“Undang-undang
No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya sangat jelas mengamanatkan agar kita
memberikan perlindungan terhadap peninggalan-peninggalan bersejarah di sekitar
kita,” kata Ketua Yayasan Bawono Toto, BP Karjodihardjo di Jakarta, Selasa
(8/8/2017).
Karjodihardjo
menegaskan bahwa UU ini memberikan tugas kepada pemerintah, baik di Pusat,
maupun di Daerah untuk bahu-membahu menjaga kelestarian situs-situs purbakala
ini.
Karjodihardjo
menjelaskan bahwa Yayasan Bawono Toto yang dikelolanya memiliki kepedulian yang
sangat tinggi terhadap pelestarian situs, sehingga menjadi tanggungjawabnya
untuk mengingatkan semua pihak.
Menurutnya,
keberadaan situs purbakala mempunyai nilai penting bagi ilmu pengetahuan,
sejarah, dan juga teknologi. Bahkan, situs purbakala harus dilihat sebagai
jejak masa lalu sebuah bangsa.
“Dari jejak
masa lalu itulah kita bisa melihat bagaimana karakter kita berkembang dan
tumbuh, dan memroyeksikan masa depan kita sebagai sebuah bangsa,” kata
Karjodihardjo
.
Berdasarkan
laporan media Beritagar.id, sejumlah situs diberitakan mengalami vandalusme dan
pengrusakan oleh oknum masyarakat yang tidak bertanggungjawab. Misalnya, aksi
corat coret di situs Calonarang, yang diduga terjadi Sabtu (22/7/2017) petang,
masih diselidiki oleh polisi.
Namun aksi
corat coret itu bukanlah aksi perusakan pertama yang terjadi di situs
Calonarang, yang terletak di Dusun Butuh Desa Sukorejo, Kecamatan Gurah,
Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Isu
perusakan situs Calonarang juga muncul bangunan baru berupa tambahan plesteran
semen. Umpak–benda purbakala di situs itu–ditaruh di atasnya, dengan
menyatukannya dengan bangunan baru itu. Jelas, keaslian situs itu sudah
dirusak.
Bukan cuma
itu. Tambahan lainnya tak kalah ajaib: tiga makam yang disebut-sebut sebagai
makam Calonarang, makam Ratna Manggali dan makam sang ajudan Calonarang.
Padahal sebelumnya tidak pernah ada makam di situs tersebut.
Selain situs
Calonarang, Beritagar.id juga mencatar ada sejumlah situs bersejarah lain yang
rusak karena beralih fungsi. Di Dusun Kumisik, Desa Lawanganagung, Kecamatan
Sugio Lamongan, sebuah situs yang diduga candi telah berubah menjadi makam.
Situs
Petilasan Damarwulan di Desa Sudimoro, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang
juga rusak karena areal di sekitar beralih fungsi menjadi kolam pemancingan
ikan.
Aktivitas
pembangunan di areal sekitar juga sering menjadi penyebab kerusakan situs
bersejarah. Situs budaya Waruga di Desa Kuwil Minahasa Utara, misal, mengalami
kerusakan akibat pelaksanaan proyek pembangunan bendungan. Situs gua prasejarah
di Kabupaten Tulungagung, contoh lain, terancam rusak akibat penambangan
marmer.
Tak sedikit
situs bersejarah rusak karena aksi vandalisme. Petilasan raja Thailand,
Chulalakron, di kawasan Curug Dago dan situs purbakala Lava Bantal di Kecamatan
Berbah, Kabupaten Sleman rusak akibat aksi vandal para pemburu batu akik.
Vandalisme
juga telah merusak peninggalan sejarah di Liang Nyere, Kutai Timur. Begitu juga
dengan situs peninggalan kerajaan Singhasari di Desa Torongrejo, Batu, yang
rusak karena dibakar sejumlah orang.
Selain itu,
kehancuran situs-situs bersejarah juga bisa disulut oleh penjarahan seperti
yang terjadi atas bangunan purbakala Majapahit di kabupaten Mojokerto; atau
ketidakcermatan dalam melakukan revitalisasi seperti terjadi pada Komplek Makam
Sunan Giri, Gresik; atau karena memang terabaikan seperti menimpa nasib situs
manusia purba di Kelurahan Gilimanuk, Kabupaten Jembrana.
“Kami sangat
prihatin dengan pemberitaan seperti itu. Karena hal ini berarti aparatur yang
bertanggungjawab di bidang kepurbakalaan ini tidak bekerja dengan optimal. Bisa
jadi sosialisasi dari pusat ke daerah hingga ke aparat paling ujung, tidak
efektif,” kata Karjodijardjo.
Karjodihardjo
setuju, kita tidak perlu mencemaskan masa lalu, yang sudah barang tentu berbeda
dengan masa kini. Justru, sebaliknya, kesadaran sejarah malah akan membuat kita
lebih mantap memilih jalan hari ini, dan merencanakan masa depan kita.
“Kehilangan
jejak masa lalu justru membahayakan orientasi kita ke masa depan. Jika tak bisa
terlibat dalam merawatnya, setidaknya, janganlah kita terlibat merusak
situs-situs purbakala,” tutupnya. (rin)
Sumber :
Hallobogor.com,
Selasa,
8/8/2017|12:35 WIB