shalat sunnah mutlak, tanpa batasan, berdasarkan hadits
Salman al-Farisi yang menceritakan bahwa Nabi pernah bersabda yang artinya
sebagai berikut:
“Tidaklah
seorang laki-laki mandi pada hari Jum’at, bersuci semaksimal yang bisa dilakukannya,
lalu memakai minyak solek, dan menggunakan minyak wangi rumah tangganya,
kemudian berangkat dan tidak memisahkan di antara orang, kemudian dia shalat
(sunnah) sebatas yang dimungkinkannya, lalu diam menyimak apabila imam
berkhutbah, kecuali dia pasti diampuni dosa-dosanya antara Jum’at itu hingga
Jum’at berikutnya. *101
Demikian juga dengan
hadits Abu Hurairah dari Nabi bahwa belau bersabda yang artinya sebagai
berikut:
“Barangsiapa
mandi kemudian mendatangi shalat Jum’at , lalu shalat sebatas yang dimungkinkan
baginya, lalu shalat bersama imam, niscaya diampuni dosa-dosanya atara Jum’at
itu hingga Jum’at berikut, ditambah tiga hari lagi. *102
Imam Ibnul Qayyim menyatakan,
“Disunnahkan bagi seseorang untuk shalat sebisanya, tidak terhalangi kecuali
oleh waktu datangnya imam. Oleh karena itu, tidak sedikit dari kalangan ulama
as-Salaf di antaranya Umar bin al-Khaththab dan Ahmad bin Hambal yang
menyatakan bahwa datangnya imam menghalangi shalat dan khutbahnya imam
menghalangi percakapan. Jadi yang menjadi penghalang adalah datangnya imam,
bukan karena hari sudah pertengahan siang. *103
Ibnu Qayyim
menyebutkan juga, bahwa shalat sunnah itu tidak dilarang sebelum tergelincirnya
matahari di hari Jumat, hingga datang imam, sebagaimana yang menjadi madzhab
Syafi’i dan juga pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. *104
Apabila seseorang
datang terlambat, hingga imam sudah naik mimbar, hendaknya ia shalat dua rakaat
ringkas saja, yakni shalat tahiyyatul
masjid. Itu berdasarkan hadits Jabir Abdullah menceritakan yang artinya sebagai berikut:
“Ketika
Nabi sedang berkhutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba datang seorang lelaki (dan
langsung duduk), maka Nabi bertanya kepadanya, ‘Apakah engkau sudah shalat
(shalah Tahayyatul Masjid) waha fulan?’ Lelaki itu menjawab, ‘Belum.’ Sabda
beliau, ‘Kala begitu, bangkit dan shalatlah dua rakaat’.”
Dalam lafazh lain
disebutkan, yang artinya sebagai berikut:
“Apabila
salah seorang di antara kalian datang pada Hari Jumat, sementara imam sedang
berkhutbah, maka hendaknya dia shalat dahulu dua rakaat, dan hendaknya dia
memendekkan keduanya. *105
_____________________
*97. Diriwayatkan
oleh Abu Dawud dalamKitab ash-Shalah, Bab
ash-Shalah Ba’da al-Jumu’ah , no. 1130, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, 1/210.
*98. Lihat Zad
al-Ma’ad, 1/440.
*99. Lihat Subul
as-Salam, 3/181.
*100. Penulis
mendengarnya langsung dari beliau ketika sedang menjelaskan Bulugh al- Maram, no. 484.
*101. Diriwayatkan
oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Jumu’ah,
Bab ad-Duhn Li al-Jumu’ah, no. 883-910.
*102. Diriwayatkan
oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Jumu’ah,
Bab Fadhl ManIstama’a wa Anshata fi al-Khuthbah, no. 857.
*103. Lihat Zad al-Ma’ad Fi Hadyi Khair al-Ibad, 1/378,
437.
*104. Sama dengan
rujukan sebelumnya
*105. Diriwayatkan
oleh al-Bukhari dan Muslim. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Jumu’ah, Bab Man Ja’a wa al-Imam
Yakhthub Shalla Rak’atain Khafifatain, no. 931. Diriwayatkan oleh Muslim
dalam Kitab al-Jumu’ah, Bab al-Tahiyyah
wa al-Imam Yakhthub, no. 875
Slamet
Priyadi—
Jumat, 30 Agustus 2019 – 16:43
WIB
Di Bumi Pangarakan, Lido -
Bogor
Sumber:
Dr.
Sai’d Bin Ali Bin Wahf al-Qahthani
“Shalat
Sunnah dan Keutamaannya”
Penerbit:
Darul
Haq Jakarta 2018